webnovel

Royal Family Series : Pengantin Sang Raja (The King's Bride)

Richard adalah raja yang tak pernah menikah. Itu adalah sumpahnya setelah melihat penghianatan yang dilakukan ibunya. Namun bagaimana jika adik lelakinya yang merupakan pewaris tahta akhirnya meninggal dan memohon agar Richard menikah sebagai permintaan terakhirnya? GalaxyPuss

Galaxypuss · 历史言情
分數不夠
55 Chs

Hadiah Sang Peramal

Justin mengaduk lattenya dengan malas, ia menyesapnya sedikit dan membuang pandangan ke luar. Ke jalanan Vatikan yang berbata coklat dan berisi bangunan lama. Klasik, tapi untuk saat ini sangat memuakkan di mata pria muda itu.

Untuk kesekian kalinya ia mendesah lelah, matanya kemudian melirik saat sosok lelaki dengan mantel kelabu menarik kursi dan duduk di depannya.

"Sudah lama?" tanya lelaki itu.

"Tidak," jawab Justin acuh.

"Apa kau sudah menemukan sesuatu?"

"Tidak ada," Justin menjawab lagi sambil menggetukkan jari-jarinya di meja. "Crounchil gereja atau jalanan atau apapun yang bernama sama di Vatikan. Tidak ada, benar-benar tidak ada."

"Kau yakin?"

"Seratus persen positif," pria muda itu mendengus kesal. "Aku sudah mencarinya tapi benar-benar tidak ada."

"Itu tidak bagus," lelaki itu menjawab kalem. "Kalau begitu bagaimana dengan perkembangan pencarian yang diperintahkan Richard?"

"Perkembangan?" Justin mendengus. "Apa yang harus aku kembangkan? Aku disini untuk belajar mengarang. Toh," ia menaikkan bahu. "Yang Mulia akan percaya dengan apapun yang aku katakan."

Lelaki di depannya tergelak, "Justin. Kau benar-benar ular."

Pria muda itu menyeringai, "Keluarga kerajaan hanyalah hal busuk. Ibuku mati karena mereka dan begitu pun ayahku. Menurutmu posisi apa yang paling bagus untukku selain menjadi ular bagi mereka? Aku hanya perlu menjadi jinak sesaat, sebelum menggigit mereka dengan racun."

"Aku setuju dengan itu," lelaki itu terkekeh. "Jadi apa kau sudah tahu sesuatu?"

Justin melirik bertannya.

"Salah satu anak buahku berkata," lelaki itu diam. "Yang Mulia Ratu masih hidup."

Justin menaikkan alis, "Hidup? Setahuku dia sudah dikubur di halaman gereja? Jika kau percaya berarti kau meragukan drama yang kau buat sendiri. "

"Ya. Itu lah yang membuatnya aneh, Yang Mulia Ratu sudah mati. Tapi seseorang mengatakan ia masih hidup."

"Siapa yang mengatakannya padamu? Apa dia bisa dipercaya? Ia bisa saja hanya mencoba untuk menjebak. Kita tidak akan tahu kan jika ia salah satu antek-antek Charles."

"Aku juga berpikir begitu," lelaki itu diam. "Selidiki itu Justin, aku ingin tahu apa Yang Mulia Ratu masih hidup atau tidak?"

Justin tergelak, "Kau mau menyelidiki cerita fiktif? Demi Tuhan. Kau sendiri yang membuat Yang Mulia Ratu Mati."

"Ya, memang aku dalang kematiannya. Tapi itu bisa saja bukan fiktif, siapa yang akan tahu jika itu kenyataan Justin? Kita harus berjaga-jaga."

Mantan Ajudan Ratu itu mendengus, "Kau membuatku terluka. Aku sudah berakting sebagus mungkin untuk mengecoh Raja saat drama kecelakaan itu kau buat."

"Ya. Harus aku akui kau benar. Tapi kita tetap harus memastikan bukan? Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam istana sana."

Justin tersenyum mengiyakan, "Kau benar ..." namun mungkin tak akan ada yang sadar. Jika matanya bersinar janggal, penuh antisipasi.

...

