webnovel

Semesta Kita

Cerita ini tentang anak perempuan yang selalu dipaksa kuat oleh keadaan. Anak perempuan yang memikul beban sangat banyak di pundaknya. Juga anak perempuan yang raut wajahnya selalu terlihat bahagia, tapi menyembunyikan banyak luka di baliknya. Siapa pun dia yang masuk dalam hidup kita, sebesar dan sekecil apa pun perannya, dia memang sudah dituliskan, apa pun peristiwa yang terjadi dalam hidup kita, sepenting dan seremeh apa pun adalah juga sudah dituliskan. Lalu apa yang harus diragukan? IG Penulis: @cerita.alwa

ALWA1196 · 青春言情
分數不夠
6 Chs

Bimasena

Hal terindah dari persahabatan memahami dan dipahami, tanpa pernah memaksa dan ingin menang sendiri.

***

Pada akhirnya tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Vega selain mengikuti saja apa yang menjadi keinginan dari sang papa untuk berangkat sekolah menggunakan mobil saja. Mimpinya untuk memiliki motor gede harus dia tunda sampai pada batas waktu yang tidak bisa untuk ditentukan dengan baik. 

"Ga, papa aja yang antar kamu, ya?!" Mendengar apa yang dikatakan oleh sang papa memangnya apa yang kalian harapkan dari Vega saat ini? Membantahnya? Tidak, Vega tidaklah selancang itu untuk melakukannya. 

"Kok? Tumben?" tanya Vega yang merasa kalau apa yang diinginkan sang papa kadang tidaklah bisa untuk dia pahami dengan baik.

"Kamu nggak senang bareng papa?" Vega tahu kalau apa yang dikatakan oleh sang papa hanya gimik, tapi tetap saja dia merasa tak enak hati untuk itu. 

"Bukan begitu maksud aku, Pa." Pada akhirnya Vega menyerah dengan ini semua dan menuruti saja apa yang menjadi keinginan dari sang papa. Entahlah.

"Terus?" tanya Irza dengan tatapan yang penuh dengan selidik. 

"Takut ngerepotin papa aja," kata Vega sambil menggigit bibir bawahnya. 

"Jangankan antar kamu, Ga. Nyawa papa aja rela papa kasih ke kamu." Mendengar hal itu lantas saja Vega membawa dirinya untuk masuk ke dalam dekapan sang papa. Bersama dengan Irza Vega tak pernah berpura-pura untuk menjadi orang lain. Karena di dunia ini hanya cinta ayahlah yang begitu tulus. Bahkan tidak  ada sedikit celah untuk kata ragu di dalamnya. 

"Makasih, Pa," kata Vega dengan sangat tulusnya pada sang papa. 

"Ga, cuma papa yang kamu peluk?!" tanya Rara pada putri sambungnya itu. Rara sangat menyayangi Vega. Melihat Vega sekarang dia seperti melihat mendiang Ana di masa lalu. 

"Kamu peluk mama gih, nanti dia cemburu," titah Irza lalu melabuhkan satu kecupan hangat yang penuh cinta di kening anak gadisnya itu. 

"Ma, makasih ya udah sayang ama Vega sampai saat ini." Rara hanya mengangguk sambil mengunci dengan sangat erat tubuh ringkih milik Vega. 

"Ya, udah kamu berangkat sekolah gih." 

Vega hanya mengangguk tanpa ada bantahan sedikit pun yang dia lontarkan. 

***

Atlas Pranata Atmadja, putra bungsu dari pengacara kondang di Ibukota, siapa lagi kalau  bukan Rafa Afif Alzani. 

Pemandangan yang selalu menjadi asupan tambahan untuk murid seantero SMA Nusantara Bakti. Apa lagi kalau bukan sekumpulan geng motor Bimasena yang saat ini memasuki lingkungan sekolah secara teratur. 

Bimasena adalah geng motor yang sangat jauh dari image negatif. Bahkan kata bad boy sangat tidak pantas untuk disematkan pada mereka. 

Melihat kedatangan mereka, Irza yang melihat Vega hendak turun dari mobil mengurungkan niat sang putri untuk melakukan hal tersebut. 

"Kenapa, Pa?" tanya Vega karena dia merasa ada yang aneh dengan sang ayah saat ini. 

"Bimasena. 15 tahun yang lalu SMA Nusantara Bakti juga ada geng motor sekelas itu. Kamu tahu namanya?" tanya Irza tanpa mengalihkan atensinya dari para anggota Bimasena. 

"Tahu, namanya Oscar. Iya 'kan?" Irza hanya memberikan pembenaran lewat gerakan kepala naik turun. 

Riuh sorak para cewek SMA Nusantara Bakti kian terdengar saat Atlas melepas helm full-face miliknya. 

Sungguh kadar ketampanan yang Atlas miliki selalu saja bertambah tanpa tahu bagaimana caranya untuk berkurang. 

Atlas Pranata Atmadja ketua geng motor Bimasena yang tatapannya, pesonanya, senyumnya hanya ada satu kata untuk mendeskripsikannya. SEMPURNA. 

Di samping kanan Atlas ada Batara Mikail Mahadi, orang nomor dua yang paling disegani dalam circle Bimasena. Sikapnya yang welcome dan tidak banyak  mau, menjadi nilai plus tersendiri. 

