webnovel

Bab 5 : Dari Sini, Dari Sekarang

Selepas aku membereskan seluruh perlengkapan kebersihan pada kelas, mengambil tasku, dan menutup kelas dengan erat. Aku berjalan menuruni tangga bersama Eri yang semenjak tadi tidak sabaran. Menuruni setiap anak tangga satu persatu, di sore hari yang sepi ini.

Kelasku sendiri berada di lantai 3 gedung A, gedung yang berada paling dekat gerbang masuk serta di belakang aula. Semua kelas 3 Software Engineering kelasnya berada di lantai 3 gedung A, sedangkan lantai 2 dihuni kelas 2, dan lantai 1 atau lantai paling bawah dihuni oleh kelas 1. Bisa dibilang, ini penyiksaan bagi tahun ke 3 seperti kami. Karena terkadang kami harus naik turun naik turun lantai setiap mendapatkan pelajaran di lab komputer. Lab komputer sendiri berada di lantai 1. Sudah bagaikan menjalani olahraga tersendiri setiap harinya.

"Theo."

"Hm ?"

"Kamu seharusnya harus bisa menolak permintaan orang lain."

"Ya."

"Kalau kamu terus menerima permintaan mereka, lambat laun mereka juga semakin menaruh percaya padamu. Dan kemudian semuanya akan diserahkan pada dirimu, Theo."

"Kamu benar."

Kesal karena aku menjawabnya pertanyaannya menggunakan jawaban yang singkat dan biasa saja, dia mengerutkan keningnya. Kemudian berkata dengan sedikit meninggikan suaranya.

"Kamu dari tadi mendengarkanku tidak sih ?"

"Dengar kok dengar."

Aku berjalan melewatinya, berbelok ke arah kiri untuk menuruni tangganya lagi. Dengan langkah kaki yang dipercepat, dia kembali menyusulku dan kembali berada di sebelahku, menyesuaikan langkahnya.

"Ya maka dari itu, sesekali katakan pada mereka untuk melakukan tugasnya dengan benar."

"Aku sudah melakukannya."

"Lalu kenapa-"

"Mereka selalu berkata memiliki urusan, aku juga tidak ingin merepotkan mereka. Ya mau bagaimana lagi, daripada kelasnya tidak ada yang membersihkan bukan. Jadi aku melakukannya sendiri."

"Tapi-"

Kupotong lagi kata-kata yang hendak ia katakan, bermaksud menyudahi pembicaraan yang tidak ingin diperpanjang lebih jauh lagi.

"Sudahlah, Eri. Aku juga sudah terbiasa kok. Tidak perlu dipermasalahkan, diriku memang sudah seperti ini sejak dulu."

Dia menasihatiku layaknya Yuda. Dia-yang baru saja-kukenal selama beberapa hari, berusaha untuk menasihatiku. Namun, itu cukup membantuku karena dinasihati oleh gadis secantik dirinya.

"Maaf, Theo. Mungkin, aku sedikit sok tahu. Padahal kita baru berjumpa beberapa hari..."

Eri langsung murung, seakan bersalah karena percakapan tadi. Aku menjawabnya dengan 'tidak apa-apa' sambil menggelengkan kepalaku. Saat aku mengintip pada wajahnya, masih tertulis rasa bersalah di sana. Sehingga aku berusaha untuk membuatnya tidak memikirkan hal tadi.

Sampailah kami pada lantai satu, sejauh mataku memandang tidak ada orang sama sekali. Begitu sepi, hanya terdapat beberapa suara teriakan dari siswa yang tengah melakukan ekstrakurikuler olahraganya di lapangan. Kami berdua berjalan ke kanan, menuju ke ruang BK sambil jaga jarak agak jauh karena percakapan tadi.

"Kita sudah sampai." Aku menengguk ludahku sendiri begitu berdiri di depan pintu ruang BK.

Meski aku pernah memasuki beberapa kali untuk mengurusi sesuatu, tetap saja ruang Bimbingan Konseling bagai memiliki aura tertentu. Hendak mengetuk pintunya saja, aku harus mengumpulkan banyak keberanian serta mengatur nafasku.

"Apa yang kamu tunggu ? Tinggal masuk saja kan ?"

Tanpa basa-basi, Eri langsung menggerakkan tangannya ke gagang pintu dan memutarnya. Aku yang kaget melihat tindakannya itu berusaha menghentikannya, tapi terlambat dan pintu pun telah terbuka.

"Permisi." Ucap Eri.