Kapal Richard mencapai dermaga Pebios sekitar senja hari. Ia disambut oleh warga yang berjajar dan pelajar sekolah dasar yang membawa bendera negara Chevailer versi mini.

Ia lelah, tapi senyum hangat ia pertahankan untuk tersungging di bibirnya.

Dalam hati Raja Muda itu menyesal karena kunjungannya ke pulau ini tanpa kehadiran sosok Redd, padahal ia pernah berjanji akan membawa wanita itu mengunjungi seluruh wilayah Chevailer bersama-sama. Tapi apa mau dikata, ia tidak punya pilihan. Jika saja ada hal yang bisa ia lakukan untuk membawa Redd kemari bersamanya, pasti ia lakukan. Hanya saja, apakah mungkin ia bisa membawa kembali orang yang sudah meninggal? Tidak kan. Jelas sekali.

"Apa anda ingin langsung ke kediaman istana Yang Mulia?" tanya Charles menyela lamunannya.

Richard menggeleng, "Ayo pergi ke restoran sekitar sini dulu. Aku benar-benar kelaparan."

"Makan malam sudah siap di kediaman istana Yang Mulia."

"Aku ingin makanan biasa."

Charles menunduk saat Richard menyahut dengan nada tak mau dibantah, ia kemudian menyuruh para pengawal membuka jalan bagi Richard dan mempersilahkan Raja Muda itu memilih sendiri restauran yang ia inginkan.

"Apa itu Minosou Charles?" tanya Richard pelan saat matanya menangkap sebuah restauran di ujung belokan yang berdinding kayu dan dipenuhi lampu pohon palem.

"Minosou adalah makanan khas Pebios Yang Mulia, itu adalah ikan yang di nanak bersama air palem dalam panci besar dari bata merah. Ikannya dibiarkan sampai agak hancur dan kemudian digoreng dengan tepung hingga renyah. Itu makanan kuno sekali, di masa sekarang jarang ada yang menjualnya."

"Apakah enak?"

"Ya. Saya jamin itu enak sekali."

"Kalau begitu ayo kesana," sahut Raja itu cepat.

Charles hanya patuh saat Raja Muda itu melangkah masuk ke restoran, ia kemudian berhwnti kala merasakan bahwa ponsel di sakunya bergetar. Pria itu mengisyaratkan pada para pengawal untuk masuk menyusul Richard terlebih dahulu, sebelum kemudian menepi ke sisi restauran dan mengangkat panggilan.

"Halo?"

"Kenapa kau harus menjadi sebusuk itu Charles?"

"Apa?" ajudan Raja itu mengerjap. "Apa yang kau bicarakan? Siapa ini?"

"Kau sungguh lupa dengan aku? Jangan berpura-pura. Kau tahu siapa aku."

Charles diam sesaat, wajah tuanya memasang tampang menerawang sebelum kemudian ia tersenyum tipis. "Aku ingat."

Suara tawa mencemooh terdengar, "Senang mendengarnya. Apa kabar? Aku menghubungimu untuk mengajakmu bermain."

"Permainan konyol apa lagi yang kau tawarkan kali ini?" tanya ajudan itu tenang.

"Permainan menarik Charles, jangan khawatir. Hadiah utama yang aku tawarkan juga menarik," Hening. "Pemenangnya, berhak untuk membunuh Raja. Bagaimana, kau mau?"

...

"Berapa harganya?" Kylie bertannya pada pedagang cumi yang tengah memanggang sate seafood dengan cekatan. Pria pedagang itu mengoles saus pedas ke satenya, sebelum mendongak. "5 pound satu tusuk."

"Aku beli tiga."

Pedagang itu mengiyakan, sementara Kylie melirik wanita di sisinya yang tengah asik memakan panekuk kerang di sisinya.

"Apa anda ingin makanan lain?" tanya Kylie.

Wanita itu mengangguk, "Banyak."

Kylie mendesah sebelum mendekat dan berbisik lirih pada wanita itu, "Yang Mulia. Kita harus cepat, Anda tadi bilang Anda hanya akan berkeliling sebentar."

