Seorang wanita dengan gamis azka maxy berwarna mocca berpadu khimar senada, make-up tipis membuat dirinya lebih segar.
Netra coklat muda dengan tatapan teduh menyusuri setiap lorong perusahaan. Tangannya membawa rantang yang berisikan bekal untuk sang suami. Senyuman melekat di bibir tipisnya tertutup cadar membalas sapaan para karyawan yang lalu-lalang. Berhenti di depan pintu coklat muda dengan ukiran yang unik, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu. Sebuah suara bariton mempersilahkan masuk, ia memegang knop pintu dan membuka pintu perlahan, masuk dan segera menutupnya lagi.
"Assalamu'alaikum, Mas." Suara indah nan merdu masuk ke gendang telinga pria yang sedang berkutik dengan laptop.
Lelaki itu berdiri lalu menoleh ke asal suara, netranya beradu dengan sang jelita. Senyuman terpatri di bibir tebal nan mengoda itu. Melangkah mendekat tangannya terulur memeluk pinggang ramping tak lupa mengecup setiap area wajah istrinya.
"Aku rindu ...," bisiknya sembari mengigit cuping telinga istrinya.
Mengeliat geli lalu memutar tubuhnya menghadap Arga suaminya, "jawab salamku, dulu Mas" meraih tangan pria itu lalu mengecupnya.
Arga menepuk jidat lalu terkekeh. "walaikumsalam ... maaf, Mas lupa kesenengan gara-gara kamu datang," Tuturnya sembari menuntun Afnan duduk di sofa.
Afnan mengangguk tanda mengerti, dengan cekatan ia menaruh rantang di meja lalu menyiapkannya.
"Makanlah, pasti kamu lapar," memberikan sendok tetapi malah disugukan gelengan kepala.
"Tidak! aku mau kamu suapi, pasti akan lebih enak dari tanganmu," perkataan Arga membuat rona merah menjalar di kedua belah pipi Afnan.
Arga berjalan meraih berkas di meja kerja dan melangkah ketempat semula mendaratkan pantatnya lalu bertopang kaki fokus membaca berkas sesekali menoleh menerima suapan Afnan. Bekal bawaan Afnan habis tak tersisa, Afnan melirik jam tangannya yang menunjuk pukul dua belas siang waktunya salat dzuhur tiba. Segera membereskan rantang dan mengajak suaminya dan karyawan untuk salat berjama'ah di kantornya yang sudah tersedia tempat untuk beribadah.
.
.
.
Di lain tempat terlihat seorang wanita tengah terisak sambil merapikan pakaiannya, banyak memar ditubuhnya.
Ia beringsut turun dari kasur dan bergegas keluar kamar, dengan penampilan sedikit berantakan dan bau pencintaan masih melekat badannya. Melangkah dengan cepat menuruni tangga dan keluar rumah megah milik kekasihnya. Segera memberhentikan taksi dan masuk.
"Mau kemana Mbak,"
"Kontrakan xxx," sahut wanita itu menyenderkan badannya yang letih.
Setelah sampai ia masuk melakukan ritual mandinya lalu tidur, menangis meratapi nasibnya yang menyedihkan. Lelah menangis ia akhirnya terlelap, masuk ke alam mimpi.
.
.
.
Afnan ia sedang mengambilkan baju tidur untuk dipakai suaminya, terdengar suara pintu berdecit menandakan sang suami sudah selesai mandi ia berbalik lalu segera menuntup matanya.
"Mas, handuknya melorot," pekiknya, Arga terkekeh segera memakai handuknya lagi dan berjalan meraih baju dan celananya lalu memakainya. Setelah selesai menaruh handuk di tempatnya dan melangkah mendekati Afnan yang masih menutup netranya.
"Buka matamu, aku sudah pakai baju," bisik Arga di telinga Afnan.
Afnan tetap menggeleng enggan membuka telapak tangannya yang menutupi kedua kelopak mata. "Gak mau, kan cuma pakai baju berarti celananya belum," gerutunya, Arga terkekeh mendengar istrinya yang bertingkah seperti itu.
"Memangnya kenapa kalau aku gak pakai celana?" bertanya demikian lalu duduk diranjang menarik Afnan yang kukuh menutup matanya untuk duduk di sisinya.
"A-aku malu ...," ucap Afnan terbata-bata.
"Kau menggemaskan." Arga memeluk Afnan dengan erat sesekali mengecup tangannya yang masih menutup mata.
"Jangan ditutupi gitu, aku mau cium pipi kamu sayang," rengek Arga menyingkirkan tangan Afnan, tetapi mata itu masih tertutup rapat.
Arga menyeringai jail ia melompat naik ke atas kasur lalu berteriak, "ular ...." Afnan terkejut lalu membuka matanya dan ikut naik.
"Mana, ularnya mana ...," pekik Afnan membuat Arga tertawa terbahak-bahak.
Afnan mengeryitkan alisnya lalu menatap tajam sang suami. "kamu bohong, Mas," tuduh Afnan.
"He! suruh siapa percaya. Mana ada ular disini," ucap Arga santai tak merasa bersalah sedikitpun.
"Wah kamu rese ya, mas," geram Afnan lalu menyerang Arga dengan mengelitiki pinggangnya, mereka tertawa bahagia setelah kelelahan terduduk menyender dikepala ranjang.
"Mas sayang kamu," ucap Arga tulus lalu memeluk Afnan sesekali mencium pucuk kepala.
"Afnan juga sayang, Mas," sahut Afnan medenggelamkan wajahnya ke dada bidang sang suami.
"Afnan boleh minta sesuatu gak," ucap Afnan ragu-ragu sambil mendongak menatap wajah Arga.
"Boleh."
"M-mas, aku carikan madu untukmu ya." Perkataan Afnan membuat wajah Arga kembali datar, ia menatap sang istri dengan tatapan sulit diartikan.
"Tidak, mas bilang tidak ya tidak!" ucap Arga tegas, tetapi tidak membuatnya melepaskan pelukan hangat itu.
"Mas, Afnan ingin bayi," pinta Afnan kukuh.
"Kamu bisa adopsi dipanti asuhan." Membuka kerudung Afnan dan mengelus surai yang panjangnya sampai ke pinggang.
"Aku ingin dari benihmu mas," tutur Afnan membuat simbol lingkaran di dada Arga dengan jarinya.
"Terserah kamulah, capek mas! setiap malam kamu selalu membahas soal poligami. " ucap Arga melepaskan pelukannya, "mas hanya takut tak bisa adil." Menatap Afnan sendu, Afnan langsung memeluk sang suami.
"Maafkan Afnan mas, Afnan hanya ingin mempunyai anak dari benih mas, tak apa aku memiliki madu," lirihnya menumpahkan keinginan dan tangisan.
"Ya sudah, jangan bahas ini lagi. Terserah kamu yang atur semuanya termasuk memilih madumu dan pernikahannya." Perintah dengan nada tegas tak menerima penolakan.
Afnan mengangguk senang lalu mencium wajah Arga bertubi-tubi, membuat Arga tersenyum mengoda. "Wah sudah berani sekarang ya," ucapnya mengurung Afnan dipelukan lalu membawa ke ranjang.
Bibir mereka beradu, mencecap dengan lembut tetapi kegiatan itu terhenti saat suara perut Afnan menganggu aktifitas mereka membuat Arga tertawa saat Afnan menunduk malu.