Aku berjalan di belakangnya, memindahkan tasku berada di depan sambil terus memeganginya. Ah, aku memasukinya, aku memasuki ruang BK.

"Hm ? Eri rupanya. Sini duduk."

Tidak lama setelah kami masuk, guru BK menyambut kami dengan menyuruh kami untuk duduk terlebih dahulu. Sungguh aneh, aneh sekali rasanya. Entah mengapa... padahal biasanya ketika aku masuk ke sini, setiap guru akan memandangiku dengan tajamnya seperti menanyakan 'Murid ini kena masalah apa sampai diundang masuk ke sini?', tetapi... sekarang malah disambut ramahnya hingga disuguhi teh hangat.

"Saya ingin mengumpulkan formulir."

"Formulir ? Jangan-jangan Formulir Program ke Jepang itu ?!"

"Benar, ini formulirnya."

Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku ke sekitar, terlalu berat atmosfirnya, sehingga aku hanya memandangi Eri yang tengah berbicara dengan guru BK perempuan. Mereka sepertinya berbicara seperti biasanya, tanpa merasa gugup. Seolah-olah mereka sering melakukannya.

"Kamu sudah bicarakan lagi dengan orang tuamu ?"

"Apa ibu tidak lihat tanda tangannya di pojok bawah formulir ?"

"Ibu tahu kalau formulirnya sudah di tandatangani. Tetapi, kamu memiliki nilai tinggi di setiap semester semenjak kelas satu. Banyak perguruan tinggi yang mengincarmu juga, Eri. Ibu juga merasa kalau orang tuamu juga merekomendasikanmu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi."

"Apa perlu saya mintai stempel dari ayah saya ?"

Udara yang ada di sekitarku seketika langsung berubah. Mata Eri terlihat sangat serius sewaktu ia mengatakannya, membuat guru BK yang tengah duduk di depanku mengalihkan pandangannya, berusaha tidak melihat langsung pada mata Eri.

"Ti-Tidak perlu. Jika ini memang sudah pilihanmu, maka ibu menerimanya."

Wuah, dia sampai membuat guru BK takluk. Menakutkan, Eri menakutkan.

"Kemudian, kamu ada keperluan apa kemari ?"

"Saya ingin mengumpulkan formulir juga, bu." Kuberikan formulir pendaftaranku kepadanya.

Sekitar ada 2 menit ia mengamati formulirku, dilihatnya dari atas hingga bawah. Lalu ditaruhkan di belakang formulir milik Eri.

"Baik, ibu terima formulirmu."

Eh... begitu saja ? Tidak ada perdebatan seperti tadi ?

"Formulir kalian berdua telah ibu terima. Untuk pengumuman selanjutnya akan disampaikan setelah kalian melaksanakan Ujian Nasional dan Ujian Praktik."

"Terima kasih banyak, bu."

Setelah berada di ruang BK selama sekitar 15 menit, kami pamit untuk pulang ke rumah.

Saat kami berjalan di lorong menuju ke tempat parkir, jam tanganku menunjukkan sekitar pukul 5 sore. Warna kuning oranye menyinari lantai keramik yang tengah kami lewati, menandakan sang surya sebentar lagi tenggelam. Meskipun demikian, aku masih dapat mendengar keributan yang berasal dari lapangan belakang, oleh klub olahraga yang semangatnya tidak kendor walau senja telah datang.

Kami masih tetap diam semenjak keluar dari ruangan BK. Jadi, agak canggung sekarang. Eri mungkin juga masih memiliki rasa bersalah yang dipendam hingga sekarang. Merasa tak enak dengan keadaan kami berdua, aku memberanikan diri untuk membuka percakapan.

"Setelah ini langsung pulang ?"

"Ya."

"Apa kamu bawa kendaraan sendiri ?"

"Aku tidak diperbolehkan membawa motor, tapi ada sepeda."

"He-He...."

Ternyata ia membawa sepeda. Benar juga ya, kemarin kan aku juga bertemu dengannya di parkiran. Bodohnya diriku... berharap dapat mengantarkannya...

"Rumahmu tidak jauh dari sini kah ?"

"Aku ngekost di sini. Rumahku di ibu kota. Tidak begitu jauh kok, di perempatan pertama."

Begitukah... ia ternyata ngekost. Kupikir dia orang sini, rupanya tidak. Merasa sedikit puas, aku mengangguk-angguk. Setidaknya, aku bisa mendatanginya sesekali untuk mengajaknya berkeliling kota.