"Ya benar," Redd membenarkan letak cadar hitam tipis yang menutupi sebagian wajahnya. "Tapi cadar ini melindungiku, aku akan berkeliling lebih lama."

"Yang Mulia!" Kylie mendesis tertahan.

Redd melotot saat mendengar panggilan itu, matanya melirik sekitar, takut-takut ada yang mendengar atau tidak sengaja menguping. Tapi nihil, semua orang sibuk dengan urusan mereka. Kylie sendiri mendengus kecil dan berbalik ke pedangang seafood untuk membayar. "Terimakasih."

Redd melengos pergi saat kantung yang masih berembun karena panasnya makanan tiba di tangan Kylie, ia berjalan lebih dulu dengan mulut yang kini ganti asik memakan sejenis makanan berupa sate gurita yang dibumbui dengan rempah; yang ia dapatkan secara gratis dari seorang pedagang wanita tua yang gemas dengan perut buncitnya.

"Apa tempat ini buka setiap hari?" tanya Redd.

"Ya, tapi hanya ramai saat malam minggu."

Ratu itu menggerakkan kepala, "Apa itu?" ia menunjuk stand dengan atap kerucut yang dipadati beberapa orang. "Stand apa itu?"

Kylie menjinjit dan menyipit untuk melihat, "Sepertinya itu stand ramalan. Anda tahu suku kuno di Pebios dikenal punya kekuatan ghaib," bahu Kylie naik dengan acuh. "Mereka terkenal dengan kemampuan sihir laut mereka, atau sesuatu semacam itu."

"Itu kedengaran asik," Redd tersenyum. "Ayo kesana."

Kylie melotot, "Tidak Yang Mulia," ia menahan Redd yang akan maju meringsek ke barisan. "Anda berjanji hanya sebentar ingat? Ini tidak aman."

Redd mencebik, "Sebentar. Ya?" ia mengerjap sedih dan menyentuh perutnya. "Aku ngidam, kalau tidak dituruti itu tidak baik."

Gadis muda di sisinya mendengus tidak percaya, "Tapi-"

" ... sebentar. Aku janji," Redd menunjukkan jari kelingkingnya. "Setelah ini kita langsung pulang, janji."

Kylie menggerang tidak kuasa, dengan berat hati ia terpaksa menemani Ratunya itu untuk mengantri di depan stand. Diantara muda-mudi yang ikut ambil bagian, sesekali mata gadis itu melirik sekitar. Berusaha waspada jika saja tiba-tiba ada yang menyerang atau menyadari siapa sosok wanita bercadar di sisinya.

Mereka masuk sepuluh menit kemudian, Redd mengamati isi tenda yang temaram. Dengan kain merah, bau menyengat kemenyan dan meja kecil yang berisi bola kabut-yang hanya menginggatkan Kylie soal buku Harry Potternya yang belum selesai-dan seorang wanita. Tua sekali, yang memakai terusan merah dengan cardigan jaring ungu yang menutupi pundaknya. Rambut wanita itu diikat dengan tali daun kering dan ada untaian lonceng emas yang diikat dari pangkal rambut hingga ujung rambutnya yang panjang.

Wanita itu mendongak untuk menatap Redd, sesaat. Sebelum ia bicara, "Sebuah kejutan," ia tersenyum

Bagus, entah kenapa kini perasaan Redd mendadak tidak enak.

"Apa kebaikan yang saya lakukan hingga Yang Mulia Ratu berkunjung ke rumah saya?"

Bukan, Redd yakin di luar tidak ada petir. Tapi ia merasa mendengar suara geleduk yang menakutkan dan kepanikan menjalar yang menganggu.

"Bagai-"

"Siapa yang kau panggil Yang Mulia Ratu, Peramal?" Kylie menyahut cepat. "Dia kakakku."

Peramal itu tersenyum, "Saat kau masuk kemari. Artinya kau meninggalkan perisai kebohonganmu di depan Nak, jangan menipuku. Aku bisa membaca apa yang kau sembunyikan sejak kau baru melangkah."

Kylie mulai bergerak tidak nyaman.

"Bagiamana kau tahu?" tanya Redd cepat.

