Ibu dan anak itu tampak menikmati makan malam sederhana mereka. Meski Allah mengamanahkan pada mereka harta melimpah, tak semerta-merta harus hidup penuh dengan kemewahan. Bahkan Ibu dan Almarhum Ayah, mendidik Ale dengan mandiri dan sederhana.
Keluarga Ale, terutama didikan Almarhum Ayah memang berbeda dari kebanyakan kehidupan konglomerat lainnya. Ia tak ingin keluarganya terlena dengan kenikmatan dunia yang sementara. Adapun harta melimpah yang Allah titipkan pada mereka, ada banyak hak orang lain di dalamnya.
"Waktu SMA dulu, kamu dekat sama Lynn?" tanya Mama penasaran sambil menyisihkan duri-duri ikan asin.
Ale menelan makanannya sejenak. Sebelum akhirnya ia terdiam sejenak. Meruntunkan seluruh kaleidoskop di kepalanya akan masa lalu. Dibilang dekat, juga tidak. Dibilang jauh, itu terlalu kejam. Mereka punya kenangan. Walaupun akhirnya di kelas 3, mereka tak lagi akrab. Bahkan Ale tak tau alasannya.
Ale menghempaskan napas perlahan, "Antara dekat dan nggak dekat."
Jawaban abu-abu itu justru membuat Mama tertawa, "Apa itu?"
"Ya begitu adanya."
"Kalian satu angkatan, kan?"
Ale mengangguk, "Tapi kita beda jurusan. Aku IPA, Lynn IPS. Trus, Lynn jarang masuk sekolah karena dia dulu atlet."
Mama tak percaya, "Serius? Atlet apa?"
"Dia atlet pencak silat. Tapi, pas kelas 2, dia diberhentikan."
"Kenapa?"
Mama semakin penasaran yang membuat Ale pada akhirnya mengisahkan apa yang terjadi sepuluh tahun lalu itu. Dimana dirinya mulai mengenali sosok Lynn secara personal.
"Wah!" Mama takjub, "Lynn anak baik, Ale."
Ale mengerutkan keningnya, "Tiba-tiba Mama bilang gitu?"
"Meskipun dia emosi, tetapi dia punya niat untuk mempertahankan martabat keluarganya yang dijatuhkan temannya sendiri."
Diam-diam Ale menyunggingkan senyumnya, "Uhmm.. Lynn anak yang baik dan unik."
"Mama suka sama pilihan kamu!" celetuk Mama tanpa ragu.
Ale terperangah, "Mama serius?" Pun Mama menganggukkan kepalanya santai sambil menyendok makanannya, "T-tapi, Mama katanya suka yang pakai hijab."
"Uhmm.. menantu Mama harus berhijab. Karena kamu tau sendiri bagi seorang muslimah, hijab itu wajib." Mama bertukas, "Tapi, ada hal yang perlu kita pertimbangkan juga. Misal dalam konteks Lynn, dia punya karakter yang bagus. Dia family woman. Selalu mengedepankan keluarga dan dia juga pekeja keras. Apalagi saat kamu bilang kalau dia harus menghentikan karirnya sebagai atlet. Itu nggak mudah. Dia anak yang kuat."
Selama Mama banyak memberikan penjelasan, Ale tampak sibuk menyimak. Bahkan belum menyuap satu sendok pun makanannya.
"Dengan sifat dan karakter yang Mama rasa tidak banyak dimiliki anak jaman sekarang, itu cukup mengesankan. Dia anak baik. Soal hijab, itu bisa menyusul. Meskipun hijab itu wajib bagi perempuan islam, tapi kita tidak bisa memaksa." sambung Mama sangat bijaksana dalam menilai karakter seseorang, "Mama yakin, soal hijab, hati Lynn akan terbuka dengan sendirinya seiring waktu berjalan. Hidayah tidak akan menyia-nyiakan orang berhati baik."
