Devan menatap wanita tersebut cukup lama. Hingga bagian bawahnya terasa semakin sempit.
Namun sebelum semuanya makin terasa gila. Ia pun mencoba menetralkan suaranya. Dan segera bangkit dari atas tubuh wanita tersebut.
"Ma-maaf, saya tidak sengaja," ucap Devan, gugup.
Wanita itu hanya menanggapi Devan dengan anggukan dan senyuman. Senyuman yang menunjukkan ketertarikannya pada pria itu.
Setelah Devan bangkit, ia pun membantu wanita itu agar bangkit.
"Terima kasih," ujar wanita itu, seraya tersenyum manis.
"Sama-sama. Kalau gitu saya permisi dulu," ucap Devan, buru-buru. Tanpa memiliki niat sedikitpun untuk berkenalan dengan wanita cantik dan seksi di hadapannya itu.
Wanita itu mengangguk seraya menatapi kepergian Devan.
'Sepertinya aku pernah melihat lelaki tampan itu? Tapi dimana?' batin wanita itu yang ternyata adalah Jeana.
Jeana kagum melihat pria seperti Devan. Biasanya, akan banyak pria yang mengajak dirinya berkenalan atau bahkan mungkin langsung mengajaknya cek-in hotel. Namun tadi, Devan bahkan tidak menanyakan namanya. Padahal Jeana tahu jika tubuh bagian bawah pria itu sudah sesak meminta untuk di tuntaskan.
"Hufff ... Aku harus mendapatkan pria itu," tekad Jeana dalam hati.
Sementara di sisi lain, Devan menyetir mobilnya dengan kecepatan penuh membelah kota New York. Ia ingin segera menuntaskan hasratnya dengan mendatangi istrinya. Tubuh bagian bawahnya benar-benar sudah menegak.
Beberapa waktu kemudian, Devan sampai di rumah mereka. Dengan langkah cepat, Devan memasuki rumah tersebut.
Tempat pertama yang ia datangi tentu saja adalah ranjangnya dengan Ammara.
Ia yakin, jika istrinya itu sedang menunggunya disana.
"Sayang, kamu dimana?" teriak Devan memanggil Ammara ketika ia tidak melihat istrinya berada di ranjang.
"Aku di kamar mandi," sahut Ammara yang rupanya sedang merendam tubuhnya dalam bathup.
Tanpa pikir panjang lagi. Devan segera meletakkan tas kantornya dan juga membuka jas serta seluruh pakaiannya. Kemudian masuk dengan bertelanjang bulat ke dalam kamar mandi.
"Sayang ... Aku masuk ya," ucap Devan, seakan meminta izin pada istrinya.
"Masuk saj~"
Cklek~
Ammara membulatkan matanya tatkala melihat tubuh suaminya tanpa busana sedikitpun. Namun senyuman dari bibirnya, tidak luntur sedikitpun. Ia seakan merasakan kembali ke masa pengantin baru bersama suaminya.
Devan tersenyum seraya mendekat pada Ammara. Tubuh telanjang istrinya saat mandi begitu menggugah dirinya.
Baik Ammara maupun Devan, keduanya berharap jika malam ini akan menjadi malam yang menggairahkan bagi keduanya.
Namun sayang seribu sayang. Ammara harus menelan pahitnya pil kekecewaan tatkala ia sama sekali tidak mendapatkan pelepasan.
Setelah bercinta di dalam toilet. Keduanya melanjutkannya ke atas ranjang mereka. Meski sudah seperti itu, tapi tetap saja Ammara dan Devan tidak bisa melakukan pelepasan.
Kecewa, marah, sedih, semua perasaan itu menguar dengan sendirinya. Namun sekali lagi, semua rasa itu dapat mereka samarkan melalui alasan kelelahan dan tidur secepatnya.
Malam yang menyedihkan itu terjadi lagi. Impian Devan untuk mendapatkan kenikmatan setelah pulang dari kantor seakan menampar dirinya.
Di tengah gemuruh dan berkecamuknya perasaan tersebut, ucapan Arnold seakan menari-nari di dalam pikirannya.
Satu wanita tidak akan cukup bagi pria bebas sepertinya. Dan kini Devan mengakui, bahwa hal itu memang nyata adanya.
Sama halnya dengan pemikiran Devan. Ammara pun berpikiran sama. Ia menyelimuti tubuhnya dengan selimut, sementara tangannya bermain di bagian bawah tubuhnya. Mencari kenikmatan. Berharap, kenikmatan itu mengurai kekecewaannya karena tidak bisa menikmati hubungannya dengan sang suami.