"Saya hanya tahu."

"Ya, tapi bagaimana? Kau bahkan tidak terkejut?"

Peramal itu tertawa lagi, "Karena seperti yang saya bilang. Saya sudah tahu," ia bangkit berdiri dan memberi gesture pada bangku di depannya. "Duduklah Yang Mulia. Kandungan Anda tidak baik jika dibawa berdiri terlalu lama."

Redd mulai yakin orang di hadapannya ini adalah peramal sungguhan, ia tahu mempercayai orang ini mungkin kesalahan tapi ia tidak peduli. Bahkan walau Kylie sudah melemparkan gesture waspada. Tapi ia acuh dan menurut untuk duduk.

"Jadi apa yang bisa saya bantu untuk Anda Yang Mulia?"

"Apa kau bisa membaca masa depan?"

"Bahkan walau saya tidak bisa, saya akan melakukannya untuk Anda."

"Apa," Redd diam. "Aku akan bertemu Richard lagi nanti? Apa aku bisa bersamanya kembali?"

Peramal itu tersenyum, "Boleh saya melihat tangan Anda?"

Redd mengulurkannya cepat-cepat.

"Yang Mulia," ia memulai. "Di dunia ini ada yang dinamakan takdir. Orang bilang takdir itu adalah hal yang tidak mungkin diubah, tapi ketahuilah itu salah. Saya melihat banyak hal, dan saya tahu apa itu takdir. Ia adalah percaya," Peramal itu tersenyum. "Ketahuilah betapa hebatnya kemampuan percaya. Jadi Yang Mulia jangan khawatir, percayalah pada apa yang Anda ingin percayai. Bahkan sekalipun itu mustahil, karena terkadang percaya itu akan membuat suatu bagian dari takdir Anda berubah."

Ratu itu diam. Mencoba mencerna.

Peramal itu hanya terkekeh kecil sambil mengamati tangan Redd, "Kenapa Anda khawatir? Sejak awal Raja adalah Anda dan begitupun sebaliknya. Membawa Anda dan Raja menjauh hanya akan membunuh kalian berdua. Apa Yang Mulia masih mau bertannya lagi?"

Redd mengerjab, "Apa boleh?"

"Kenapa tidak? Saya punya seluruh waktu di dunia ini untuk Anda."

"Apa kau tahu siapa aku dulu? Kau tahu seperti apa masa laluku?" Redd bertannya bimbang.

"Masa lalu Anda?"

"Ya."

Ekspresi gelap melintas di wajah peramal itu sesaat, "Yang Mulia. Anda adalah tali pangkal."

Redd menggerjab, "Apa?"

"Anda adalah tali pangkal. Anda adalah awalnya dan Anda adalah akhirnya. Jika Anda ingin mengetahui masa lalu Anda, Anda harus mengurai benangnya satu persatu. Karena benangnya ada di tangan Anda, semua yang terpaut," Ia menatap Kylie sekilas. "Hanya terjerat di serabutnya. Sekalipun mereka menjadi jahat untuk melindungi Anda, apapun yang mereka lakukan hanya akan membuat benang itu jadi makin semerawut. Anda yang harus mengurainya, karena semuanya berawal dari Anda."

"Aku tidak mengerti."

Peramal itu tertawa, "Anda tidak harus mengerti, nah" ia melirik bola kabutnya. "Saya pikir saya melihat sesuatu dan saya akan memberi hadiah pada Anda sebelum Anda pergi."

Ratu itu menatap tertarik.

"Tapi saya ingin Anda berjanji untuk menahan diri, jangan berlari, jangan bicara. Anda hanya bisa melihatnya untuk membantu Anda terus bertahan. Anda mengerti?"

Redd mengangguk.

"Keluarlah dari sini dan belok ke kanan, cari perempatan pasar ini dan menghadaplah ke stand penjual aksesoris. Ingat diam dan jangan bergerak."

"Dan apa yang akan ada di sana?"

"Itu kejutannya," peramal itu tersenyum lembut. "Saya harap dia menemukan Anda."

