Lama sekali Kaniraras memandang matahari pagi ini. Hari ini mendung, ia bisa melihat langit menggelap dipenuhi gumpalan kapas awan yang siap mencurahi tanah. Hidup di tanah Blambangan tak pernah mudah. Setiap hari, Raras harus terbiasa oleh rasa was-was dari rebutan banyak pihak. Sebagai kerajaan dengan jejak hindu terakhir di tanah Jawa, jelas banyak lawan yang menginginkan Blambangan. Belum lagi, tanah tempat Raras lahir seolah merangkak menjadi tanah sengketa sejak jaman leluhurnya. Hari ini perempuan berkulit cokelat itu tidak berniat untuk meratapi nasibnya sebagai seorang putri kerajaan. Entah pantas atau tidak, Raras berniat untuk 'pamit'. Ia hendak bertemu sang raja, ayahnya. Karena, pagi ini saat ia membuka mata Raras tahu yang ia inginkan adalah pergi dari istana. Ia sudah lelah.
Sepanjang hidupnya ia dipenuhi oleh tuntutan dan kompetisi. Kalau saja tubuh dan pikirannya tidak bersatu, mungkin pikiran Raras telah kabur entah kemana. Ibu yang selama ini ia dambakan, tak pernah benar ada. Ia bisa melihat dan menyentuh Jana tapi tidak dengan kehadirannya. Perempuan itu sangat keras, melarang Jana untuk menjadi perempuan yang lemah dan mudah tergoyah oleh lelaki dan rayuan. Katanya, tidak ada satupun di dunia yang lebih berharga dari diri Raras sendiri. Jangan percayakan siapapun, terlebih hidup mu di istana. Raras harus menahan diri untuk menggantungkan harapannya kepada sang rama. Ayahnya yang juga raja di kerajaan, waktu pria itu telah habis terlahap politik yang menjenuhkan. Berharap ia akan akur dengan para saudaranya? Tidak mungkin. Tinggalah Raras seorang diri, menjadi patuh tak terelakan. Satu-satunya yang menemani Raras selama hidupnya adalah peraturan.
Sibuk dengan pikirannya, Raras tersadar kini ia sudah berada di depan pintu singgasana sang raja. Dengan perlahan ia mulai masuk, setelah salah satu dayang membukakan pintu untuknya. Ia masuk, memberi salam hormat. Disana, di atas tempat duduk yang megah ia dapat melihat ayahnya. Raja dari kerajaan ini, pria yang 6 bulan terakhir tak pernah dilihatnya karena sibuk dengan kudeta berbagai macam pihak.
"Raras?", suaranya parau, setenga sadar "Putri Jana, kamu cantik seperti ibu mu".
Apakah pantas rasanya untuk pamit dan bilang bahwa hari ini ia berniat kabur dengan ibu? Raras tahu bahwa ibunya mungkin bukanlah selir paling brilian tapi ia dapat merasakan bahwa hubungan Sang Raja dan Jana tidaklah berlandaskan teman tidur. Sebagai anak perempuan, sungguh sangat langka untuk bertemu dengan sang ayah jika tidak di acara resmi. Sekalipun ia tidak sengaja bertemu Ayah selalu bertanya keadaan Jana. Apakah ia sehat? Apakah ia baik baik saja?
Raras menatap pria paruh baya itu mencoba bangun dari tidurnya kepayahan. Jika dipikir apa yang menahan dia untuk pergi? Raras benar-benar kesepian, pria gemuk itu terasa asing baginya. Bahkan, sosok raja yang menguasai negeri ini terlihat tak dapat memberikan jaminan apapun untuk Raras dan Jana. Ia hanya seorang putri dari seorang selir. Rama menatap Raras kebingungan menunggu jawaban dari putrinya yang manis. Walaupun benar ia anak Jana kulitnya Raras tidak seputih itu. Ketimbang cantik Raras malah lebih terlihat manis dengan kulit gelap dan rambut panjang hitamnya yang tergerai.
"Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?", pria itu bertanya lagi lembut
"Tidak ada, Rama. Maafkan kecerobohan saya yang telah mengganggu tidur Rama", Raras mulai tergagap "Saya mohon pamit"
*
Lari dari Istana pada saat politik tengah kacau ternyata bukan perkara yang mudah. Niat Jana yang akan pergi hanya dengan putrinya tidak berjalan dengan mulus. Beberapa pelayan yang telah lama mengabdi kepadanya memilih untuk pergi bersamanya. Kalau dipikir tak ada gunanya juga tetap di istana setidaknya mereka masih memiliki kesempatan hidup lebih banyak ketimbang menunggu penuh cemas berharap musuh tak bisa menghalau benteng.
Berhasil keluar dari dalam Istana juga bukan perkara yang mudah. Bagaimana jika mereka bertemu dengan para prajurit? Menjadi tawanan dan budak nafsu para pasukan kelaparan itu? Di antara malam kulit Jana jauh lebih bersinar dibanding bulan yang menemani. Ia sibuk merapatkan selimut untuk Raras yang terlihat putus asa. Gadis itu kedinginan dan putus asa barangkali menyesali keputusan sang ibu. Dua hari sebelum kepergian mereka Jana telah meminta bantuan dari jagoan desa terdeka untuk memberikan mereka tumpangan untuk keluar kabur dari istana. Setelah malam mulai merayap, ia dan Raras masuk ke dalam kereta sayur dan pergi mengendap di hutan. Tak banyak yang mereka bisa lihat diredupnya malam dan lebatnya dedaunan.
"Lalu apa yang kita lakukan selanjutnya?", suara Raras terdengar lemas
"Kita menunggu", "Apa?"
