Ilalang yang tumbuh di sekitaran rumah itu semakin bertambah tinggi. Padahal sangat jarang hujan turun untuk memberikan bahan makanan, tapi tanaman liar ini bisa tumbuh dengan subur.
Rahel berjalan dengan berhati-hati agar bisa menghindari sentuhan ilalang yang bisa membuat kulitnya gatal. Ruam merah akan terlihat jelas jika sampai tersentuh, dan Febby akan tahu jika putrinya tidak pergi ke sekolah hari ini. "Kenapa kita ke sini?" tanya Rahel yang masih memperhatikan jalannya.
Vito yang melihat itu hanya tersenyum tipis. Ia telah sampai di teras rumahnya, dan mulai duduk di salah satu kursi kayu yang sudah usang. "Cerita soal keluarga gue," jawabnya seperti tidak memiliki beban.
Rahel membersihkan badan beserta roknya ketika sampai di teras sebelum kembali menatap Vito, "Semalem gue mimpiin keluarga lo, tapi gue juga ada di sana. Gue ngerasa mimpinya itu nyata, tapi ternyata engga. Gue teriak tanpa suara."
Vito segera beranjak dengan dahi bertautnya, "Lo bisa astral?"
Rahel menggeleng dengan dahi bertaut. "Engga, kayanya itu kebetulan aja deh. Soalnya baru kali ini aja kejadiannya, gue belum pernah sebelum ini. Emang kebetulan doang deh kayanya gara-gara gue mikirin elo."
Jawaban Rahel membuat Vito tak bersemangat lagi, dia kembali duduk dengan lamban sebelum berkata, "Gue mulai cerita aja deh, sedih kalau inget lo gak bisa astral."
"Dih, tai banget lo jadi temen."
"Udah diem, mulai dengerin ceritanya!" perintah Vito dengan jari telunjuk di depan bibirnya yang terus bergerak. "Jadi ceritanya gue nginep di rumah temen gara-gara ada tugas kelompok. Punya gue ini belum jadi soalnya kita males ngerjain, akhirnya kita ngerjainnya pakai sistem kebut semalam yang berakhir harus banget nginep di rumah itu."
"Terus?"
"Kita ngerjainnya dari gue pulang sekolah sampai malem banget. Bokap cuman telepon sore nanya soal gue udah makan atau belum, mau di anterin baju atau engga. Gue gak ada mikir macem-macem sampai akhirnya ada telepon dari pak RT di jam tiga pagi. Kabarnya rumah gue kebakaran, dan naasnya nyokap sama bokap terjebak yang berakhir gak bisa selamat." Vito mengambil jeda untuk menahan rasa sesak di dadanya karena harus mengingat masa lalu yang kelam.
Rahel sebagai teman yang baik mencoba untuk tidak bereaksi apa-apa, dia tidak bisa melakukan banyak hal apalagi dia tidak bisa bersentuhan dengan Vito.
"Katanya api di rumah gue itu terlalu besar, jadi mereka bantuin nyiram air pakai alat seadanya. Pemadam kebakaran datengnya cepet, tapi apinya udah gede sebelum pemadam kebakaran itu dateng. Gue juga langsung pulang waktu dapet telepon."
"Gue... liat pintu kamar gak bisa di kunci waktu itu."
"Iya, petugas damkar juga bilang kalau pintu di kunci dari luar jadinya bokap sama nyokap gak bisa keluar cepet. Kalau aja pintunya gak di kunci pastinya mereka selamat."
"Faktornya apa?"
"Ada yang sengaja bakar sih, tapi untungnya polisi langsung nyari orangnya."
"Jadi akhirnya si penjahat di penjara?" Rahel bertanya dengan kedua mata membulat sempurna. Sementara Vito mengangguk sambil memberikan senyum simpul.
"Tapi tetep aja bokap sama nyokap gue gak bisa hidup."
"Nangis aja gapapa, gue gak bakalan ngomong aneh-aneh kok!" Rahel memalingkan wajah, tapi bukan Vito yang menangis sekarang melainkan dia sendiri sampai sesenggukan.
"Lo kenapa nangis?" tanya Vito sambil tertawa kecil.
"Gak tau, lo nangis jadinya gue ikutan."
"Ya ampun, ahaha!" Vito menyeka air matanya sebelum menghembuskan napas samar, "Gue dapet uang asuransi, gue pake buat benerin rumah sama biayain kehidupan gue. Tapi semuanya gak gampang Hel, gue selalu ngerasa sendiri."
"Kenapa? Saudara lo ke mana? Temen deket lo juga ke mana?"
