Riro dan Nalia duduk bersama di depan kolam renang. Tempat ini sangat nyaman untuk mengobrol empat mata. Angin di sini terasa sejuk dan bintang-bintang dapat dilihat dengan jelas karena tidak ada atap yang menghalanginya.
Riro duduk sila, sedangkan Nalia duduk sambil memeluk kedua kakinya.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Nalia.
"Aku ingin kau kembali menjadi penyihir."
Nalia terkejut mendengarnya dan langsung menoleh ke arah Riro. "Apa maksudmu? Bukankah kau sudah tahu aku ini seorang Yinhir? Aku tidak bisa mengendalikan sihirku. Sihirku ... mengancam nyawa banyak orang ...."
Nalia kembali menatap kolam renang. Raut wajahnya kini terlihat sedih. Riro merasa bersalah karena mambahas sesuatu yang membuat Nalia sedih. Tapi dia ingin gadis itu kembali menjadi penyihir dan melupakan masa lalunya.
"Nalia, aku juga sama sepertimu. Aku tidak bisa mengendalikan kekuatanku."
"Benarkah? Bukankah kau menghajar penjahat aneh itu dengan kekuatan Yanghirmu? Kau juga tidak terlihat lepas kendali."
"Benar. Tapi aku bisa mengendalikan diri karena aku hanya memakai setengah dari kekuatan Yanghirku. Itupun ada batas waktunya. Jika lebih dari lima menit, aku bisa hilang kesadaran dan menjadi monster yang selalu haus darah. Aku beruntung karena ayahku mengajari sihir segel. Jadi aku bisa mengunci kekuatanku fisikku yang berbahaya itu."
Selama Riro bercerita, Nalia memperhatikannya dengan baik. Gadis itu tertarik dengan Riro karena lelaki itu ternyata memiliki beberapa kesamaan dengannya. Hal itu membuat Nalia senang karena dia tidak sendirian.
"Dulu, waktu aku masih berusia dua belas tahun, aku diajak ayahku pergi ke London. Di sanalah aku mengamuk untuk yang pertama kalinya. Aku membunuh banyak orang, bahkan melukai ayahku sampai dia nyaris mati. Berkat beberapa penyihir di sana, kekuatanku berhasil disegel. Sejak saat itu aku trauma dan takut dengan diriku sendiri. Aku juga dibenci oleh penduduk London setelah insiden itu."
Riro memunggungi Nalia dan melepas bajunya. Empat lingkaran hitam dengan simbol hitam di dalamnya terlihat di punggung Riro. Gambar-gambar yang terlihat seperti tato itu adalah segel yang dipakai untuk menyegel kekuatan Yanghirnya Riro. Namanya Foura Igniosa.
"Nama segel ini adalah Foura Igniosa. Segel ini digunakan untuk menyegel satu jenis kekuatan. Saat ini segelnya terpasang sepenuhnya, jadi kekuatan fisikku saat ini tidak berbeda dengan manusia pada umumnya."
Riro kembali memakai bajunya.
"Saat aku bertarung untuk melindungimu dan Kak Navia, aku melepas 50% segelnya. Dua simbol di punggungku pun menghilang. Lalu kekuatan fisik Yanghirku kembali setengahnya. Tentu saja yang kulakukan ini sangat berbahaya. Jika lima menit terlewati dan segel ini masih belum terpasang sepenuhnya, maka aku akan hilang kendali."
Nalia kagum terhadap Riro. Meskipun memiliki masa lalu yang kelam dan trauma, namun dia tidak ragu mengambil resiko demi menyelamatkan orang lain.
"Sungguh ... kau orang yang hebat. Tidak sepertiku yang takut menggunakan kekuatan sendiri. Aku hanya bisa menghancurkan, tapi tidak bisa menyelamatkan."
Riro tertawa. "Aku bukan orang yang hebat. Tanpa segel aku sama saja sepertimu. Malah, mungkin aku lebih berbahaya darimu."
"Jangan bicara seperti itu."
Riro memandang wajah Nalia yang terlihat sangat serius. Kemudian dia tertawa dan berkata, "Serius banget. Seumur hidup kau tidak pernah tertawa ya?"
"Tentu saja pernah. Mana ada manusia yang tidak bisa tertawa."
"Aku cuma bercanda. Sesekali kau harus tersenyum dan tertawa Nalia. Meskipun masa lalumu kelam sepertiku, kau berhak bahagia."
'Kau berhak bahagia', kata-kata itu menyentuh hati Nalia. Meskipun itu benar, namun dia tidak bisa melupakan masa lalunya. Sejak peristiwa menakutkan yang dia alami, Nalia jadi sangat pendiam dan jarang mengekspresikan perasaannya sendiri.
Setelah keheningan beberapa saat, Riro bertanya lagi.
"Nalia, apa kau masih mau menjadi penyihir?"
Nalia menggigit bibirnya dan mengepalkan tangannya. Dia ragu menjawab, namun beberapa detik kemudian dia mengangguk.
"Baiklah. Kalau begitu mulai besok ayo kita latih pengendalian sihirmu." Riro tersenyum lebar.