"Menunggu Raras! Tenanglah aku telah meminta bantuan untuk pergi dari tempat ini. Kita akan baik-baik saja".
Jana tak pernah terlihat seyakin ini, di mata Raras bahkan Jana terlihat lebih...bersemangat? Untuk pertama kalinya Raras dapat melihat Jana dengan wajah yang mendongak. Perempuan itu tidak tertawa atau tersenyum hanya saja dirinya tidak mengeluh. Malam ini hujan turun sangat lebat, Raras tidak melihat Jana kedinginan sedikitpun. Pakaian Jana tidak lebih hangat dari Raras kenakan tapi perempuan itu tidak kedingingan. Apakah ini yang selama ini perempuan itu idamkan?
Tak banyak cerita yang Raras dengarkan tentang ibunya. Perempuan itu seperti karya seni yang mudah rapuh. Seperti yang telah dijelaskan bahwa Jana tak pernah benar-benar ada, Raras selalu diperingatkan untuk menjauh dari ibunya. Sedari dulu ia telah tumbuh di dalam lingkup Istana, tertata dan tertutup. Setelah sekian lama hidupnya terasing dari perempuan yang melahirkannya malam ini untuk pertama kalinya Raras dapat merasakan kehadiran Jana. perempuan itu mencoba untuk meyakinkannya sembari terus memastikan bahwa tidak kedinginan. Raut dingin Jana seolah punah terbawa gelapnya malam. Apakah mungkin bagi Raras untuk menyesali keputusannya untuk pergi dari Istana? Rasanya memang ini jalan yang lebih baik.
Bebas dan dicintai. Tidak terpisahkan oleh Jana.
Krek…
Suara ranting yang terinjak menjadi suara terbesar yang mereka sejak dua jam yang lalu. Semua orang mundur serentak, takut suara itu berasal dari hewan buas. Selang beberapa menit mereka juga tidak melihat hewan manapun datang.
"LONDO!!", suara para pelayan mulai panik.
Tubuh Jana dan Raras kaku seketika. Mereka saling pandang tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Tiga sampai dengan lima orang prajurit tengah berdiri di hadapan mereka. Raras tidak dapat melihat penuh wajah mereka karena tertutup kain. Tubuh menjulang dan kulit putih mereka mendominasi sekeliling. Tiga langkah di belakang mereka muncul seorang pribumi, dengan pakaian hitam-hitam nya dan golok di sabuk kirinya. Tubuhnya kecil tapi kekar, wajahnya garang dihiasi kummis tebal.
"Kamu mengkhianatiku?!", suara Jana setengah menjerit.
Raras tersentak dengan suara itu, mata Jana terbelalak besar dan menggenang air mata. Dengan terburu-buru pria itu berlari kecil melewati para prajurit yang masih diam memandang mereka tak berdaya. Pria itu berlurut dan mengatupkan tangan seraya memohon ampun,
"Ampun ndoro", suara pria itu jauh lebih dalam dari yang Raras pikir "Bukan maksud hamba mengkhianati ndoro. Tetapi mereka lah bantuan yang hamba janjikan hanya mereka yang bisa membantu kita untuk keluar dari hutan ini dengan selamat".
Prajurit yang dimaksud adalah prajurit Belanda. Sejak Juni 1766 atas perintah Hoge Regering banyak prajurit Belanda yang datang menghampiri Blambangan. Sejak inggris mendirikan kantor di tanah ini, Belanda yakin bahwa mereka akan terancam. Untuk mencegah kerugian di depan maka Belanda berpikir untuk merebut wilayah ini kembali. Tanah yang dulu terlupakan dan ditinggalkan. Sejak saat itu tingkat ketegangan di tanah Blambangan menjadi jauh lebih intens dari sebelumnya. Wajar jika para pelayan, Jana serta Raras takut setengah mati. Lima pria yang ada dihadapan mereka adalah pria terlatih yang siap mati dan pandai membunuh. Bukan perkara yang sulit untuk melenyapkan mereka dan menjadikan mereka tawanan.
"Dia benar Nyai, percayalah pada kami", salah satu dari prajurit itu bersuara dengan bahasa bumi. Suaranya terdengar berat dan lucu, terdengar terbata-bata.
Jana tidak menjawab, tangannya terkepal. Ia terlihat kesal sekali
"Kamu tidak punya alasan untuk tidak percaya dengan kami. Sekalipun kami berniat buruk maka sejak tadi satu persatu dari kepala kalian sudah pecah karena peluru kami".
"Berjanjilah padaku", Jana menatap mereka ragu
"Apapun yang Nyai inginkan", prajurit tadi menjawabnya setengah mengejek.
Raras tidak menduga bahwa Jana meminta prajurit mengikutinya, pergi berpencar sedikit lebih jauh dari rombongan mereka. Tanpa sadar mata Raras saling bertatapan dengan prajurit yang berada paling ujung. Jarang sekali Raras melihat seorang dengan mata berwarna biru seolah langit jatuh meneteskan warnanya kepada pria itu. Pria bermata itu menyambut baik tatapan Raras dan membalasnya dengan senyuman tipis. Seketika Raras memalingkan wajahnya dan mencoba untuk fokus sembari menunggu Jana kembali.
Tak lama setelah itu Jana kembali bersama pria pendek dan salah satu prajurit itu. Dengan yakin memberikan tanda bahwa seharusnya semua baik-baik saja.
Halo semuanya! terima kasih masih tetep baca ya, feel free to enjoy, ya! aku juga masih terima saran kok, see ya in the next part