"Kalau Theo sendiri ? Orang sini kah ?"

"Aku ? Ah... Ya. Aku di sini selama 18 tahun."

"Hm..." Ia hanya menjawabnya begitu saja.

Merasa tidak cukup, aku tidak berhenti sampai situ saja. Berusaha untuk terus berbincang-bincang dengannya sebelum kami berpisah pada tempat parkir. Tapi... percakapan apa, memikirkan bahasan untuk dibicarakan dengan perempuan itu sulit. Kalau bisa aku tidak ingin percakapan yang biasa-biasa saja agar tidak cepat selesai.

"Setelah ini kita akan sangat sibuk ya..."

Menerobos kata-kata yang telah kurencanakan untuk kukatakan selanjutnya, ia mengatakannya terlebih dahulu sebelum diriku. Seperti yang kuduga... dari si jenius yang bisa membaca pikiran.

"Ya... aku juga harus segera memikirkan tugas praktikum. Membuat web bukanlah keahlianku..."

"Membuat web kah. Soal itu aku tidak begitu paham..."

Tentu saja, karena bidangmu bukan di pemrograman ! Tapi menyusun jaringan !

"Tugas-tugas akan semakin banyak... Tryout setiap bulan. Mungkin kita akan sibuk selama beberapa bulan ke depan..."

"Begitu... kah..."

Ia menundukkan kepalanya, tidak lagi melanjutkan percakapannya.

Gawat, aku justru malah membuat suasananya semakin buruk. Jika begini terus kita benar-benar akan mengakhiri percakapannya di sini.

"A-Aku juga khawatir dengan nilaiku. Terutama matematika... sejak dulu aku tidak terlalu pandai matematika. Benar-benar gawat kalau sampai Ujian Nasional nanti..."

"Matematika ? Padahal gampang loh."

Apa yang dikatakan gadis ini ?! Matematika gampang ?!

"Gampang, kamu tinggal menghapalkan rumusnya kan. Taruh angkanya sesuai tempatnya... lalu tinggal hitung... selesai."

Dia mengatakannya dengan mata tertutup, serta terlihat bangga. Entah mengapa itu justru membuatku kesal.

"Te-Tetap saja aku tidak memahaminya... semenjak materi algebra aku menyerah dengan matematika."

"Hee... Aljabar ya..."

"Benar... kemudian integral kah, vektor kah, limit fungsi juga.. aku sama sekali tidak maksud."

"Hm hm, begitukah begitukah."

Setelah mendengar beberapa keluhanku soal bab matematika, dia memiringkan kepalanya ke samping.

"Ya... kalau aku sih rata-rata paham semua materinya. Mungkin apa ada materi lagi yang tidak kamu pahami, Theo ?"

Kali ini, dia memiringkan kepalanya ke sisi kebalikannya.

"Ada banyak... tapi kalau kukatakan semuanya terlalu memalukan."

"Eh... kenapa ?"

Karena kamu itu lebih pintar dariku ! Justru memalukan bukan, bagi seorang pria sepertiku tidak bisa matematika... terlihat tidak keren di mata perempuan.

"Kalau kamu mengatakan semua bab yang tidak begitu kamu pahami... Mungkin aku bisa membantumu."

Ia berhenti tiba-tiba dari langkahnya, yang juga membuatku menghentikan langkahku. Setelahnya, aku berbalik menghadap kepadanya. Dia menatapku, seakan dirinya saat ini mengatakan 'Ayo, sekarang giliranmu untuk meminta bantuan padaku.' Seperti itu.

"Apa kamu yakin... ingin membantuku ? Banyak yang tidak kupahami loh."

"Ya. Mungkin aku bisa membantumu."

"Aku sendiri sudah membenci matematika sejak SMP. Akan sulit mengajariku nantinya."

Kembali kulanjutkan jalanku, begitu juga Eri yang mempercepat langkahnya.

"Aku akan mengajarimu hingga bisa dan membuatmu suka matematika."

"Kalau sampai menyukai matematika... itu sih kayaknya tidak mungkin."

Di tengah percakapan, tidak sadar, kami telah mencapai tempat parkir. Tempat parkir sepeda dan motor berlawan arah, jadi di sinilah kami akan berpisah. Sangat disayangkan.

"Mungkin... aku menolak tawaranmu. Mengajariku membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak. Itu bisa mempengaruhi nilaimu, Eri. Aku akan coba mencari tempat les saja nanti."

"Aku serius ingin membantumu, Theo."