Redd menatap tidak paham, tapi ia bangkit berdiri. Kylie mendekat hendak memberi bayaran tapi wanita itu menggeleng dan menatap Kylie janggal, "Simpan itu. Kau hanya perlu membayarku dengan membawa kembali mahkota ke tempatnya."

Kylie menggerjab, tapi ia menunduk mengiyakan. "Anda tidak akan mengatakan ini pada siapapun kan?"

"Kau memengang sumpahku nak, mulutku ini tidak akan mengucapkan apapun hingga jasadku ada di tanah. Aku ingin Beliau bahagia, dan aku ingin harap semua yang kau lakukan akan berakhir sama baiknya."

Kylie tersenyum samar dan membungkuk kecil, ia lalu membawa Redd keluar dari stand ramal itu. Begitu di luar Kylie bernafas lega dan melirik Ratunya yang masih termenung.

"Yang Mulia?"

"Perkataannya berbelit-belit," Redd menerawang, "Tapi, hei, ayo kita pergi ke perempatan pasar. Aku ingin menemukan hadiah dari peramal itu."

Gadis itu mendesah lagi saat mengikuti langkah Redd, sesekali ia berusaha menahan Ratunya agar tidak berjalan terlalu cepat karena khawatir dengan perut buncit Ratunya. Mereka sampai di perempatan beberapa saat kemudian, Redd diam dengan wajah serius ke arah stand penjual aksesoris sementara Kylie menatap berkeliling.

"Jadi apa hadiahnya?" Kylie mengguman.

"Psst," Redd mendesis. "Aku sedang mencarinya."

Selanjutnya mereka berdiri diam selama beberapa menit, Kylie menguap bosan. Sudah hendak mengajak Ratunya untuk kembali, saat sosok wanita yang dihormatinya itu tiba-tiba mencengkeram tangannya. Kylie menoleh kaget, ia panik saat menyadari wajah Redd memucat dan matanya berkaca-kaca.

"Yang Mulia ada ap-"

"Kylie," Redd tergugu. "Itu Richard."

Kylie tersedak, "Apa!?"

Gadis itu mengkuti arah padang Ratunya dan Demi Tuhan. Demi Jagad Raya. Itu memang Richard. Rajanya.

"Yang Mulia, kita harus pergi." Kylie mulai panik.

"Tidak, sebentar. Ingat apa kata peramal itu tadi? Aku harus diam. Tidak boleh mendekat, aku harus menahan diri."

"Tapi-"

"Tidak sebentar. Aku mohon."

Gadis itu bergerak gelisah, tapi setuju untuk diam di tempat. Redd sendiri memilih fokus, walau rasanya ia masih tidak percaya. Richard di sana, Rajanya. Hatinya, ada di depan matanya.

Pria itu memakai atasan kaus putih dan jaket denim. Celana hitam membalut kakinya dan ia memakai sneakers, rambutnya dibiarkan berantakan dan ia sendirian. Tanpa siapapun, tengah asik di stand aksesoris dan bicara dengan penjualnya santai.

Boleh Redd menangis? Karena sekarang rasanya hantaman keras rindu memukul dada hingga tenggorokannya yang tercekat. Matanya memanas, dan bulir air mata mulai jatuh, Redd menyekanya cepat. Tidak ia tidak boleh menangis, tidak di sini. Tapi sial, rindu yang ia rasakan sudah membengkak. Penuh dan menyakitkan. Hingga Redd tak sanggup melakukan respirasi dengan benar. Karena Demi Tuhan? Apa yang ia lakukan di sini?

Redd menatapnya lekat. Mencoba merekamnya banyak-banyak. Ia bertambah kurus, wajahnya tirus dan matanya memiliki kantong mata samar. Tapi ia bertambah tinggi dan bahunya masih sama bidangnya. Walau gaya pakaiannya kali ini membuat ia tampak seperti anak remaja tanggung alih-alih pria dua puluh tujuh tahun. Tapi aura berwibawa itu tetap kuat terasa, aura mengayomi dan hangat. Redd mencoba melihat lebih detail, rambutnya yang tertiup angin pantai lembut. Bibir penuh itu, telinganya, hidungnya dan matanya. Yang menatapnya tenang dan datar ...