Cowok itu menggeleng dengan senyuman miris, "Gak ada, mereka pergi ninggalin gue satu-satu. Selama setahun gue dibully di sekolah, mereka bilang kalau gue adalah penyebab kematian bokap nyokap. Mereka juga bilang kalau gue gak pantes buat hidup di dunia karena udah bikin nyokap sama bokap meninggal."
Kening Rahel semakin bertaut dalam. Kedua tangannya mulai mengepal kuat, ia tidak terima dengan omong kosong itu. Orang selalu memandang hanya dari satu sisi, seharusnya mereka bisa melihat dari sisi Vito yang menjadi korban. "Ih, mereka kenapa sih? Pengen banget gue tendang kepalanya supaya mereka paham."
"Jangan, gak boleh kaya gitu!"
"Hah? Jadi gak pernah lo lawan? Kenapa gak lo lawan sih anak-anak kurang ajar kaya gitu? Harusnya tuh lo lawan supaya mereka tau diri!"
"Engga, semakin gue ngelawan, mereka semakin gak ngotak Hel. Jadinya, gue makin ngerasa tertekan, dan jalan terakhir yang gue pilih adalah bunuh diri."
Rahel terdiam sambil menatap Vito, bibirnya pun ikut terbuka sedikit karena kaget. Ia terlalu kaget, dan tidak percaya Vito berani melakukan tindakan yang dibenci oleh Tuhan.
"Gue nyesel, tapi perasaan bersalah gak bikin gue bisa pulang," ucap Vito sedih, penuh dengan penyesalan.
"Tadi lo masih yakin kalau gue bisa bantu, sekarang lo juga harus yakin kalau lo bakalan bisa pulang nanti!"
*****
"Lo mau liat wujud asli gue ga?" Vito berjalan mendahului Rahel, merubah arah jalannya menjadi mundur. Dia menatap wajah Rahel dengan senyuman yang memperlihatkan deretan gigi berjajar rapi.
"Engga, jangan ngasih tau wujud asli lo!" sahut Rahel enggan. Perhatiannya beralih pada pemandangan jalanan di sebelah kanan dari atas rooftop sekolahnya. Ada toko roti baru di seberang sana, sayangnya Rahel tidak membawa uang lebih untuk itu.
"Kenapa?"
Pertanyaan itu membuatnya kembali menatap Vito yang masih berjalan mundur. "Gue suka sakit kalau liat sosok yang jelek kaya gitu. Maaf ya bukan maksud gue ngatain lo jelek, cuman gue nyebutnya jelek. Gue gak kuat liatnya."
"Gapapa kok, santai aja sama gue!"
"Gue juga suka sakit tau kalau liat yang kaya gitu. Dulu pas masih kecil tuh gue sering diganggu sama mereka yang jelek, terus akhirnya gue demam tinggi banget. Nyokap panggilin orang pintar akhirnya gara-gara gue gak bisa sembuh meskipun udah dateng banyak dokter spesialis."
"Wah, bokap sama nyokap lo ngeluarin uang banyak banget ya. Emang sialan hantu-hantu yang suka ganggu."
"Kenapa lo berdiri di pinggir sana? Nanti bisa jatoh Vito."
"Soalnya gue ngakhirin hidup di sini, lo udah tau kan pastinya?"
Langkah Rahel berhenti ketika dia mencoba berjalan ke belakang. Sementara Vito hanya memberikan senyum kecut, dia melihat ke bawah beberapa kali, dan kembali menatap Rahel yang sedang menatapnya bingung.
"Seragam lo? Kenapa gue baru sadar?"
"Baru sadar ya? Gue juga baru sadar soal lo yang gak tau soal seragam gue ini. Pantesan aja lo nganggep gue temen sebaya waktu itu, ternyata lo gak tau soal seragam lusuh ini." Vito tertawa untuk dirinya sendiri yang sekarang terlihat menyedihkan sebagai arwah gentayangan. "Tapi untungnya gue bunuh diri pakai seragam ini, coba deh kalau engga pasti lo gak akan gubris gue di bus. Atau mungkin kita gak akan pernah ketemu karena gue gak mati di sini."
"Ih, lo kok ngomongnya gitu sih?" Rahel mengernyit tak suka, "Gak boleh tau ngomong kaya gitu."
Vito hanya tersenyum menatap Rahel dari tempatnya, senyum yang tidak bisa Rahel artikan. "Makasih ya udah mau dengerin cerita gue. Gue harap sih lo tetep mau jadi temen gue setelah ini."
"Emangnya ada alasan lain gue harus gak temenan lagi sama lo?"
"Semua keputusan ada di tangan lo, tugas gue cuman nerima atau engga dari keputusan lo nanti."
"Vito, gue tetep mau kok temenan sama lo meskipun lo itu arwah penasaran."