Aku, yang telah berjalan menuju ke arah tujuanku berpaling tanpa ragu, terhenti oleh kata-katanya.

Dia menunjukkan wajah seriusnya, seperti yang ia tunjukkan pada ruang BK sebelumnya, sebuah pandangan dari seseorang yang tidak dapat dihentikan oleh apapun. Aku benar-benar tidak pernah tidak terpesona melihat matanya itu, menghembuskan nafasku, tersenyum kecut padanya.

"Tidak perlu risau soal nilaiku. Aku lebih baik menggunakan waktuku untuk membantu Kawan Seperjuanganku."

"Aku tidak ingin merepotkanmu Eri."

"Kamu ada waktu luang di hari Minggu ?"

"Ah, maaf. Aku ada kerja sambilan di hari Minggu. Jadi..."

"Kamu bohong kan."

'Aku tidak bohong, aku memang ada kerja sambilan di hari minggu dari pagi hingga siang !' Aku ingin mengatakannya tapi setelah melihat matanya kembali, keberanianku menciut.

"Jika ada waktu luang, pada hari Minggu besok temui aku di Kafe Sakura di dekat stasiun jam 1 siang. Aku menunggumu di sana."

Setelah selesai mengatakannya, tanpa menunggu jawaban dariku, dia langsung berjalan menuju ke tempat sepedanya di parkirkan. Meninggalkanku yang masih terdiam membatu, tidak mengerti apa-apa. Aku sendiri tidak memiliki kontaknya, juga tidak tahu Kafe Sakura itu dimana.

Dia mengayuh sepedanya, di atasnya langit oranye dari matahari terbenam menemaninya, menyinari gadis berambut hitam tersebut. Walau aku masih pusing tujuh keliling, aku membalikkan tubuhku darinya, berjalan menuju motor putihku.

'Baru pertama kali ada seseorang yang memaksa membantuku seperti itu.'

Benar-benar, walau kami berdua sangat berbeda. Dia mau, bahkan memaksa untuk membantuku hanya karena kami memiliki satu kesamaan.

Begitu sampai pada motorku, aku menyentuhkan jari tangan kananku pada nadi di dekat pergelangan tangan kiri... untuk memastikan bahwa aku masih hidup dan ini memanglah kenyataan.

"Kawan seperjuangan... kah..." aku bergumam sendiri, mengulang kata-kataku sendiri yang tadi diucapkan olehnya.

Angin dingin menerpa diriku, membuyarkanku dari pikiran-pikiran saat ini. Yang tersisa sekarang hanyalah satu, aku sangat menantikan pertemuan kami pada hari Minggu.

-o-

Seperti apa yang ia katakan pada beberapa hari sebelumnya, untuk menemuinya pada Kafe Sakura di hari Minggu jam 1 siang. Aku tidak bisa menolak permintaannya. Meski kerja sambilanku selesai pada pukul 12.30, aku langsung pergi menuju tempat janjiannya. Mencari kafe yang belum pernah kumasuki sebelumnya, karena aku sendiri jarang main ke kafe-kafe seperti anak muda lainnya.

Aku mencari tempatnya sekitar 10 menit berputar-putar di sekitaran stasiun, mengandalkan GPS yang tidak begitu akurat. Saat aku hendak menyerah untuk mencarinya, aku melihat dirinya pada jendela kafe. Tengah memandangi handphone, sendirian.

Kuhentikan motorku dan parkir pada tempat yang sudah disediakan, memasuki kafe tersebut.

"Selamat datang." Sambut penjaga kafe.

Mengangguk untuk menjawab sambutannya itu, aku memalingkan wajahku pada Eri yang tidak menyadari kehadiranku. Dari semua tempat di dalam yang terdapat banyak orang saling berbicara satu sama lain, ia memilih tempat yang tidak ada orang satu pun... di dekat jendela. Seperti yang kuduga dari Eri.

"Maaf, aku terlambat. Aku tidak tahu tempatnya jadi berputar-putar." Sapaku kepada Eri.

"Aku pun juga baru sampai, tidak perlu khawatir."

Begitu kulihat pada meja, minuman yang ia pesan tinggal setengah pada gelas beningnya. Menandakan ia telah berada di sini agak begitu lama.

