Ponsel Rembulan berbunyi, ada nama Ari tertera di layar. Raditya melihat sekilas, dia mengeraskan rahangnya. Mendengar Rembulan bicara dengan Ari bahkan tertawa, ingin rasanya dia beranjak pergi. Lebih baik tak perlu mendengar Rembulan bicara seramah itu, tertawa serenyah itu, bahkan tersenyum semanis itu. Sungguh Raditya tak rela, dia menginginkan Rembulan hanya untuk dirinya saja.
Raditya mendengar Rembulan membuat janji dengan Ari besok. Tak sadar dia mengepalkan tangan. Perasaan cemburu sungguh menyiksa dirinya.
Ah, sialan! Kenapa Ari harus menelpon Rembulan saat perempuan itu sedang bersamanya. Pernahkah perempuan ini memikirkan dirinya, mengerti perasaannya. Tahukah perempuan ini sinyal-sinyal yang sudah dikirimkannya.
Saat Rembulan menyudahi telponnya. Entah mengapa Raditya mendadak mulutnya terasa gatal untuk bertanya, "Bang Ari? Sutradara?"
"Iya, besok mau ngajak aku nonton bioskop."
"Kamu?"
"Maksudnya?" Rembulan mengerutkan dahi, dia tak mengerti maksud pertanyaan Raditya.
"Kamu mengiyakan?"
"Ya, aku juga besok sedang tidak ada pekerjaan. Terakhir nonton dengan Bang Ari waktu SMA. Sudah lama banget." Rembulan tersenyum tipis, matanya menerawang, mungkin Rembulan mengingat saat-saat berdua dengan Ari. Cinta pertama tak akan mudah melupakannya. Raditya nyaris berteriak, dia sungguh tak suka.
Sepanjang perjalanan Raditya memilih diam, dia sudah tak berminat bicara dengan Rembulan. Raditya nggak mau mendengar Rembulan bercerita soal Ari dan kenangan mereka berdua. Itu sangat menyakitkan.
Rembulan juga tak bicara, mereka berdua seolah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Rembulan duduk tenang dan pandangannya lurus ke depan. Raditya sesekali melirik, berusaha menebak apa yang dipikirkan Rembulan. Tapi lagi-lagi semua tertuju pada Ari. Akhirnya Raditya memilih memejamkan mata. Itu lebih baik saat ini.
***
Rembulan ingat, dulu pernah bolos sekolah hanya karena nonton film jam pertunjukkan pertama siang hari. Untungnya sampai sekarang mama dan papa tidak pernah tahu soal itu. Rembulan nyaris tidak berani pulang. Dia ingat menelpon Oscar sambil menangis karena takut mama dan papa marah padanya. Dia memohon pada Oscar untuk melindunginya kalau nanti ketahuan. Dan sepupunya yang baik itu setuju dengan satu syarat, Rembulan harus mentraktir dia makan di kantin sekolah selama satu minggu.
Harga yang sangat mahal bagi Rembulan saat itu. Rembulan harus irit jajan bakso demi bisa mentraktir Oscar. Ketika Ari tahu perjanjian dirinya dan Oscar, Ari langsung mendatangi Oscar. Sampai sekarang Rembulan tidak pernah tahu apa yang dikatakan Ari pada Oscar. Mereka selalu bilang kalau ini urusan laki-laki. Namun setelah itu, Rembulan terbebas dari keharusan mentraktir Oscar. Kalau tidak salah masih kurang tiga hari lagi dari batas waktu perjanjian mereka.
***
Rembulan sangat suka menonton film, tidak harus di bioskop, pernah juga dia bersama teman-temannya nonton film layar tancap ketika berkunjung ke sebuah desa. Salah satu temannya tinggal di desa itu, mereka beramai-ramai berlibur ke situ. Rembulan mengingat betapa bahagianya menonton beramai-ramai di lapangan. Begitu gerimis datang, mereka berlarian mencari tempat yang aman untuk menonton. Salah satu temannya bilang, "Layar tancap ini nama lainnya misbar, begitu gerimis bubar."
Rembulan mengingat kejadian lain, karena dia sangat suka menonton film, dalam satu hari dia pernah nonton film di empat studio. Di studio yang keempat Rembulan tertidur, dia tidak pernah tahu jalan ceritanya. Rembulan ingat dia dibangunkan orang yang duduk disampingnya.
