Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Semua pegawai toserba sudah berkumpul di kasir untuk menghitung pendapatan hari ini setelah merapikan semuanya karena akan tutup. Menunggu dengan hati sedikit cemas, hasil perhitungan menunjukkan kalau toko tak mengalami pendapatan minus seperti yang sering terjadi dan artinya tak ada barang lewat terhitung atau dikuntit seseorang. Setelah semuanya beres, para pekerja akhirnya pulang di mana kunci dipegang oleh MD toko tersebut.
"Lis, makan nasi goreng dulu, yuk! Perut gue lapar, nih!" ajak Syila menatap Lisa yang tengah membenarkan sepatunya.
Lisa tak langsung menjawab. Dia terdiam dan menimbang ajakan Syila untuk membeli nasi goreng dengan ketersediaan uang di sakunya saat ini. Tak berapa lama, Lisa mengulas senyum dan menggeleng pelan.
"Aku gak makan, Syil. Uangnya tak cukup kalau dipakai beli nasi goreng., sedangkan gaji masih seminggu lagi!" jawab Lisa apa adanya dan dibalas senyum oleh Syila.
Tangan kanan Syila langsung mengapit tangan kiri Lisa dan menyeret paksa untuk berjalan meninggalkan area toserba. Lisa kebingungan dengan sikap Syila yang sering seperti itu, hingga langkah mereka terhenti di depan tukang nasi goreng tengah mangkal di taman yang mereka lewati untuk pulang menuju kontrakan Lisa yang memang bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
"Bang, nasi gorengnya dua, ya!"
"Makan di sini, Neng?"
"Iya."
"Ish, Syil. Gue gak ada uang. Kenapa dipesenin?" kata Lisa yang masih menolak sambil menatap Syila.
"Gue yang bayar, kok! Lo lupa kalau gue orang kaya yang nyamar jadi orang susah kayak di novel-novel, huh?" jawab Syila dengan senyum menyebalkannya seperti biasa dan membuat Lisa menghela nafas.
"Ayo duduk, ah!" seru Syila yang langsung ambil posisi duduk di sebuah kursi kayu panjang dan disusul Lisa di sebelahnya.
Syila Octaviani, sahabat baik Lisa dan merupakan putri dari pasangan pengacara yang memiliki beberapa restoran di Jakarta dan Bandung. Syila merupakan seorang Chef dan memilih ikut membuntuti Lisa menjadi pelayan di toserba di sela kesibukannya memantau restoran yang dia kelola. Hubungan mereka terjalin ketika Lisa tak sengaja menyelamatkan Syila dari perampokan dua tahun lalu yang mengakibatkan Lisa mengalami luka di tangannya karena tusukan. Sejak itu, Syila merasa bahwa Lisa adalah dewi penyelamatnya dan berteman baik hinga kini dan mengganggapnya seperti keluarga, termasuk kedua orang tua serta adiknya yang masih berusia 16 tahun. Beberapa menit sudah berlalau, tercium aroma nasi goreng yang menyapa indra penciuman mereka dan membuat perut kian keroncongan.
"Ini, Neng!" Tanpa argu mereka menerima piring berisi nasi goreng tersebut dan menikmatinya begitu lahap, terutama Lisa. Syila tersenyum melihatnya yang memang tahu kalau Lisa hanya makan roti saat siang tadi.
Setengah jam sudah berlalu dan mereka telah menyelesaikan makan tanpa sisa. Setelah membayar, Syila pamit untuk pulang menggunakan taxi, sedangkan Lisa cukup berjalan menuju rumahnya yang cukup berjalan sepuluh menit. Lisa langsung membuka pintu kontrakan yang hanya satu kamar beserta kamar mandi kecil di dalamnya. Namun, matanya menatap sebuah kertas yang diletakkan di bawah pintu dan meraihnya cepat.
"JANGAN LUPA BAYAR KONTRAKAN SECEPATNYA! KAU SUDAH NUNGGAK SEMINGGU. BAYAR ATAU ANGKAT KAKI!"