Oh, tunggu? Menatapnya?

Redd membelangak saat menyadari Richard menatapnya dari kejauhan dengan tenang, ia tidak berekspresi dan seketika Redd dirambati ketakutan bahwa Richard mungkin mengetahui ia di sana. Tidak, Richard tidak boleh tahu. Ia sudah mati, ia sudah tidak ada. Ia harus menyingkir.

"Kylie, dia menatap kita," Redd berbisik kecil.

"Saya tahu," balas gadis itu. "Saya akan menghitung sampai tiga setelah itu anda harus menyelinap ke kerumunan."

Redd mengangguk, dan tangannya yang dingin memegangi perutnya saat ia melihat Richard beringsut. Menatapnya lebih intens, Ratu itu merasa gemetaran. Gerakan Richard di kejauhan yang mulai ekspresif membuat ia gelisah.

"Kylie-"

"Satu."

"Dua."

Redd menatap Richard dan langsung menggigit bibir kala menyadari ekspresi pria itu berubah drastis. Redd melihatnya, mata basah itu dan wajah tak percayaan. Oh, betapa Redd ingin berlari ke arahnya sekarang.

"Satu!"

Ya. Tapi itu bisa diundur suatu-entah kapan-hari nanti.

Redd menyelinap dengan cepat diantara kerumunan, sesekali ia melempar ungkapan maaf dan permisi pada orang-orang yang ia tabrak. Perutnya yang besar menghalangi, tapi ia berusaha keras. Richard tidak boleh tahu bahwa ia hidup, tidak. Ia harus mati untuk melindungi Richard, melindungi Chevailer, melindungi anaknya dan tahta yang masih harus Raja itu perjuangkan.

Tidak boleh.

Redd memekik saat tangan hangat meraih lengannya dan menyentaknya. Redd berputar dan nyaris limbung saat matanya menatap oniks gelap yang ia impikan di setiap malamnya.

"Redd?"

Mati sudah ia.

Wanita bersurai gelap itu terdiam kaku, ia memandang oniks basah itu lekat-lekat dan seketika ia merasa ingin menangis juga. Mata itu memancarkan luka, dan kerinduan yang sama membuncahnya dengan miliknya. Hazel Redd memindai cepat, wajah pucat dan lelah.

Aku ingin memelukmu.

"Kau Redd? Kau Redd bukan?" Richard menyentakknya lebih keras dengan nada yang memaksa sebuah persetujuan.

Redd memberontak, mencoba melepaskan diri. Tapi pria itu menahanya kuat-kuat, "Aku tahu itu kau. Kau Redd kan? Ratuku?"

Wanita itu sudah hampir menangis, ia membisu dan masih berusaha pergi saat tiba-tiba tangan lain meraih pundaknya dan merangkulnya. Menjauhkan Richard darinya.

"Apa yang kau lakukan?" pria yang merangkulnya berucap dingin. "Apa yang kau lakukan pada istriku?"

Redd tersentak, tapi lebih lagi ia bisa melihat Richard menggerjab luar biasa kaget. Redd menoleh, menatap sosok bersurai coklat disisinya.

"Howie?" bisik Redd.

"Ya Sayang? Kau baik-baik saja?" pria itu menunduk. "Kylie bilang kau hilang, jadi aku mencarimu," ia melirik Richard, "Apa dia menyakitimu?"

"Ti-tidak."

"Syurlah," Howie tersenyum. "Ayo kita pergi."

"Tunggu," suara itu membuat mereka berhenti dan kembali menatap Richard. "Dia istrimu?"

Howie menaikkan alis, "Ya. Bukankah sudah jelas anak muda?" ia memindai tampilan Raja Chevailer itu, "Renee adalah istriku. Apa ada masalah?"

Richard tampak seakan ia tidak terima, ia memaung sesaat dengan ekspresi tidak terjelaskan;sebelum ia mundur dan menunduk." Maaf, aku pikir ia seseorang yang aku kenal."

Howie berdeham, "Ya. Bukan masalah. Pulanglah nak, pria muda sepertimu tidak seharusnya pergi hingga larut."

