"Itu dia?" David menunjuk layar ponsel Raditya.
"Ya." Raditya mengusap layar ponsel dan terus memandangi foto itu.
"Kenapa fotonya seperti siluet?"
"Aku mengambilnya diam-diam dari balkon ketika dia minum kopi." Raditya tersenyum dan terus memandangi foto di layar ponselnya.
Raditya ingat betul, betapa sulitnya dia mengambil foto Rembulan karena perempuan itu duduk membelakanginya. Entah mengapa nyalinya seperti menguap saat berada di dekat Rembulan kalau ingin meminta foto bersamanya. Raditya tidak tahu apa yang akan dikatakan Rembulan kalau tahu dia telah mengambil fotonya secara diam-diam. Hanya foto seperti siluet ini yang dia punya. Dan saat memandang foto ini dia selalu berimajinasi bermacam-macam. Bahkan membayangkan gadis itu dengan berbagai ekspresinya.
"Kalian bertetangga?" David terkekeh, dia tidak menduga kalau ceritanya akan seperti itu.
"Yup!"
"Jadi, kamu jatuh cinta karena sering bertemu dengannya?" David bertanya untuk meyakinkan dirinya bahwa dugaannya benar, "Kalau orang Jawa bilang witing tresno jalaran soko kulino ( cinta tumbuh karena terbiasa ), dalam kasusmu ini kulino ketemu ( terbiasa bertemu )," katanya lagi sambil tertawa.
"Ngawur!"
"Kan memang benar, kalian bertetangga sering ketemu."
"Tapi aku pertama kali suka padanya bukan karena kami bertetangga, aku belum tahu kalau kami bertetangga." Raditya mencoba menjelaskan pada David yang tiada henti tertawa. Menurut David itu hal yang sangat lucu. David mengira itu hanya ada dalam novel atau cerpen remaja yang pernah dibacanya, ternyata teman dekatnya mengalami kisah itu. Raditya memandangi David yang terus tertawa seperti mengejeknya, sampai akhirnya David lelah dan menghentikan tawanya, kemudian David menepuk tangan Raditya.
"Sepertinya aku banyak ketinggalan cerita tentangmu. Kau harus menceritakannya nanti sambil minum di bar. Setuju?"
"Atur aja!"
***
Rembulan menunggu kedatangan Ari di kantor penerbit, tadi Ari berkata akan menjemputnya. Dia melihat jam tangan, dan menjadi gelisah. Menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan dan sama sekali tidak menarik, termasuk menunggu pacar.
Ups! Bukan...Rembulan tidak bermaksud mengatakan bahwa Ari adalah pacarnya. Yang Rembulan maksud, walaupun seorang pacar yang ditunggu kedatangannya hal itu tetap membosankan. Ada yang bilang, "Ah, nggak juga! Kalau menunggu pacar itu sensasinya tetap beda, pasti ada rasa berdebar-debar."
Rembulan mengingat, dulu ketika dia pacaran dengan Ari, tidak pernah muncul perasaan itu ketika menunggu Ari. Yang ada dia sering merasa jengkel karena Ari lebih sering nongkrong dengan teman-temannya, sampai terkadang lupa kalau dia punya janji dengan Rembulan.
Sudah kesekian kali Rembulan melihat jam tangan dan Ari belum juga kelihatan ujung hidungnya. Berkali-kali Rembulan menelpon dan ponselnya selalu tidak aktif. Ingin rasanya Rembulan meluapkan kemarahannya. Tapi itu tak mungkin. Rembulan memberikan batas toleransi dia harus menunggu, sepuluh menit lagi. Kalau Ari tidak datang atau tidak memberi kabar, Rembulan akan pergi.
Rembulan kembali membaca novel ditangannya, tapi otaknya tak bisa berkonsentrasi membaca jadi semua hanya dilewati saja. Dia kembali memandang kearah pintu. Berharap Ari muncul dan berjalan dari sana. Cukuplah sudah, Rembulan beranjak dari duduknya.
Begitu berada di pintu keluar, dia melihat Ari berdiri di samping mobil tersenyum padanya. Ari memegang buket bunga yang cantik dengan mawar berwarna merah dan merah muda
Rembulan menjadi trenyuh dan tersenyum. Padahal tadi dia bertekad akan menumpahkan semua kemarahannya pada Ari kalau nanti mereka bertemu.
"Sudah lama menungguku disini?" Rembulan bertanya sambil menerima buket bunga, lalu mencium bunga-bunga itu...wangi, sangat wangi.
"Sekitar lima menit."
"Kenapa nggak masuk?Atau menelponku?"
"Aku lebih suka menunggumu disini, melihatmu keluar dari pintu itu dan berjalan ke arahku."
"Aku sudah lama menunggumu di dalam."