Lisa menghela nafas dan menatap sendu kertas itu. Memang, dia belum membayar uang kontrakan sebesar 700 ribu karena harus mengirimkan uang ke kampung untuk adiknya yang akan ujian. Lisa bangun dari jongkoknya dan masuk serta menguncinya cepat. Dia melangkah lemah karena tak ada uang untuk bayar dan pastinya besok akan ditagih oleh ibu kontrakan yang terkenal cerewet atau mengusirnya.
"Apa yang harus kulakukan? Besok pasti Bu Rini akan datang pagi-pagi dan teriak minta bayar uang kontrakan. Bagaimana ini?" gumam Lisa sambil duduk di lantai karpet yang dia gelar untuk tidur.
Lisa duduk bersandar pada dinding sambil menutup wajahnya. Perlahan tangannya terlepas dari wajah dan meraih tas selempang yang selalu menemaninya saat kerja. Dibukanya resleting tas dan meraih dompet berwarna marroon. Tangannya melihat isi dompet dan hanya ada uang pecahan lima ribu serta berjumlah 50 ribu rupiah. Kembali helaan nafas panjang terdengar dan membuat dia menatap sendu uang itu serta memijit pelipisnya.
"Cuma segini. Aku malu kalau harus pinjam uang pada Syila karena sudah banyak merepotkannya selama ini," cicit Lisa sendiri dan merasa buntu.
Di saat otaknya tak menemukan jalan keluar, Lisa pun berniat bangkit dari duduk lesunya dan kaget ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kontrakannya. Dia memicing ke arah pintu karena heran ada orang yang datang bertamu tengah malam. Sedikit ragu dan penasaran, Lisa pun beranjak mendekati pintu dan membuka gorden sedikit untuk melihat siapa orang yang datang. Namun, ketika dia melihat ke luar, tak terlihat ada orang dan seketika membuat jantungnya berdebar karena takut.
"Orang atau setan, ya?" ujar Lisa yang menutup kembali gorden tadi dan memegang dadanya yang mulai cemas.
Secepat kilat, Lisa langsung membawa tubuhnya kembali ke karpet dan menarik selimut. Dia ketakutan sekiranya ada orang jahat di luar yang sengaja mengikuti di jalan hingga ke kontrakan. Dengan mata melotot, Lisa terus menatap arah pintu dan membekap mulutnya dengan kedua tangan agar tak bersuara, hingga perlahan matanya terpejam karena rasa lelah yang mendera tubuh.
Di luar kontrakan, berdiri dua orang pria asing tengah menatap pintu kontrakan Lisa. Mereka nampak berbincang dan satu di antaranya tengah menghubungi seseorang lewat sambungan telephone. Tak berapa lama, sambungan pun terhubung dan terdengar percakapan seputar apa yang tengah mereka lakukan.
"Kami di depan kontrakannya, Bos."
" .... "
"Lingkungan kontrakannya sepi dan di ujung. Bisalah kita satroni dan kebetulan kami sudah punya kuncinya!"
" .... "
"Siap, Bos!"
Setelah sambungan terputus. Pria yang berbicara di telelphone menceritakan sedikit pada rekannya yang mengangguk paham, hingga tak lama kemudian mereka pun beranjak dari sana dan menuju mobil jeep yang mereka parkir di pinggir jalan raya karena kontrakan itu terletak di gang sempit hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua. Menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, kedua pria itu pun sampai di sebuah rumah megah dan banyak penjagaan. Mereka masuk setelah menyapa rekan lainya dan menghadap pada majikan yang sudah menunggu di dalam. Sesampainya di sebuah ruangan besar dan banyak penjaga serta wanita nan seksi berlalu lalang, nampaklah seorang wanita bertubuh tambun dengan rambut yang disasak bagai punuk unta tengah berbincang bersama seorang pria dan beralih menatap kedatangan mereka berdua.
"Malam, Bos!" sapa keduanya bersamaan sesampainya di hadapan wanita itu yang menatap tajam.
"Bagaimana gadis itu? Apakah referensi Tante Rini layak jual, huh?"