webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · 现代言情
分數不夠
371 Chs

Pura-pura Pacaran

Warning: Cerita ini murni karangan bebas pengarang. Cerita permodelan hanyalah fiktif belaka.

Savira dalam masalah pada hari itu. Pasalnya perkelahian antara Andreas dan Raga diketahui oleh seseorang yang bekerja di tempat training para model tersebut. Dan staff yang bekerja di sana melaporkannya ke perusahaan di tempat Savira bekerja.

Dan siang itu sebelum makan siang, Savira dipanggil oleh manajernya ke dalam ruangannya untuk membahas perilaku Raga yang masih model baru tapi sudah membuat masalah.

"Tapi, Pak. Yang buat masalah kan Andreas, kenapa nyalahin Raga aja?" Savira tidak terima karena hanya Raga yang dituduh penyebab dari masalah perkelahian tersebut. "Wajah Raga aja sampai babak belur kok."

"Tapi Andreas sekarang masuk rumah sakit Savira?! Tangannya patah mungkin dipatahin sama Raga."

Savira menghela napasnya, kemudian mendelik ke arah manajernya itu. "Bapak ada bukti gak kalau Raga yang bikin dia begitu?"

Manajernya diam.

"Dulu yang nyuruh saya rekrut dia, Bapak lho." Savira masih membela dirinya sendiri dan Raga.

Jika diingat bagaimana raut wajah Raga dan sifatnya ia yakin jika lelaki yang tinggal di rumahnya itu tidak akan membohonginya. Apalagi jika masalahnya sampai seperti ini.

Dan akhirnya sorenya setelah pulang bekerja Savira disuruh oleh manajernya untuk pergi ke rumah sakit guna menemui Andreas dan memastikan kalau semuanya bukan kebohongan yang dibuat oleh Andreas.

Dia juga diminta untuk meminta maaf dengan Raga pada Andreas atas apa yang sudah terjadi.

"Ga, kamu bisa ke rumah sakit gak sekarang?" tanya Savira ketika sambungan teleponnya terhubung dengan Raga.

"Kamu sakit lagi?"

"Bukan aku, tapi orang lain," jawab Savira.

Ia akhirnya masuk duluan ke ruangan Andreas di mana lelaki itu dirawat. Ada beberapa temannya di sana juga berdiri di sekitarnya. Dan ketika melihat Savira masuk mereka minggir untuk memberikan tempat pada Savira.

"Kudengar tangan kamu patah?" tanya Savira dengan nada menyindir.

"Iya, gara-gara model bawaan mbak Savira, jadinya begini." Andreas memperlihatkan tangannya yang sedang diperban, tapi Savira masih yakin kalau Andreas berbohong.

"Tapi wajah Raga juga bonyok tuh," timpal Savira.

Andreas langsung diam, kemudian dia membicarakan masalah lain dengan Savira. Ia ingin kalau Savira tidak melanjutkan memperkerjakan Raga menjadi model majalah tersebut.

"Kenapa? Kamu takut kalah saing apa gimana?" tanya Savira.

Andreas memang sudah tidak muda lagi, umurnya sudah dua puluh enam tahun. Dan masa keemasannya sudah berakhir lama. Dia pun juga tak bisa ikut audisi menjadi aktor karena dia sama sekali tidak bisa berakting.

Dan jika ia nanti kalah dalam vote mingguan bisa dipastikan Andreas akan lengser dan kontrak ke depannya akan tidak diperpanjang oleh perusahaan.

Karena sejak seumuran Raga dia sudah menggantungkan hidupnya menjadi model dan menjual wajah. Sangat tidak mungkin jika dia harus bekerja menggunakan otaknya atau tenaganya karena Andreas adalah tipikal pemalas.

Savira paham ketakutan Andreas saat ini. Namun apa yang dia lakukan pada Raga, tidak bisa ia terima.

Bagaimana bisa dia melakukan hal licik itu demi mendapatkan posisi dan kontrak dari perusahaan? Sudah beberapa model baru yang ditendang karena ulah Andreas.

Savira dulu diam, karena itu bukan urusannya. Namun saat ini yang disenggol Andreas adalah Raga. Lelaki yang ia bawa, dan memutuskan untuk cuti kuliah hanya demi menjadi model tersebut.

Apalagi Raga juga mengatakan kalau dia ingin mencari uang untuknya sendiri. Jadi—saat ini Savira akan berusaha untuk mempertahankan Raga bagaimanapun caranya.

"Kamu mending jangan nyenggol Raga, atau aku yang akan maju. Kamu tau kan apa maksudku?" tanya Savira dengan nada sedikit mengancam.

