webnovel

Kenyataan Menyedihkan

"Kau jangan gila Willona."

"Aku tidak ingin memiliki anak dari perempuan mana pun. Kau tau itu bukan? Jadi jangan pernah berharap akan hal itu padaku."

Willona berdecak, meletakkan kasar gelas berlaki itu di atas nakas. Wajahnya masih tak beranjak dari menatap tepian gelas tersebut.

"Tidak ada yang salah dengan mempunyai anak. Kenapa Pak Kenan sangat membenci seorang anak kecil."

"Harusnya Anda tau, jabatan dan seluruh harta kekayaan ini tak akan menjadi milik Anda lagi," desah kesal Willona.

Kepala Kenan menoleh cepat, keningnya bergelombang tebal. "Maksudmu kau menyumpahi aku cepat mati?"

Willona mengangkat bahu, perlahan beranjak dari duduknya. "Yaah, siapa yang tau umur Pak Kenan. Bukan hanya Anda saja, Kakek pun bisa saja meninggal kapan pun sebelum menanda tangani perpindahan warisan."

Jawaban Willona benar-benar membuat geram Kenan, lelaki tampan itu menamati lekat punggung kecil bergerak sesuai langkah kaki.

"Lancang sekali mulutmu!" pekik Kenan tak terima, ia kembali meneguk wine lebih banyak dari tadi dalam sekali tarikan napas.

Willona berjalan tak acuh sembari berdesis mengumpat, memang siapa lelaki itu di sini? Di rumah ini status Willona telah naik peringkat, tak lagi menjadi sekretaris yang selalu tunduk di bawah Kenan. Ia juga memiliki kesempatan untuk menentang ataupun menyetujui ide gila Kanan.

"Berani-beraninya dia mau mengambil anak orang, dipikir aku mandul? Atau nggak doyan pria lagi?"

"Cih, dasar pria nggak punya otak!"

Dugh!

"Aduhhh!"

Willona memekik kesakitan saat kakinya tanpa sadar menendang pintu utama hingga membuat perempuan itu berdiri tak tenang dengan satu kaki, satu lainnya terlipat dengan lengan tangannya. Bibir Willona mengerucut, meniup-niup jempol kakinya yang terasa nyeri.

"Ada apa?" tanya Kenan dari atas lantai. Lelaki tampan itu segera berjalan cepat dengan kesadaran setengah berfungsi. Ia hanya mendengar jeritan Willona di tengah malam temaram.

"Katakan padaku, apa yang terjadi?"

"Kenapa wajahmu pucat seperti ini, apa kau mabuk?" tanya Kenan memberondong.

Willona mengernyit dan sesekali mendesah kecil saat pipi putihnya berubah memerah padam. "Hentikan Pak Kenan. Siapa yang mabuk?"

"Kaulah, lihat kau menari-nari di tengah malam dengan berteriak ...."

"Katakan padaku, siapa yang melakukan hal itu kecuali orang mabuk?"

Tangan Kenan terhempas ke bawah. Tepisan kasar Willona benar-benar membuat Kenan mengerutkan tulang hidung mancungnya.

"Hanya kau sekretaris yang lancang padaku. Apa kau tak takut padaku?"

"Takut? Itu bukan saya, Pak Kenan."

Willona bergerak pergi, tetapi tangannya dengan cepat dicekal Kenan tanpa ampun. Lelaki itu seakan sedang memperingatkan Willona melalui tatapan berkilat Kenan.

"Benarkah, sehebat itu nyalimu."

"Jauhkan tubuh Anda Pak Kenan. Ingat perjanjian kita."

Willona berjalan mundur untuk mewaspadai gerak kaki Kenan yang semakin menghimpit tubuh Willona. "Pak Kenan, Andalah yang mabuk. Ayo sadar, jangan sampai Anda menyesali semuanya."

Willona menurunkan pandang, melihat langkah mereka berdua yang berlawanan arah. Hembusan napas hangat terasa menyentuh wajah Willona.

"Bukankah kau yang begitu sombong ingin melahirkan anak dariku? Kenap sekarang kau jadi takut?"

"Bu-bukan seperti itu, Pak. Tenanglah dulu," balas Willona mendorong bahu kekar Kenan dengan segala upaya. Namun hasilnya nihil. "Ma-maksud saya seperti ini, Pak. Saya istri Anda, sebaiknya ....."

Celetak!

"Jangan bermimpi."

"Sampai kapan pun, aku tak akan mau mempunyai anak." Lanjut Kenan dingin diselingi nada kesakitan dari mulut Willona sembari mengusap keningnya yang panas.

