🕊Aku harap kamu menerima tamu tak di undang layak bunga, karena aku sudah membukakan pintu keikhlasan ku untuk bersamamu, ingat itu🕊
Nazia dan Leena berpandangan sebentar dengan isyarat sesuatu yang harus di selesaikan sekarang, melihat Allura yang sudah membaik keadannya dengan tarikan napas Nazia berdehem.
"Aura, ada yang ingin Abi dan Umma kasih tau. Bahwa perjodohan ini memang sudah lama kita lakukan saat dulu waktu Umma dan Abi masih SMA namun ternyata perjodohan ini juga berupa wasiat dari Almarhum Mas Er sebelum meninggal."
Er El-khuluq. Putra pertama dari pasangan Nazia dan Leena yang meninggal beberapa tahun yang lalu saat berusia 10 tahun, di akibatkan kecelakaan beruntun meninggal seminggu setelah di rawat di ruangan ICU. Er meninggal di saat usia Allura 2 tahun sekitar 16 tahun yang lalu.
Walaupun usia Allura masih sangat kecil namun memori sang kaka masih tersimpan dan terjahit di dalam memori benaknya bahkan namanya pun masih terukir di dalam hatinya. Mendengar Nazia berkata "Mas Er." Membuat Allura mengingat kembali kilasan sekilas waktu ia kecil dahulu walaupun hanya ada beberapa yang masih di ingat. Mas Er, lirihnya.
"Iya. Dan Aura tau, wasiat itu hukumnya sunah namun jika itu hal yang baik? Maka di lakukan, mungkin sudah qadarullah untuk kamu sayang. Mas Er tidak mungkin menginginkan Abi dan Umma menikahkan kamu dengan nak Saskara tanpa sebab kan? Ya mungkin hanya Mas Er dan Allah yang mengetahuinya."
Allura masih tertunduk mencerna setiap bait barisan kata yang di lontarkan Nazia dan Leena dengan baik dan seksama.
"Umma dan Abi tidak memaksa Aura menerima atau tidak lamaran ini. Namun mungkin, jika Aura menolak bukan hanya Umma dan Abi yang sedih. Tapi Mas Er yang insya allah sedang di surga juga sedih bahwa adiknya tidak menyanggupi permintaan terakhirnya yang belum sempat Mas Er lihat."
'Ya allah benar apa yang barusan di katakan Umma dan Abi. Mas Er? Kenapa Mas menitipkan wasiat seperti itu? Kenapa harus Pak Saska sang dosen otoriter itu. Bismillahirrahmanirrahim Ya Allah, semoga ini qadarullah yang baik, insya Allah.'
Allura berdiri lalu kedua tangan mungilnya mengusap sebelah bahu Nazia dan Leena berbarengan, menatap wajah sang Abi dan Umma yang penuh arti dan kehangatan. Allura tersenyum, "apa Umma dan Abi yakin?" Nazia dan Leena mengangguk dengan binaran mata menyayat iris bola mata coklat terang sang anak yang sempat ragu.
'Bismillahirrahmanirrahim, bantu Aura untuk menerima dengan ikhlas. Ya Allah.'
Allura, Nazia dan Leena berjalan beriringan menuju ruangan kotak dengan banyak menu hidangan yang masih ada di karenakan sempat tertunda karena pertanyaan mengenai "niat baik" Kana.
Aira langsung berlari memeluk Allura yang masih dengan wajah sembabnya sehabis menangis yang mungkin hanya di ketahui sang adik, karena mata sipit gadis itu yang keturunan dari sang Umma berdarah Korea dan Jawa membuat matanya sama saja mau bangun tidur, habis nangis atau tidak tidur sekalipun. Tidak ada yang berubah, itu nilai plus mata sipit bagi hidup Allura. Mungkin hanya kedua orang tua dan sang adik yang mengetahui dan dapat membedakan disaat mata Allura sedang bahagia atau sedih.
"Ka Aura, senyum dong." Allura memeluk sang adik berbarengan dengan Nazia dan Leena duluan menuju tempat duduknya.
Allura melepas pelukan lalu menangkup wajah chubby Aira yang sangat menggemaskan, "duduk yuk sayang, tamunya masa di anggurin?" Aira mengangguk lalu menggamit tangan sang adik.