Nalia menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak mau. Aku tidak ingin membahayakan orang lain lagi. Terutama keluargaku dan dirimu."
Riro menepuk pundak Nalia. Dia berusaha meyakinkan gadis itu agar mau melatih pengendalian sihirnya.
"Kau tidak perlu takut. Dengan sihir segelku dan kekuatan Yanghirku, kau pasti bisa melatih pengendalian sihirmu dengan baik." Riro mengepalkan tinju kanannya, wajahnya terlihat sangat percaya diri.
Nalia bingung. Kenapa Riro sangat memaksanya? Bukankah mereka berdua baru bertemu hari ini? Lalu kenapa lelaki ini terlihat sangat peduli padanya?
"Kenapa kau mau membantuku sampai sejauh ini? Apa alasannya? Apa keluargaku yang menyuruhmu?" Nalia mengerutkan dahinya.
Riro melipat kedua lengannya. "Tentu saja tidak! Aku hanya ingin menolongmu. Itu saja. Aku ini lelaki baik hati yang suka menolong siapa saja. Terutama gadis cantik sepertimu!" Riro meninggikan nada suaranya, namun tidak ada perasaan marah dihatinya. Ucapannya justru terdengar seperti candaan.
"Bohong. Mana mungkin kau mau membantu secara sukarela."
"Aku tidak bohong kok. Aku bersedia membantumu sampai kau bisa mengendalikan kekuatanmu. Aku tidak butuh imbalan. Lagipula kita ini miripkan? Aku tahu rasanya takut dengan kekuatan diri sendiri. Karena itulah aku ingin membantumu."
Riro bersikeras. Lelaki itu terlihat mengentengkan latihan pengendalian kekuatan Yinhir. Padahal kekuatan Yinhir sangat berbahaya. Riro bisa saja mati jika tidak berhati-hati. Namun dia terlihat tidak peduli sedikitpun dengan resikonya.
"Jangan bercanda!" Nalia mengeluarkan emosinya. "Aku sudah pernah latihan mengendalikan kekuatanku! Dan hasilnya nol besar! Aku melukai keluargaku beberapa kali, bahkan salah satu dari mereka nyaris mati. Kau sama saja seperti keluargaku! Tidak peduli dengan keselamatan diri sendiri! Kalian tidak perlu membantuku sampai sejauh itu! Aku baik-baik saja menjalani kehidupan sebagai non-penyihir!"
Riro terkejut mendengar ucapan panjang lebar dari Nalia. Tidak disangka-sangka, gadis itu ternyata bisa marah seperti ini.
Setelah beberapa saat, keheningan kembali menimpa mereka berdua. Riro tidak nyaman dengan situasi ini. Dia ingin membantu, tapi tidak menyangka akan membuat Nalia marah.
Nalia memang sensitif jika membahas kekuatan Yinhir yang dimilikinya. Dia tidak ingin menyakiti siapapun lagi.
Riro merasa tidak enak, tapi dia masih belum menyerah membantu Nalia.
"Dulu aku punya teman perempuan di London. Dia adalah Yinhir sepertimu. Jika kau Yinhir api, maka dia Yinhir air."
Nalia memperhatikan dan mendengarkan Riro dengan baik. Dia merasa tertarik dan penasaran dengan Yinhir air itu.
"Namanya Liona. Dia sama sepertimu, enggan melatih pengendalian sihirnya. Setelah mengetahui identitasku sebagai Yanghir, dia jadi sering mengajakku mengobrol. Kami pun menjadi dekat dalam waktu yang singkat."
Riro melanjutkan.
"Kemudian, sebuah insiden besar terjadi. Liona diculik oleh organisasi gelap bernama Red Goat. Penyihir-penyihir dari Red Goat mengincar kekuatan sihir yang dimiliki Liona. Untungnya, para penyihir dari London berhasil melacak kelompok itu dan menyerbu markas cabang mereka. Bentrokan antar dua kubu pun terjadi. Liona melihat orang-orang yang berusaha menyalamatkannya mati satu persatu. Tentu saja Liona tidak bisa berdiam diri. Dengan terpaksa dia menggunakan kekuatan Yinhirnya untuk melindungi mereka semua. Teroris itu mundur dengan luka yang ringan. Ironisnya, Liona hilang kendali dan membunuh satu persatu penyihir dari pihaknya."
Nalia melebarkan matanya. Dia terkejut karena ada insiden seperti itu.
"Tunggu, bagaimana kau bisa tahu semua itu?"
Riro tersenyum tipis. "Aku ada di sana saat insiden itu terjadi."
"K-Kau ... ada di sana?"
"Benar .... Saat itu aku tidak bisa membiarkan Liona mengamuk. Tanpa ragu aku langsung bertarung melawannya. Pada saat itulah aku mengamuk dengan kekuatan Yanghir 100%"
Riro menoleh ke arah Nalia dan melanjutkan ceritanya. "Kau bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya kan?"
Perasaan Nalia semakin tidak enak. Rasa sedih, iba, dan tegang terlihat jelas di wajahnya.
"Benar ... aku membunuh Liona, dengan tanganku sendiri."