Ammara menangis dalam diam. Dengan tangan yang terus bergerak di bagian bawah. Hatinya benar-benar merasa sakit. Ingin sekali, ia mengatakan semua hal ini pada Devan. Tapi sungguh, ia tidak sanggup.
Ammara khawatir jika ia hanya akan membuat Devan kecewa karena menganggap bahwa Devan tidak cukup jantan untuk memuaskan dirinya.
***
"Sayang, sore ini kita jadi hadir di acara yang di adakan di rumah Mama sama Papa aku, kan?" tanya Devan, sembari berjalan turun dari tangga dan mendekati istrinya.
Ammara mengangguk seraya tersenyum pada Devan. Sebenarnya hari ini ia sangat malas kemana-mana. Tapi ia tidak bisa menolak keinginan keluarga suaminya agar ia datang bersama Devan dalam acara yang di adakan oleh keluarga suaminya itu.
"Kamu enggak ke kantor dulu?" tanya Ammara, seraya menyodorkan sarapan roti bakar selai stroberry pada suaminya.
Devan belum menjawab, ia meraih roti bakar buatan istrinya dan memakanya dengan lahap. Membuat Ammara tersenyum dan mengagumi tingkah suaminya itu.
"Pergi, Sayang," jawab Devan, seraya tersenyum.
Ammara mengangguk. Melanjutkan makannya dan sesekali melirik ke arah Devan.
"Yah, tidak mengapa jika aku tidak bisa mendapatkan kepuasan itu. Yang penting, aku bisa melihat dia terus bersikap baik padaku setiap waktu. Demi cinta kita, aku tidak akan pernah menyerah, Devan! Meski aku harus menepis rasaku yang menginginkan lebih dari sekedar cinta," batin Ammara, lirih.
Devan membalas senyuman manis istrinya. Baginya, senyuman Ammara bagai obat yang bisa menyembuhkan dirinya dari rasa kecewa karena hasrat yang tidak tersalurkan dengan baik.
"Mungkin aku memang pria yang munafik. Tapi aku tidak bisa mengabaikan cinta itu hanya karena napsu sesaat." Devan ikut membatin.
Keduanya kemudian menyelesaikan sarapan paginya dengan keheningan. Lalu seperti biasa, Devan akan berangkat ke kantor. Sementara Ammara tinggal di rumah. Mencoba menyelesaikan naskah tulisan yang tertunda tadi malam karena harus bercinta dengan Devan.
Hufffff!!!!
Ammara membuang napasnya kasar. Pikirannya untuk menulis saat ini benar-benar buntu. Jiwanya meronta-ronta dan kepalanya sangat pening.
Pikiran Ammara terus saja tertuju pada ingatannya tentang Devan. Ia ingin memuaskan hasratnya, tapi ia juga tidak bisa menyerah dengan cintanya.
"Akkkhhh!! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!!!" erang Ammara frustasi.
Sementara di kantor. Devan masuk ke dalam toilet ruanganya dan menuntaskan hasratnya.
Devan tidak berani melakukan hal tersebut di dalam rumahnya. Khawatir jika Ammara akan tahu bahwa ia tidak terpuaskan selama satu tahun terakhir ini.
Kamar mandi itu di penuhi dengan desahan dan erangan Devan. Tanpa pria itu sadari, jika di luar pintu telah ada Arnold yang mendengar semua erangan frustasi dari Devan.
Arnold menyeringai puas. Ia yakin, jika sebentar lagi, Devan akan mengambil tawaran darinya. Itu artinya, ia bisa memiliki kesempatan untuk memiliki Ammara--cinta pertama dan terakhirnya.
Ammara berjalan mondar-mandir dalam ruang kerjanya. Ia berpikir keras untuk melakukan sesuatu yang bisa mengembalikan gairahnya saat bercinta dengan suaminya. Ia tidak bisa seperti ini terus. Ia harus menyelesaikan segalanya, sebelum ia terlambat.
"Apa aku hubungi Jeana saja, ya? Mungkin dia memiliki solusi untuk menyelesaikan masalahku ini," gumam Ammara, kemudian kembali duduk di meja kerjanya.
"Tapi jika aku menghubungi dia untuk konsultasi. Maka pasti dia akan tahu tentang ini. Dan aku tidak ingin siapapun tentang masalahku," ujar Ammara, kembali berlogika.
"Ah! Sudahlah. Aku hubungi saja. Daripada aku mati karena stress," putus Ammara kemudian.
Ia pun meraih ponselnya dan mendial nomor Jeana--sang editor.
"Halo ... Tolong katakan padaku. Apa yang harus aku lakukan agar bisa merasakan pelepasan lagi," tanya Ammara, saat sambungan telpon itu terhubung.