Wardana's Corp
Sender: Satya
Already in parking area.
Anika mengembuskan napas berat. Dia menutup tumpukan laporan
perusahaan beberapa tahun yang tadi diberikan Om Sultan. Anika
ke kantor Om Sultan secara rutin, memelajari banyak hal.
"Sudah dijemput?" tanya Om Sultan dari meja kerja.
Anika mengangguk datar. Om Sultan sudah tahu hubungannya
dengan Satya.
"Aku pulang dulu ya, Om," pamit Anika, beranjak mengambil
tas yang tergeletak sembarangan di meja.
Om Sultan dengan cepat menghampiri Anika. Di tangannya ada
berkas kuning. "Ini kamu pelajari. Om dapat dari website kantor."
Anika mengangguk, kemudian berjalan menuju pintu. Ia melangkah menuju lift dengan cepat, tak mau membuat Satya menunggu terlalu lama.
Satya berdiri tak jauh dari mobil. Sedang menimbang-nimbang
untuk menghampiri ruangan Om Sultan untuk menjemput Anika
yang tak kunjung datang dan tak membalas pesan singkatnya.
Namun saat melihat Anika tak jauh di depannya, ia menghela
napas lega.
Satya melihat di tangan Anika ada berkas-berkas perusahaan.
Meskipun tidak tahu tujuan Anika yang seperti terburu-buru masuk
ke dunia bisnis, dia tak pernah bertanya, memilih mengikuti saja
alurnya bersama gadis itu. Satya tahu Anika tak suka dipaksa.
"Ternyata bukan cuma kampus yang punya PR," ucap Satya sambil melirik
ke berkas yang dibawa Anika.
Anika segera menjejalkan berkas tersebut ke tas. "Aku kan
bilang, nggak usah jemput" ucap Anika.
Satya mengangguk-angguk, tahu Anika tak ingin dia menjemputnya
dengan alasan tak ingin merepotkan. Namun melihat kondisi Anika
yang selalu pulang larut, bahkan hingga jam sepuluh malam seperti
saat itu, membuat Satya berpikir dua kali.
Satya tersenyum. "Aku sukarela, Anika. Catat ya, suka dan rela,"
ucapnya yang membuat Anika memutar bola mata.
Satya membukakan pintu bagi Anika, menimbulkan getaran halus
dalam hati Anika. Sesaat kemudian Satya berada di depan kemudi
dan mereka mulai membelah jalanan Jakarta.
Anika menelan ludah, mengamati lampu jalanan yang menerangi
langit. Dia sudah maju sejauh itu, dan tak mungkin mundur. Ia
menghela napas. Kesedihan kembali datang dan menghantui. Dia
kesepian, merindukan kehangatan keluarga. Keluarga Wardana ini memang tak bisa diampuni.
Anika mengatupkan bibir. Pernyataan bahwa Satya menyayanginya
mengganggu pikirannya. Lelaki itu... ah!
"Kenapa lihat aku segitunya?"
Anika tertegun, lalu tersenyum. "Kukira kamu marah."
"Marah?"
Anika mengangguk, memang menyangka Satya marah karena tak
membalas pesan singkatnya.
"Sudah makan?" Satya mengalihkan topik.
Anika menggeleng, baru sadar belum mengisi perut.
"Selalu seperti itu. Kalau telat makan, siapa yang sakit? Siapa
yang repot?"
"Kenapa jadi marah-marah?" balas Anika ketus, pandangannya
dialihkan ke jalanan.
Satya menatap Anika. "Aku marah buat siapa?" ucapnya, nadanya diperhalus agar ketegangan di antara mereka mereda.
"Nanti aku makan," balas Anika, terdengar tak suka.
Satya tersenyum, sebelah tangannya mengusap puncak kepala Anika, tak ingin gadis itu marah.
Anika melirik Satya. Ia tak bisa melupakan ekspresi sedih Satya saat menceritakan hubungannya dan Tina tadi siang. Diam-diam hati
Anika berdenyut ngilu.
"Kenapa harus datang ke kantor? Apa tidak bisa dipelajari di rumah aja?" tutur Satya, menghentikan mobil karena lampu merah.
Anika menggeleng.
Satya mendesah, ternyata Anika belum juga membuka diri untuknya.
"Satya?"
Satya bergeming.
Anika memiringkan badan, menatap Satya dengan pandangan sayang, seolah lupa bahwa dia dan pemuda itu hampir berseteru.
"Kamu sama Om Sultan... kalian... kenapa bisa sedekat ini bahkan kalian bertiga tinggal bersama dirumahnya, bukan bersama orangtua kalian?"
Sebenarnya Anika sudah lama penasaran perihal ini.
Satya mengangkat alis. "Biliar."
Anika terdiam.
"Kami dekat karena biliar. Waktu itu, dua bulan sebelum masuk SMA, aku, Rangga, Lukas, dan Devan sering main di tempat yang sama. Kami tahu siapa pemilik tempat itu yang notabene paman kami bertiga. Dia yang paling jago di tempat itu. Waktu itu dia menantang kami berempat tanding, yang menang boleh main gratis."
Satya melirik Anika, menginjak pedal gas karena lampu merah
berubah menjadi kuning dan hijau. "Hasilnya draw. Om Sultan
mengusulkan main sekali lagi. Tapi kami menolak. Sejak itu kami menolak dan beberapa kondisi keluarga kami yang bisa dikatakan sangat berantakaan saat itu, nenek mengusulkan kami untuk tinggal di rumah Om Sultan yang dulunya tempat pertama ayahku dan papanya Rangga Lukas tinggal sebelum mereka memutuskan untuk memiliki rumahnya sendiri."
Anika manggut-manggut mendengar cerita tersebut. "Jadi kalian bertiga juga dekat karena Om Sultan?"
Satya tersenyum, kemudian mengangguk. "Pas SMA ternyata kami
sekelas. Dan terus sama-sama sampai sekarang."
Anika tertegun saat mobil Satya berhenti. Dia melihat sekeliling.
Ini lingkungan rumah Wardana.
Hah? Cepat sekali mereka tiba?
Satya mengacak rambut Anika. "Sudah sampai, Nona," kata Satya dengan nada dibuat-buat.
Anika tersenyum kecil, mencubit pipi Satya gemas, kemudian turun sambil berucap, "Thanks."
To Be Continued