"Kamu tau?" Mama melemparkan pertanyaan retorika, "Hijab tidak bisa menjadi pusat dari segala kesimpulan kerpibadian seorang muslimah. Banyak dari mereka yang berhijab, tapi tidak tau makna dari hijab itu sendiri."
Ale mengangguk paham. Ia bisa melihat apa yang terjadi dewasa ini. Banyak sekali perempuan-perempuan yang mulai mengenakan hijab. Ada yang melakukannya dengan sepenuh hati. Ada yang melakukannya karena paksaan dan berakhir dengan hati. Ada pula mereka yang hanya mengikuti tren.
Mama menggeser mangkuknya. Beralih pada satu piring kosong yang diisi sedikit nasi, lalu mengambil ayam goreng yang dibawakan Ale tadi.
"Uhmm?!" Matanya berbinar saat berhasil menikmati ayam tersebut, "Ini enak banget, Ale! Ngeresep banget bumbunya."
Entah mengapa Ale ikut senang, "Itu ayam goreng Ibu Olin. Mamanya Lynn. Tadi bungkusin pas nganter Lynn pulang."
"Wah! Kalau gitu, ayo siapkan waktu untuk ketemu langsung sama keluarga Lynn. Kita bahas sekalian tentang pernikahan kalian."
Ale seolah berada di atmosfer yang berbeda saat mendengar spontanitas Mama. Ia tercenung beberapa saat. Ulu hatinya terasa sangat nyeri dan ngilu. Kedua bola matanya bergetar. Rasanya masih tak percaya jika dirinya akan benar-benar menikahi Lynn.
***
Haha.. Lynn tampak puas memandangi pisau besar di tangannya. Tampak mengkilat. Memberikan kepuasaan tersendiri baginya setelah melakukan pengasahan. Namun, siapa sangka pisau tersebut telah berpindah tangan secara tiba-tiba.
"Ayah?"
"Calon pengantin nggak boleh berkegitan di luar. Pamali!" ucap Ayah memberikan penekanan di akhir, "Ayah aja yang dagang!"
"Ayah!" Lynn merajuk.
"Berisik!" teriak Ibu. Lalu menghampiri, "Kata Ayah benar, calon pengantin nggak boleh kluyupan!"
Lynn terkekeh, "Emangnya aku jadi nikah sama Ale? Belum ada lamaran. Belum ada tanggal."
"Tetap aja!"
Lynn tak bisa berkata-kata lagi saat Ayah dan Ibu seolah mengurungnya. Menutup pintu dengan sangat kencang. Meski tak dikunci, rasanya itu terlalu berlebihan. Apalagi saat Lynn yang tau fakta bahwa mereka hanyalah kawin kontrak.
Tok.. Tok..
Suara ketukan pintu itu membuat Lynn segera membukanya.
"Lyyynnn!" teriak Fira tak kalah hebohnya.
Lynn menutup telinganya dengan kedua tangan, "Apaan, sih?! Berisik amat!"
"Lo tau kan kebiasaan makan anak gue kalau lagi weekend. Gue mau ngutang ayam, tapi lo lagi nggak dagang!"
"Ah~" Lynn menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "I-itu biar lo nggak ngutang mulu!"
"Ey.. masa?! Bukan karena lo mau kawin?"
Seketika mata Lynn beriak, "A-apa?"
Fira justru tertawa menyebalkan, menggodanya. Lantas memberikan tatapan menyelidik, "Lo punya banyak rahasia, ya, belakangan ini."
"Apaan, sih? Siapa bilang?"
"Siapa lagi kalau bukan Nyai Olin."
Lynn menghempaskan napasnya bertenaga, "Lambe Turah banget, sih, Ibu."
"Oh.. jadi beneran. Lo nggak mau cerita?" Fira mengintimidasi. Terus mendekatkan wajahnya, "Lo nikah sama siapa?"
"Auh!" Lynn menjauhkan wajah sahabatnya itu, "Gue nikah sama Ale! Puas, lo?!"
