webnovel

Nasib Yang Malang

Pak Hardi heran, kenapa justru anak angkatnya yang memiliki golongan darah sama. Sedangkan ketiga anak kandungnya sendiri tidak ada yang sama. Dokter menyarankan Maurin agar diperiksa terlebih dahulu, sebelum mendonorkan darahnya. Diharap kondisinya benar-benar dalam keadaan sehat. Sekitar dua jam an, Pak Hardi dan anak-anaknya menunggu proses pendonoran selesai.

"Doni, Anton, kalian kenapa seperti orang ketakutan seperti itu?" tanya Pak Hardi.

"A-anu, Pa. Kami takut kalau Mama kenapa-kenapa," jawab Anton gelisah.

Namun Tomi melihat gelagat kedua kakaknya memang sedikit aneh, gelisahnya seperti bukan karena mamanya masuk rumah sakit, tapi ada yang lain. Sebelum Tomi juga ikut bertanya, Doni dan Anton memilih untuk pergi menghindarinya.

Tak lama kemudian, Dokter keluar dengan wajah sumringah. Beliau memberitahu jika Bu Rani sudah berhasil melewati masa kritisnya berkat Maurin.

"Alhamdulillah, Mamamu sudah tertolong, Tom." Pak Hardi memeluk Tomi.

"Iya, Pa. Ayo kita lihat Mama!" Tomi dan Pak Hardi masuk ke dalam ruangan Bu Rani dirawat. Terlihat di sebelah Bu Rani juga ada Maurin yang masih terbaring lemas. Dia butuh istirahat penuh, karena hampir setengah darahnya di alirkan ke tubuh ibu angkatnya.

Tomi meratapi tubuh Maurin yang masih terbaring lemas di kasur rumah sakit. Dengan keadaan yang seperti itu, bagaimana bisa Maurin melanjutkan sekolahnya. Sedangkan dia memiliki cita-cita yang begitu mulia, yakni seorang dokter.

"Belum jadi dokter pun, kamu sudah mulia," gumam Tomi dalam hati.

***

"Akhirnya dua bulan sudah, kaki kamu bisa berjalan lagi tanpa tongkat," ucap Pak Hardi.

"Iya, Pak. Tapi saya sudah terlanjur nyaman home schooling," sahut Maurin. "Karena tidak akan ada yang ganggu saya," lanjutnya dalam hati.

Dan dihari yang sama, Pak Hardi harus pamit terbang ke Pulau Jawa untuk mengurusi bisnisnya di sana. Mendengar hal itu, Bu Rani beserta kedua anaknya menyengir gembira. Tak akan ada lagi yang bisa menghalangi mereka untuk mengusir Maurin dari rumahnya. Padahal Maurin sudah pernah menolong nyawanya yang hampir saja sekarat.

Pada minggu-minggu terakhir juga, Alexa lebih sering datang ke rumah Tomi. Dia takut cowoknya tersebut jatuh cinta dengan saudara angkatnya, karena si Tomi mulai peduli dan perhatian kepada Maurin. Hingga suatu hari, Alexa sengaja menyusun rencana jahat untuk mengadu domba mereka berdua. Rencana jahat Alexa justru mendapat dukungan dari Bu Rani beserta kedua anaknya.

Kala itu Maurin sedang asyik mengerjakan tugas sekolahnya di teras rumah. Kebetulan juga sedang hujan gerimis, menikmati suara rintikan hujan dengan pisang goreng hangat sambil belajar. Kebetulan juga hanya ada Maurin dengan Anton di rumah. Tomi dengan mamanya sedang berbelanja ke mall bersama Alexa.

"Non, ini teh hangatnya," ucap Mbok Asih sambil meletakkan segelas teh hangat ke meja Maurin.

"Terimakasih, Mbok. Pisang goreng buatan Mbok Asih memang nggak ada duanya," puji Maurin dengan melahap pisang gorengnya.

"Non Maurin bisa saja. Habiskan, Non!" Mbok Asih membawa nampannya kembali ke dapur.

Tanpa menunggu waktu lama, Maurin pun segera meneguk teh hangatnya agar tidak keburu dingin. Namun ada yang aneh setelah meneguk teh tersebut. Kepala Maurin tiba-tiba terasa pusing berat sekali, lalu dia tidak sadarkan diri. Seperti awal pingsan dulu, Maurin masih bisa mendengar ataupun merasakan walaupun matanya terpejam.

Dia merasakan seperti ada yang menggendong tubuhnya, lalu meletakkannya ke sebuah kasur. Mungkin dikamar Maurin, tapi ternyata bukan. Dari aroma parfum ruangan kamarnya dengan kamar yang saat ini ia tiduri beda.