"Dan aku tahu, kamu akan menumpahkan kemarahanmu kan?" Ari menjawil ujung hidung Rembulan. Kemudian dia membukakan pintu mobilnya,"Masuklah!"
"Setelah sekian tahun tidak bertemu, Abang masih ingat semua."
"Aku tidak pernah bisa melupakanmu, tak akan pernah bisa." Ari menatap dalam mata Rembulan.
Rembulan merasa jengah ditatap seperti itu,
"Terima kasih buat bunganya."
***
Ari menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang, dia sedang tidak terburu-buru dan ingin berlama-lama dengan Rembulan. Begitu mudah mengambil hati Rembulan, dengan bunga dan puisi atau memberikan sebuah buku yang bagus akan dengan mudah meredakan amarah gadis ini. Ari sangat mengenal Rembulan.
Tadi dia sengaja membeli bunga karena memang ingin memberikan sesuatu yang spesial. Didekat perempuan ini dia bisa bersikap sangat romantis dan entah mengapa perempuan ini seperti punya sesuatu yang membuatnya menjadi romantis. Ari suka melihatnya tersenyum.
Kemarin dia berusaha mencari alasan untuk bisa bertemu Rembulan dan mengajaknya jalan. Ari ingat salah satu temannya akan berulang tahun, mencari buku dengan Rembulan untuk kado adalah alasan terbaik. Padahal Ari tidak terlalu mengerti, temannya itu suka membaca buku atau tidak. Itu tidak terlalu penting, walaupun kado buku darinya nanti tidak dibaca dan hanya menempati rak buku paling bawah, Ari tidak mempermasalahkannya. Yang penting Ari punya alasan untuk mengajak Rembulan pergi.
Ari melihat Rembulan mengambil foto buket bunga yang berada di pangkuannya.
"Kenapa difoto?" Ari bertanya ingin tahu.
"Sesuatu yang cantik harus diabadikan." Rembulan menjawab, matanya tak lepas memandang bunga yang berada di pangkuannya. Rembulan ingin membagi bunga yang indah ini dengan mengunggahnya di status what's up miliknya diberi caption "Sesuatu yang cantik harus diabadikan".
***
Raditya sedang berbaring, dia merasa badannya sedikit lelah. Mungkin karena kurang tidur. Dari tadi dia mencoba memejamkan mata, berusaha untuk tidur lagi. Nanti malam dia sudah punya acara yang mendapuk dirinya sebagai bintang tamu. Penampilannya harus maksimal, tubuhnya harus terlihat fit. Dia harus tidur sebentar untuk menyamarkan kantung matanya. Walaupun nanti bisa dibantu dengan make up, tapi tubuhnya tidak merasa bugar. Raditya meraih ponsel yang berada di nakas, di layar ponselnya muncul nama David.
"Hmm..." Raditya menjawab malas.
"Makan siang nggak Lo?"
"Entar aja, gue pesan dari hotel aja. Gue males keluar."
"Nanti sore lo udah harus siap. Kita mau ke acara penggalangan dana. Jangan sampai lupa!" David mengingatkan dengan nada seperti memerintah.
"Iya iya, entar lo telpon gue...takutnya gue ketiduran."
Setelah menutup telpon, Raditya melihat media sosialnya dari mulai Facebook, Instagram sampai melihat status what's up. Raditya jarang mengunggah status atau posting sesuatu.
Media sosial bukanlah hal yang penting buat dirinya. Hanya sesekali saat dia ingin membagi berita tentang film atau sinetron terbarunya. Bagi Raditya, ada hal-hal yang ingin dia simpan sendiri.
Bagi seorang aktor, privasi adalah hal yang paling sulit. Orang akan sangat ingin tahu dan mengulik semua aspek kehidupan. Makanya penting bagi Raditya untuk memiliki sesuatu yang dia simpan sendiri.
Raditya melihat Rembulan mengunggah status buket bunga dengan caption "Sesuatu yang cantik harus diabadikan".
Raditya menjadi bertanya-tanya, apakah Rembulan menerima buket bunga dari seseorang? Atau dia sedang ke suatu tempat dan melihat buket bunga?
Rembulan sangat jarang mengunggah status, jadi saat melihat ini menjadi suatu tanda tanya bagi Raditya. Rasa ingin tahu membuat Raditya tidak bisa menahan diri. Dia mengirim pesan untuk Rembulan.
Bunganya sangat cantik. Adakah seseorang yang memberikannya?
Ya, memang sangat cantik dan wangi. Seseorang dari masa lalu yang sedang berusaha meminta maaf. Rembulan membalas dan menambahkan emotikon senyum di ujung kalimat.
Mengertilah Raditya siapa yang dimaksud, lalu dia menaruh ponselnya dengan kasar. Matanya dipejamkan, tidur lebih baik.