"Ale? Ale yang ganteng, kaya, pinter. Anak olimpiade sains Nasional. Temen SMA kita?!" Fira langsung mengemukakan apa yang ada di kepalanya. "Ale Omar?!"
Dengan segala pertimbangan, akhirnya Lynn mengangguk.
Fira tak bisa mengendalikan ekspresi wajahnya. Matanya membulat. Mulutnya terbuka lebar dan langsung menutupnya dengan kedua tangan.
"Kok bisa?! Kok Ale?"
"Maksud lo gue nggak sederajat gitu sama Ale?!"
"Bukan.." Fira menggeleng cepat, "Ya, iya, sih. Tapi, yang lebih bikin gue bingung adalah.. Ale itu hampir nggak punya kekurangan."
"Sedangkan gue punya banyak kekurangan. Iya? Itu maksud lo?!" Rahang Lynn sudah mulai mengeras, "Gue telepon juga nih laki lo!"
"Bukan gitu!"
"Apaan, sih, lo!"
Fira mengerahkan tangannya, "Tunggu dulu! Maksud gue Ale yang sempurna itu tuh terkenal banget pas SMA. Kuliah di Amerika. Kenapa harus elo? Nggak ada yang lain."
"Nggak tau, lah!" hardik Lynn.
"Awalnya gimana?"
"Nggak tau. Pokoknya ngalir gitu aja setelah nggak sengaja ketemu pas gue jatuh."
Fira mengangguk paham, "Jodoh emang kaya gitu. Suka nggak jelas dan abstrak."
"Dah, kan? Sono pergi!" titah Lynn yang langsung dituruti olehnya. Sampai di ambang pintu, Fira teringat sesuatu. "Apa lagi?!"
"Lo harus hati-hati. Biasanya cobaan sebelum menikah, mantan-mantan bakal datang." Fira memberikan peringatan.
Lynn tergelak, "Mantan? Lo tau kan gue selalu kena cinta sepihak? Mana ada mantan?"
"Eh.. jangan salah!" Fira lantas menirukan kuda-kuda dalam tehnik pencak silat yang membuat Lynn menyipit.
"Ashraf Fannan!" sambungnya lalu melenggang pergi.
Gadis berambut sebahu itu mengerutkan kening. Mengais hipotesa. Ada apa dengan Fannan? Sebab, selama ini, Lynn hanya mengaguminya sepihak. Sampai akhirnya ia lelah dalam mengagumi pria manis tersebut setelah menemukannya bersama seorang wanita selepas podiumnya dalam sebuah kejuaraan silat.
***
Ale memberikan tanda tangan di atas sebuah laporan bulanan stafnya. Ada beberapa lembar yang harus ditandatangani. Pun ada beberapa divisi pula yang mengajukannya. Ale tetap profesional. Sesekali menanyakan hal berkaitan dengan setiap divisi.
Meski muda, Ale cukup disegani para staf, karena sangat berdedikasi dan menjalankan amanah pekerjaan dengan baik. Selain itu, ia juga cakap dan cerdas.
Napasnya melena menghembus saat semua staf yang bersangkutan telah meninggalkannya sendiri di ruangan bertepatan dengan jam makan siang. Mengeluarkan satu map yang belakangan ini kerap kali direnungi olehnya.
Kontrak Pernikahan.
Tatapan Ale begitu dalam. Lalu meraih sebuah benda dari lacinya. Kertas foto yang terlipat itu tampak usang. Selain termakan waktu, juga diambil oleh kamera ponsel lawas. Namun masih bisa menampilkan gambar yang jelas. Itu foto Ale dan Lynn remaja di atas pohon. Mereka tampak tersenyum di depan kamera memegang botol susu siap minum rasa melon.
Senyumnya mengulas lembut bersama matanya yang teduh. Namun, pikiran sedang menggelayut. Membuatnya tertekan.
Dan satu kalimat terucap, "Maafin gue, Lynn."
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!
@ddablue_ & @ayannadhee