"Kalau nggak ada yang bangunkan kamu bisa-bisa dikunci di gedung bioskop sampai besok ,Lan." Salah satu teman kosnya bicara. Setelah itu Rembulan kapok nonton beberapa film di bioskop dalam satu hari, dia takut ketiduran lagi.
***
Ruang makannya tidak begitu besar dan terkesan sederhana, ada meja makan yang cukup untuk empat orang dan ditutupi taplak meja berwarna coklat muda. Ada lukisan buah-buahan yang digantung di tembok ruang makan. Namun, Raditya suka berada disitu. Ruang makan itu terkesan hangat dan aroma kopi seolah-olah memenuhi ruangan itu.
Sungguh pagi ini Raditya merindukan berada disana. Membayangkan kopi yang diseduh, kopi buatan Rembulan yang terasa nikmat, juga sarapan pagi buatan Rembulan. Sedari tadi dia hanya bisa membayangkan tapi begitu mengingat Rembulan dan Ari, bayangan soal ruang makan yang hangat terlupakan sementara. Hanya sementara, karena kemudian muncul kembali memenuhi otaknya.
***
Rembulan melihat jam di dinding, "Tumben dia belum datang? Biasanya jam segini dia sudah mengetuk pintu rumah? Kenapa sih dia?"
Rembulan ingat kemarin Raditya tidak banyak bicara selama sisa perjalanan pulang. Kemarin dia tidak mempertanyakan soal itu. Aku harus bagaimana? Apa harus menelpon? Nggak ah!
Rembulan naik ke lantai dua, dia ingin mengintip, mungkin Raditya ada di balkon rumahnya.
***
Raditya melongokkan kepalanya ke teras rumah Rembulan. Perempuan itu tidak ada. Raditya sedang mencari berjuta alasan apabila nanti terpergok sedang mengintip ke rumah tetangganya itu. Ketika tidak melihat Rembulan, dia merasa kehilangan.
Raditya segera naik ke lantai dua, berharap semoga Rembulan sedang berada di balkon rumah sambil membaca novel seperti biasa. Dia mengintip ke arah balkon Rembulan. Tapi tetangganya itu tak berada di situ. Bayangan kopi dan sarapan datang kembali menghantui. Raditya mengacak-acak rambutnya, lalu berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengintip, berharap Rembulan ada di situ.
***
Rembulan menelan rasa kecewa saat tak mendapati Raditya di balkon. Dia bimbang, tak tahu harus bagaimana. Namun sekelebat Rembulan melihat Raditya lewat dan berjalan cepat masuk ke rumah. Rembulan tersenyum lebar, dia mengambil poci kopi dan gelas, diletakkannya diatas meja yang berada di balkon. Lalu Rembulan mengambil salah satu novel favoritnya yang sudah dia baca berulang-ulang, sampai dia hapal halaman mana saja yang jadi favoritnya di novel itu.
Rembulan berpura-pura membaca, padahal sedari tadi pikirannya entah berada dimana, dia tidak membaca novel itu sama sekali.
Lima menit kemudian setelah akting "pura-pura malu tapi butuh" yang dia jalankan dengan sungguh-sungguh, terdengar suara Raditya berdehem. Rembulan tersenyum dibalik novelnya.
Rembulan pura-pura tidak mendengar dan tidak memperhatikan Raditya, dia masih asyik melihat dan membolak-balikkan novel yang dipegangnya. Sungguh sangat menyiksa harus bersandiwara dan itu karena gengsinya setinggi langit. Dia menanti Raditya memanggil namanya.
***
Melihat Rembulan dengan novelnya, Raditya tersenyum lebar, dia berdeham untuk menarik perhatian Rembulan. Namun perempuan itu terlalu berkonsentrasi dengan novel yang berada ditangannya. Raditya mengeraskan bunyi dehamnya , berharap Rembulan mengangkat wajahnya dan melihat ke arahnya. Harus sekeras apa sih supaya dia bisa mendengar? Masak dia tidak merasakan kehadiranku?
Perempuan ini benar-benar mengujinya. Akhirnya Raditya memanggil nama Rembulan, hanya karena demi secangkir kopi yang membayangi di pelupuk mata, Raditya menurunkan kadar gengsinya. Perempuan itu mengangkat wajahnya, tersenyum lebar " Mau menemaniku minum kopi?"