"Pak Kenan, Anda sebenarnya pria normal atau tidak?!" teriak Willona tanpa peduli para pelayan akan terbangun. Amarahnya sudah di ubun-ubun, ia tak akan melupakan momen memalukan ini.

"Sial-sial, aku sudah dipermainka. Aku pikir dia akan menciumku ...."

***

Di tempat lain. Seorang wanita separuh baya sedang menangis menderu sembari memeluk sebuah bingkai foto. Sedangkan di sisi tubuh tambunnya berdiri seorang lelaki separuh baya yang sesekali berusaha mengusap bahu sang istri untuk menyadarkan.

"Ma sudah, Roni sudah tidak ada. Kenapa Mama tidak mau melupakan saja. Kita cukup mengenang Roni saja."

"Huuhuhu ... Sayang, Roni anak Mama. Jangan nangis ya, lukanya nggak parah kok. Cuma lecet sedikit. Ini kan sudah Mama peluk."

"Jangan nangis lagi ya," sambungnya semakin membuat pilu hati Andrea, papa dari Willona. Sudah bertahun-tahun lamanya sepeninggalan sang putra, istrinya tak kunjung mau merelakan.

"Ini semua karena kakakmu! Andai dia tidak mengajakmu bermain, pasti kamu tidak akan luka seperti ini."

"Dia seharusnya tak pernah kulahirkan. Siapa peduli dengan anak itu."

Andra mengusap gusar wajah tuanya mendengar kalimat yang lagi-lagi membuat hatinya perih, bak luka menganga yang ditaburi garam dengan tanpa perasaaan.

"Ini semua bukan salah Willona, Ma. Ayolah jangan seperti ini. Willona juga anak kita."

"Bukan! Dia bukan anakku. Aku tak pernah melahirkannya," balas Naomi memekik seraya menoleh, menatap tajam Andrea beberapa detik saja. Lantas kembali mengembalikan tatapan sendunya pada bingkai itu.

Andrea menghembuskan napas berat. Ia bingung kenapa sejak kecil perbedaan kasih sayang antara Willona dan Willy sangat berbeda.

Tiba-tiba Andrea mengingat masa lalu. Hatinya terasa sesak jika mengingat seluruh kejadian dulu.

"Bawa Nyonya ke kamar. Jangan biarkan keluar, aku akan pergi dulu. Ayo Jans," titah Andrea yang diangguki sang asisten pribadi.

"Mari, Tuan."

Lelaki separuh baya itu berjalan lebih dulu, lantas diikuiti Jans yang berjalan beriringan dengannya.

"Kita akan ke mana Tuan Besar?"

"Ini jam berapa?"

Jans menurunkan pandang pada benda bulat berwarna putih itu, jarum panjang menunjukkan angka di pertengahan larut malam.

"Satu malam, Tuan. Angin malam tidak baik untuk kesehatan Tuan Besar," kata Jans mencoba melarang sang tuan agar niatan itu terurungkan.

"Tidak masalah. Angin malam telah menjadi sahabatku sejak Willona pergi, aku sudah tidak mempunyai anak perempuan sekaligus sahabat di sini."

Jans hanya bisa menatap sendu. Ia tahu jika keadaan masih terasa sulit. Apalagi perusahaan yang hampir jatuh bangkrut dan berakibat pada hilangnya beberapa aset penting termasuk rumah megah itu yang hour saja disita bank.

"Ayo Jans. Kita ke rumah tuan Kenan."

"Hah, tuan Kenan, Tuan? Apa Anda tidak berucap?"

"Ada apa, kau ini anaeh sekali," keluh Andrea yang sudah memakai safebelt membalut tubuh tuanya.

Jans kembali memandang jam tangannya. "Ini larut malam Tuan Besar. Bisa-bisa—"

"Hahaha, tenanglah. Apa aku membuatmu takut? Aku hanya ingin melihat rumah besar tuan Kenan.

"Aku rindu putriku, jika aku hanya bisa memandangnya dari jauh pun. Aku tak masalah, Jans. Yang terpenting Willona dalam keadaan baik-baik saja."

Perkataan Andrea membuat kedua iris hitam Jans bergetar. Ia merasa bangga terhadap pekerjaannya, sudah begitu lama dirinya bekerja dengan Andrea, seluruh konflik di keluarga ini pun dirinya tahu.

Akan tetapi, tak pernah membuat Jans ingin menjauh dari Andrea meski lelaki itu bangkrut sekali pun.

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Jans? Apa aku seperti pria itu yang cengeng? Astaga, aku menangis ternyata."