Mereka duduk di tempat semula di ikuti dengan perasaan was was dan takut dari ketiga orang yang berada di hadapannya yang sedang menunggu jawaban darinya. Allura menatap Aira yang tengah tersenyum memperlihatkan gigi susu nya yang masih putih kepadanya, "ka Aura. Aira mau bisikin kaka." Allura tertawa renyah melihat tingkah lucu dan menggemaskan sang adik yang tanpa sadar sosok laki laki di hadapannya terkesip terhipnotis sebentar dengan tawa manis Allura.
"Mas Saskara akan jadi Mas Aira kan? Kayak almarhum Mas Er?"
Mendengar pertanyaan yang meluncur dari bibir polos sang adik membuat Allura tersenyum sedih. Ia usap pipi chubby Aira, ternyata adiknya sedang rindu sang kaka laki lakinya yang saat Er meninggal pun memang belum ada Aira, dirinya pun baru menginjak 2 tahun.
Aira mengetahui bahwa ia mempunyai sang kaka dari Umma dan Abi karena setiap tahun mengunjungi makam yang biasa kita sebut 'Makam Mas Er' setiap mau ke pemakaman membuat Aira penasaran hingga tak lama saat usianya menginjak 8 tahun Nazia dan Leena baru berani memberitahukan yang sebenarnya.
'Ternyata tidak hanya Umma, Abi, Mas Er, Tante Ceysa dan Om Kana yang menginginkan jawaban insya allah baik dari Aura, tapi Aira juga. Ya Allah, semoga ini memang takdir yang baik dari Allah. Mas Er, bantu Aura.'
Ceysa dan Kana menatap dengan wajah penuh harap menatap wajah tegang Allura yang kedua tangannya sudah di genggam sang Umma di sampingnya dan juga senyum tulus penuh harap dari sang adik, "Bismillahirrahmanirrahim, Aura menerima lamaran ini."
Hembusan napas lega seraya senyuman lebar dengan ucapan 'hamdalah' berbarengan yang terucap dari banyak mulut yang berada di dalam ruangan kotak ini sudah cukup membuat gugup Allura menghilang.
Namun, saat kedua mata terang nya bertemu dengan mata hitam legam yang tidak ingin ia temui saat ini tiba tiba saja membuat dirinya membeku dan sedetik senyuman yang mengembangnya ia gantikan dengan helaan napas pasrah untuk menerima semuanya.
"Akhirnya kita besanan." Pekik Ceysa sangat bahagia kepada Leena.
Nazia menyetujuinya, "untuk pernikahan sudah disiapkan. Allura hanya menyiapkan diri dan jika ingin request soal gaun bisa."
Allura berdehem, "Aura hanya minta satu." Leena menoleh, "apa itu sayang?"
Perempuan itu melirik Saskara dengan wajah sinis tidak sukanya membuat sang empu hanya mengangkat bahunya tak acuh dan tidak perduli sama sekali.
"Pernikahan ini tidak boleh di kasih tau siapapun termasuk sahabat deket dari Aura ataupun Pak Saska. Bagaimana?" Dengan cepat mereka mengangguk membua Allura bernapas lega melihatnya.
"Kebetulan sayang, acaranya di buat secret di daerah batam tempat Omah tinggal. Omah ingin melihat cucunya menikah."
"Yang datang juga hanya teman kolega Om Kana dan Tante Ceysa. Oh iya panggil Ayah dan Bunda aja hihi."
"Teman Umma dan Abi kebayakan di Batam sayang, jadi ya nggak akan ada yang tau jika kamu menikah. Selama bukan di Cimahi."
"Acara hanya tiga hari. Kebetulan dosennya berturut turut Saska kan? Kebetulan banget. Jadi nanti akan Ayah izinin."
"Saska, bicara dong." Saskara tidak perduli sama sekali dan hanya mengedikkan bahu tanda ia tidak mengundan siapapun.
Ceysa tertawa menetralkan, "apalagi Saska, dia jarang bergaul. Sudah pasti tidak ada."
"Ada."
"Siapa?"
"Gama."
"Jadi Dokter Gama sahabat dekat Pak Saska." Allura menyelak disaat Ceysa ingin berkomentar, membuat pasang mata di ruangan ini gemas melihat tingkah laku pasangan yang akan terikat halal beberapa hari lagi.
"Hanya teman."
"Asal Dokter Gama jangan bocor. Awas aja ampe bocor." Saskara hanya mengangguk untuk memberikan jawaban kepada Allura, menurutnya sudah cukup. Sedangkan perempuan itu, sangat kesal.
'Dasar dosen otoriter berhati dingin berwajah datar!'
🕊Maaf typo, selamat membaca, Salam Nay🕊