Ini adalah kali pertamanya kami saling bertemu selain di sekolah. Eri memakai sebuah jaket hitam, bukan jaket pink yang ia biasa pakai di sekolah, jaketnya terbuka dan menunjukkan T-shirt warna putih. Serta memakai rok hitam yang agak lebih tinggi dari rok sekolah, beserta kaus kaki hitam panjang dan sepatu hitam juga. Jika kulihat, dia berbeda dibandingkan gadis belia lainnya yang suka berpakaian dengan pakaian lucu berwarna terang. Justru, ia memakai pakaian didominasi warna pria, yaitu hitam dan putih.

"Lalu, langsung saja. Keluarkan buku pelajaranmu. Mau mulai dari materi apa ?"

"Ah, iya."

Aku terpesona melihat penampilannya sehingga lupa tujuan awalku ke sini, yaitu untuk belajar dengannya. Segera kuambil buku cetak matematika dan buku tulisku, meletakkannya pada meja kafe.

"Silahkan pesanan Anda, es kopi susu." Pelayan kafe meletakkan secangkir pesanan kopiku pada meja saat Eri tengah membalik-balikkan buku cetak.

"Kamu belum paham aljabar kan ?"

"Iya."

"Padahal itu dasar dari dasarnya. Kita mulai dari situ saja."

Eri memulai pelajarannya, mendekatkan dirinya kepadaku. Aku yang tidak pernah menjalin hubungan dengan gadis sebelumnya kaget saat wajahnya begitu dekat denganku. Bukannya fokus pada penjelasannya saat ini, justru pikiranku buyar karena tidak menyangka bau dari seorang gadis itu begitu harum. Tidak hanya itu juga, yang membuat Eri sangat berbeda hari ini adalah ia mengikat rambutnya ponytail ke belakang... yang membuatku dapat melihat tengkuk lehernya begitu jelas.

"Theo, kamu paham tidak ?"

"Hah ? Ah iya... sedikit."

"Kamu merhatiin gk sih ?"

Aku mengangguk-ngangguk sekeras yang kubisa agar bisa terbangun dari pikiran tidak jelasku juga. Aku harus serius... Eri sampai repot-repot meluangkan waktu liburnya untuk mengajariku. Tidak seharusnya aku malah hilang fokus ke hal lainnya.

Kutepuk pipiku sekeras mungkin hingga Eri kaget dibuatnya, begitu juga dengan beberapa pengunjung lain yang berada di dekat kami.

"Ka-Kamu ngapain Theo, nepuk pipimu ?"

"Baiklah ! Tolong jelaskan sekali lagi, Eri-sensei !"

"Se-Sensei ?"

"Itu artinya guru dalam bahasa Jepang, sekarang. Tolong ulangi lagi penjelasannya !"

Dia menatapku dengan tatapan kebingungannya, sampai terlihat senyuman yang terlukiskan dari bibirnya.

-o-

Kami berada di kafe Sakura itu hingga sore hari sekitar jam 5. Dengan diriku yang juga mengantarkan Eri pada kostnya. Minggu depannya, kami pun kembali bertemu pada tempat yang sama, dan melakukan hal yang sama. Eri selalu menyempatkan dirinya untuk mengajariku setiap hari Minggu, tidak hanya matematika saja, tetapi juga pelajaran umum lainnya. Kami terus melanjutkannya berminggu-minggu, dari November hingga pertengahan Februari yang mengharuskan kami terpaksa tidak bertemu terlebih dahulu.

Agak sedih memang karena tidak bisa bertemu lagi setiap minggunya, bertemu di sekolah pun sulit karena kami disibukkan oleh ujian praktik masing-masing yang dilakukan di lab seharian penuh.

Beberapa kali aku pun merasakan jenuh karena setiap hari melakukan hal sama yaitu belajar, ujian, kerja, kemudian pulang dan belajar lagi. Seakan semuanya berada dalam loop tiada akhir. Pernah berpikir untuk menghentikan looping itu, menyerah di tengah jalan. Tetapi, aku selalu melihat kembali poster besar yang kupasang di dinding kamarku.

"TUJUAN TERBESAR, PERGI KE JEPANG !"

Yang selalu mengingatkanku untuk tidak berhenti sampai di sini. Aku tidak boleh membiarkan apa yang diajarkan Eri selama ini terbuang percuma. Aku juga tidak akan mengingkari janjiku pada ibu yang telah memberikan tanda tangannya padaku.

Meski jalan yang akan kulalui hingga bulan Maret nantinya sangat berat, aku merasakan dorongan besar yang membantuku dari belakang. Membuatku untuk terus berdiri dan melangkah maju.

Dari sinilah semuanya dimulai dan aku tidak bisa berhenti disini, karena perjuanganku masih sangat jauh !