Dan setelahnya mereka pergi, meninggalkan Richard yang tergugu dan mematung.

"Maafkan saya Yang Mulia," Howie berbisik pada Redd yang mulai terisak. "Tolong maafkan saya."

...

Richard berdiri diam memandang hamparan laut dan Gugusan Karang Mahkota yang membentang di sepanjang laut Pebios. Pandangan yang spektakuler, dan tampak luar biasa dari jendela kamarnya di kediaman Kerajaan. Raja Muda itu menghela nafas, ia menerawang pada bulan sambil memutar ingatan kecil soal Redd di otaknya.

Betapa ia begitu merindukan wanita itu. Rindu yang rasanya begitu berat, hingga Richard nyaris mati setiap hari karena menanggungnya. Ia menggerakkan jari di jendela, menulis di atas embun basah di jendela.

"Sebentar lagi adalah peringatan setengah tahun kematianmu," Richard tersenyum berat. "Betapa banyak waktu yang sudah aku lewati tanpamu. Rasanya baru kemarin aku bangun dengan kau di sampingku, tapi kini tiba-tiba hari peringatan kematianmu akan datang. Apa kau melihatku dari atas sana? Apa kau tidak sedih melihat betapa menyebalkannya hidupku selama ini berlangsung?"

Raja Muda itu terkekeh.

"Yah. Setidaknya aku punya seluruh kenanganmu untuk aku simpan."

Suara ketukan pintu kemudian mengalihkan perhatian Richard, ia melangkah dengan perlahan dan membuka daun pintu. Di luar seorang pengawal muda berdiri dengan bungkusan di tangan, ia memandang Richard dan dengan gesture Raja Muda itu menyuruh ia masuk. Richard menutup pintunya dengan cepat sebelum berputar menatapnya.

"Sudah dapat?"

"Ya, Yang Mulia."

"Charles tahu?"

Pengawal itu menggeleng, "Tidak. Tuan Charles sedang melakukan pertemuan dengan kepala pengawal sejak setengah jam lalu."

Richard menghela nafas, "Bagus. Kemarikan."

Pengawal itu maju dan menyerahkan bingkisan yang ia pegang, dengan cekatan Richard meraihnya, "Tunggu di sini," ucapnya dan ia masuk ke kamar. Raja Muda itu keluar beberapa saat kemudian dan menatap pengawalnya menuntut, "Apa aku masih terlihat seperti Raja?"

Pengawal itu menggerjab kikuk, "Eh. Tidak, Anda tampak seperti anak kuliah."

Richard menghela nafas, ia mematut dirinya di cermin yang memakai celana hitam dengan kaus putih dan jaket denim. Yah, Richard mencoba menyamar menjadi warga biasa. Bukan apa-apa, ia hanya ingin keluar ke sekitar Pebios tanpa pengawal dan tanpa diketahui siapapun. Ia ingin jalan-jalan sebagai warga biasa dan mencoba mencari tahu segala hal yang ada di Pebios melalui mata rakyat. Hanya ini jalan satu-satunya, menyamar dan menyembunyikannya dari Charles.

Karena Demi Tuhan, jika ajudannya itu tahu. Richard mungkin sudah mati karena diceramahi.

"Jadi," Richard melirik name tag yang terpasang di jas hitam pengawal itu-Daniel-, Raja itu berdeham. "Daniel, kau sudah menyiapkan jalan keluar untukku juga?"

Daniel menunduk, "Ya. Yang Mulia, saya menemukan jalan di belakang dapur dan anda bisa keluar lewat sana. Pintunya akan saya pastikan tetap terbuka hingga pukul sepuluh, yang artinya anda bisa keluar selama tiga jam saja."

"Aku mengerti," sahut Richard.

"Apa Anda yakin ingin keluar sendiri? Saya bisa menemani Anda. Pasar di tepi pantai Pebios ramai sekali saat malam hari, bisa saja seseorang menyadari Anda Raja dan mencoba menyerang Anda."

"Tidak akan," Richard mengguman. "Aku akan baik-baik saja. Pegang saja ucapanku."

....