"Sekarang kamu jadi milikku," gumam laki-laki yang suaranya hampir sama dengan Anton. Ya, memang hanya Anton yang sedang ada di rumah.

Maurin ingin berteriak tapi tak mampu, dia sudah memiliki firasat buruk kepada Anton. Perlahan Maurin merasakan pakaiannya terbuka satu-persatu. Sekarang tubuhnya terasa dingin, karena tak ada sehelai kainpun menutupinya. Anton mulai menikmati lekuk tubuh Maurin yang sudah tak berdaya lagi. Maurin hanya bisa menangis dalam hatinya, kesucian yang selama ini ia jaga, telah direnggut oleh Anton dengan teganya. Ketika mencapai puncaknya, Maurin akhirnya bisa membuka matanya. Namun Anton dengan segera menampar pipi kiri dan kanannya, sehingga Maurin kembali tak sadarkan diri. Kali ini Maurin benar-benar tidak sadarkan diri, setelah tamparan panas mendarat ke pipinya. Sungguh laki-laki tak punya otak! Jangan-jangan Anton juga yang sudah sengaja memasukkan obat ke dalam tehnya tadi.

Sore harinya, Maurin mulai sadar. Dia segera bangun dan melihat pakaiannya. Namun saat itu dia sudah berada di dalam kamarnya, dengan pakaian yang sudah rapi.

"Apa tadi aku cuma mimpi ya?" Maurin bertanya pada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat kejadian tadi.

Karena penasaran, Maurin beranjak dari kasurnya untuk menemui Mbok Asih. Terlihat Mbok Asih masih berada di dapur membersihkan sisa-sisa makan siang.

"Mbok, saya boleh tanya sesuatu?" tanya Maurin sempat mengagetkan Mbok Asih.

"Eh, Non Maurin. Tanya soal apa ya, Non?" tanya Mbok Asih kembali dengan wajah polosnya.

"Apa teh hangat yang Mbok berikan tadi ada campuran obat?"

"Obat? Mbok Asih buatnya pakai teh asli kok, Non."

Agar Mbok Asih tidak semakin curiga, akhirnya Maurin menghentikan pertanyaannya dan menganggap saat itu sedang tidak terjadi apa-apa. Tapi Maurin masih sangat penasaran. Tanpa sepengetahuan Mbok Asih, dia mengambil tempat sampah dapur, lalu membongkarnya. Maurin sempat terkejut ketika melihat ada beberapa bungkus obat tidur dengan dosis tinggi. Baunya juga hampir sama seperti saat dia meneguk teh.

"Maurin ... Maurin ..." panggil Tomi dengan suara lantang.

Maurin pun segera ke ruang tamu menemui Tomi yang sudah pulang dari belanjanya. Terlihat semua berkumpul dengan muka cukup serius, pandangan Tomi juga tidak seperti biasanya.

"A-ada apa?" tanya Maurin gugup.

"Sudah bagus diangkat jadi anak orang kaya, masih saja jadi benalu," ucap Alexa sambil mengelilingi tubuh Maurin.

"Mak-maksud kamu apa bilang seperti itu?"

"Ini apa? Aku kira kamu memang gadis yang baik hati. Tapi ternyata aku sudah salah menilai kamu. Kamu nggak ada bedanya dengan gadis di luaran sana, lebih murahan!" dengus Tomi dengan melemparkan beberapa kertas foto ke muka Maurin.

Maurin mengambil semua foto yang terjatuh ke lantai. Dengan sangat terkejutnya, foto tersebut adalah foto dirinya bersama Anton sedang bercumbu tanpa memakai pakaian sehelaipun. Perasaannya hancur berkeping-keping, berkecamuk bak tulang di raga remuk tiada guna.

"Ja-jadi semuanya bukan mimpi." Air matanya mulai berlinang, dan mulai membasahi pipi.

"Ya, iyalah bukan mimpi. Bukan mimpi jadi penggoda anak orang. Dasar nggak tahu malu kamu!" sahut Bu Rani juga mulai sinis.

"Tom, demi Tuhan aku nggak tahu apa yang sudah terjadi. Tiba-tiba kepalaku sakit setelah minum teh buatan Mbok Asih." Maurin memohon sambil memegang tangan Tomi. Namun Tomi malah menepisnya, dan membuang muka.

"Jangan salahkan Mbok Asih! Kamu memang sudah menggodaku sejak awal," sahut Anton tanpa rasa bersalah sama sekali, dan malah memfitnah Maurin.

Tak lama kemudian, Pak Hardi pun datang dengan rasa kekecewaan yang tinggi terhadap Maurin. Maurin langsung berlari menuju Pak Hardi, lalu bersujud di hadapannya.

"Kamu bisa pergi dari rumah ini," perintah Pak Hardi tanpa memandang wajah Maurin.