Berhenti sampai di situ? Tentu saja tidak. Tepat di sebelah Tara, ada Draco Wisnu Priyatna. Identik dengan sikap dinginnya, irit bicara, tapi memiliki pesona yang tidak mungkin ditolak oleh cewek normal. 

Sebelah Draco, masih ada Rigel Chandra Utama. Apa yang kalian harapkan dari lelaki yang sangat identik dengan kata beku itu. Apa bedanya dia dan Draco? Sama-sama dingin? Iya, tapi Draco masih asyik untuk diajak berdiskusi. Sedangkan Rigel? Dingin dan juga sinis, hanya dua kata itu yang bisa mendeskripsikan dirinya. Tapi tubuhnya yang atletis menjadi alasan untuk dia didapuk menjadi kapten futsal di SMA Nusantara Bakti ini.

Kembali ke Atlas, di sebelah kirinya ada Banyu Adiwangsa Prawira. Jika dari segi yang paling disegani dalam circle Bimasena ada Batara, maka tahta kedua dari ketujuh intinya yang menduduki posisi tertampan kedua itu adalah Banyu. Keahliannya dalam melumpuhkan lawan membuat Atlas tak segan-segan memberikan dia posisi panglima tempur Bimasena. Dalam hal mempermainkan hati perempuan, sampai saat ini Banyu belum pernah gagal. 

Apa yang Banyu miliki sangat berbanding terbalik dengan apa yang dimiliki oleh saudara kembarnya, Samudra Adiwangsa Prawira. Sam—dia adalah lelaki yang memiliki wajah baby face juga lesung pipi yang semakin membuat para cewek yang melihatnya lupa bagaimana caranya untuk berkedip. 

Last not but least, ada Altair Dermawan Permana, anggota Bimasena yang paling memiliki selera humor tinggi. Tanpa Alta, Bimasena kehilangan tawanya. 

"Pa, aku turun, ya?" Irza hanya mengangguk atas apa yang diinginkan oleh putrinya itu. 

"Belajar yang rajin. Kalau ada apa-apa bilang ke Atlas, ya?" Tak ada respons yang diberikan oleh Vega, dia lalu meraih tangan kanan sang papa untuk dia cium terlebih dahulu. 

Vega tidak beranjak dari tempat dia berdiri saat ini sebelum kereta besi yang  dikemudikan papanya tidak lagi terjangkau oleh kedua manik matanya. 

Saat itu tiba, Vega lantas membawa kedua kaki jenjangnya menuju ke dalam kelasnya. 11 IPA 2, itu adalah tempat yang hendak dia tuju sekarang. 

Seminggu menjadi murid SMA Nusantara Bakti, Vega mulai bisa untuk beradaptasi. 

"Damayanti Vega Rianto!" panggil salah satu dari tujuh anggota inti Bimasena. Vega tak perlu berbalik untuk mengetahui siapa yang barusan menyerukan namanya dengan sangat fasih itu. 

Vega tahu tanpa harus berbalik. Sayangnya untuk saat ini Vega lebih memilih untuk menulikan telinganya. 

"Ada apa lagi sih, Las?!" tanya Vega dengan nada tinggi sambil memutar badannya sehingga dia dan juga orang nomor satu di Bimasena saat ini saling berhadapan satu sama lain. 

Apa yang dilakukan oleh Vega jelas saja membuat semua orang yang ada di sekeliling mereka menjadi bertanya-tanya apa yang saat ini sedang terjadi. 

"Hei … lo itu murid baru 'kan di sini?" tanya Tara dengan kesan yang tidak ada santainya sama sekali pada gadis yang memakai name tag bertuliskan Damayanti Vega Rianto. 

Tara lalu turun dari motornya dan berjalan mempersingkat jarak antara dia dan juga gadis yang telah dia lantik sebagai murid paling belagu di sekolah ini. 

"Nama lo Damayanti Vega Rianto, itu nama lo?" tanya Tara pada Vega. Melihat tatapan lelaki itu yang sangat lekat, Vega sepertinya sadar kalau dia sedang cari masalah di sini. 

Tapi dia tidak boleh terlihat seperti orang yang kehilangan nyali. "Ini name tag ada di seragam gue. Jadi atas dasar masalah apa lo bilang nama gue bukan Damayanti Vega Rianto, hah?" 

"Lo berani ama kita? Lo nggak tahu siapa kita?" tanya Tara yang tidak habis pikir dengan cewek yang ada di hadapannya saat ini. Karena sudah dua tahun dia bersekolah di sini baru kali ini dia melihat ada orang yang berani untuk berbicara menggunakan nada tinggi bahkan menantang anggota inti Bimasena, hanya Vega. 

"Apa untungnya gue tahu hal mendetail dari kalian semua, hah?" tanya Vega dengan menghunuskan tatapan yang tak kalah sengitnya. 

Merasa tidak ada yang perlu untuk mereka perdebatkan lagi akhirnya Vega membawa kedua kaki jenjangnya menuju ke kelasnya. 

"Gue tandain lo! Lo jangan harap bisa hidup tenang di sini." Vega masih bisa mendengar apa yang dikatakan Tara, tapi dia tak ada waktu untuk meladeninya. Lagipula, Vega yakin kalau Atlas tidak mungkin membiarkan temannya itu mewujudkan misinya. 

"Lo gangguin dia, lo berhadapan ama gue, Batara Mikail Mahadi," kata Atlas memberikan ultimatum yang cukup tegas pada Tara.