"Memangnya mbak mau ngapain?"

Savira tersenyum sinis.

"Menghancurkanmu dengan sekali ketik," jawabnya. "Jadi—mari bekerja dengan benar dan jangan membuat masalah lagi."

Wajah Andreas menegang, entah mengapa tatapan Savira saat ini membuatnya takut. Ini seperti sebuah ancaman yang dapat mengubah hidupnya bahkan lebih buruk daripada diputus kontrak oleh perusahaan yang menaunginya.

"Aku pergi, dan oh ya. Tangan kamu kayaknya gak apa-apa tuh," ledek Savira. Ia kemudian pergi dari hadapan Andreas dan teman-temannya.

Kalimat umpatan terdengar di telinga Savira tapi dia tak memedulikannya. Lagipula yang paling penting dia tahu kalau Andreas benar-benar berbohong mengenai tangannya yang patah.

Savira melihat sebuah pesan dari Raga, ia sudah sampai di rumah sakit rupanya.

Wanita itu merasa tak enak pada Raga karena sudah menyuruhnya untuk datang ke rumah sakit, guna meminta maaf pada Andreas agar dia tidak ditendang dari perusahaan.

"Udah? Terus cuma nyuruh aku buat jemput doang?" tanya Raga yang berdiri di lobi rumah sakit dengan bingung.

"Iya dong, kamu kan masih jadi babuku kalau belum sanggup bayar uang kamar," sahut Savira.

"Bilang dong, kirain ada apa-apa."

"Ada apa emangnya?" Savira pura-pura bodoh.

"Ah enggak, mau makan di luar gak?" tanya Raga pelan, yang sebenarnya dia ragu mengajak Savira.

"Emangnya udah punya duit?" Savira melirik Raga sambil mencibir.

"Ada kalau buat beliin batagor sama cilok, sih."

**

Dina menggigit bibir bawahnya karena kesal. Padahal tadi adalah waktu yang tepat untuknya bersama dengan Raga berdua saja.

Namun karena mendadak mendapatkan telepon dari Savira. Dia langsung ditinggalkan begitu saja.

Dina mulai berpikir, apakah mungkin Raga menyukai Savira?

"Gak mungkin, masa' Raga suka sama mbak Vira." Dina menggelengkan kepalanya.

"Tapi—kenapa tadi kayak panik begitu sih pas mbak Savira bilang kalau dia lagi ada di rumah sakit?"

Dina tidak mau berpikir aneh-aneh lagi, hingga akhirnya dia memutuskan untuk memasak untuk makan malam. Namun ia mengurungkan niatnya ketika melihat pesan dari Savira kalau dia saat ini sedang makan malam dengan Raga.

Dina kesal, kenapa Raga menjadi sangat lengket pada Savira alih-alih dengannya. Padahal usia mereka seumuran dan lebih cocok satu sama lain.

Namun kekesalan Dina tak berlangsung lama. Karena setelah itu dia mendapatkan pesan dari Desy, sepupunya. Kalau mantan kekasihnya saat ini sedang mencarinya.

Dina tidak percaya dengan apa yang ia baca saat ini. Bagaimana bisa mantannya itu dapat menemukan tempat tinggal Desy? Atau jangan-jangan, dia menghubungi semua orang yang ada di kontak ponsel lama Dina dan menanyakan keberadaan Dina?

Dina tak bisa berpikir jernih saat ini. Dia sungguh tak ingin bertemu dengan mantan kekasihnya bagaimanapun juga caranya, meskipun ia ada niatan untuk menikahinya.

Dia sudah nyaman tinggal di rumah Savira dan dengan Raga saat ini. Jadi mana mungkin dia akan pergi dari rumah tersebut demi pergi bersama dengan mantan kekasihnya itu?

Suara pintu terdengar dibuka, membuat Dina terkejut. Rupanya mereka adalah Raga dan Savira yang tengah tertawa, entah menertawakan apa.

Dina langsung menghambur ke arah Raga dan mengatakan apa yang pernah ia katakan sebelumnya.

"Ga, bantuan kamu masih berlaku kan?" tanya Dina.

Raga menaikkan kedua alisnya, sedangkan Savira menatap Raga dan Dina tak mengerti.

"Mantanku di rumah Desy, dan aku gak mau kalau dia jemput aku. Jadi—bisa kan kamu pura-pura jadi pacarku?"

Raga menoleh ke arah Savira. Sementara Savira menatap bingung pada Raga. Sepertinya hanya dia sendiri yang tidak tahu.