webnovel

Sampai Pesta Usai

"Kau dari mana?" Kyu Jin bertanya pada Soo Hyun dengan bahasa Korea.

Kyu Jin yang jangkung dijajarkan dengan Soo Hyun yang imut—rasanya tidak akan ketahuan kalau Soo Hyun yang lebih tua. Mereka terlihat seperti pasangan dalam drama Korea.

"Aku memanggil Serina, murid baru yang direkomendasikan Huddwake."

"Halo," sapaku canggung.

"Senang berkenalan denganmu." Kyu Jin menjabat tanganku sambil tersnyum ramah. "Hei, sobat. Dia junior bimbinganmu tahun ini?" Kyu Jin menepuk bahu temannya yang sedang membelakanginya.

Oh, tentu. Kyu Jin juga berteman dengan Huddwake. Jadi, sekarang hebatnya, aku kepergok. Huddwake tepat ada di depan mataku. Ia mengenakan kaus turtle neck hitam, menutupi lehernya yang jenjang—dipadu dengan jas abu-abu gelap. Sepanjang aku mengenal Huddwake, ia terlihat seperti diagram warna yang konstan—hitam, abu-abu, dan putih. Aku tak pernah sekali pun melihatnya memakai warna lain.

Aku menggigit bibir.

"Yeah," jawab Huddwake pendek.

Aku melirik tangannya diam-diam, tapi lebam yang kubuat kemarin tertutup lengan jasnya.

"Apa kabar, Serina?" Huddwake bertanya seakan kami sudah lama tidak bertemu.

Aku tergagap, "Aku baik-baik saja, terima kasih." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Huddwake menatapku sangat lama. Aku tahu ia menatapku, bahkan saat aku mengobrol dengan Soo Hyun dan saat aku mengunyah kastanye panggang. Aku sampai hampir tersedak karena ada potongan kastanye yang belum terkunyah tersangkut di tenggorokanku. Huddwake tertawa mendengus.

"Aku tahu kau menatapku," sahutku kesal, kemudian meneguk koktail untuk membersihkan tenggorokanku.

"Aku tahu kau gugup." Huddwake memasang senyum arogannya. "Apa kau tidak ingin bertemu denganku hari ini?"

Aku tertawa sinis. "Yah, kau tahu itu. Sialnya, kenapa Soo Hyun membawaku kesini, jadi aku bisa melihat senyummu yang menyebalkan itu."

"Apa kau benci padaku?"

Aku terdiam, tercekat mendengar pertanyaan Huddwake. Aku tak berani membalas tatapan matanya.

"Bukankah Sergei menyuruhmu untuk waspada akan diriku?"

Aku menatap Huddwake—ekspresinya datar.

"Jangan permainkan aku," gertakku. "Kalau kau terus menggunakan telepatimu seperti itu, aku tak akan segan untuk melawanmu lagi."

"Aku tak membaca pikiranmu," balas Huddwake.

"Bagaimana aku bisa membedakannya?" tanggapku sinis.

"Aku tahu Sergei akan memintamu untuk menjauhiku pada akhirnya." Huddwake meneguk minumannya. "AKU TAHU apa yang akan ia lakukan."

Refleks aku menampar Huddwake. Pipi Huddwake memerah. Soo Hyun dan Kyu Jin berhenti bicara, tertegun menatap kami. Sementara murid-murid yang lain tak menyadarinya karena keramaian di auditorium.

"Berhentilah melakukan itu pada Sergei," kataku marah. "Apa kau begitu menyedihkan sampai punya banyak waktu untuk mengganggu kehidupan orang lain?"

Huddwake menelengkan kepala. "Begitukah menurutmu? Aku menyedihkan?" Ia tersenyum kecut. Aku menelan ludah. Huddwake menjulurkan tangan, jemarinya memainkan ujung rambutku. "Lihatlah aku baik-baik. Siapa aku."

Aku menyingkirkan tangannya. "Siapa kau?"

Huddwake terdiam, ia menatapku datar tanpa ekspresi. Aku menatapnya lurus dan tajam.

"Kau orang yang memuakkan. Dan aku benci itu."

Aku berbalik meninggalkan Huddwake dengan perasaan yang kacau balau. Soo Hyun terlihat ingin menyusulku, namun Kyu Jin menahannya—memberi isyarat agar Soo Hyun membiarkanku sendirian.

Selalu saja, Huddwake seperti mempermainkanku. Kemarin ia membantuku, sekarang ia membuatku membencinya lagi—malah makin bertambah benci—karena ia berbicara seperti itu tentang Sergei. Sebenarnya apa yang Huddwake inginkan dari Sergei?

Aku mengunyah kroket kepiting dengan kesal.

Xavier naik ke panggung dan memberikan pidato sambutan. Aku bisa melihat Lukas Barnhook sibuk memotret sambil mengarahkan anak buahnya. Oh, tidak. Aku ingat si Lukas itu terobsesi pada berita tentang Huddwake. Apa dia melihatku ketika bersama Huddwake tadi? Aku berdoa mati-matian semoga Barnhook tidak menangkap momen menyebalkan tadi.

Tunggu. Bukankah Barnhook terobsesi pada Huddwake? Apa itu berarti dia juga mengetahui tentang masalah Sergei dan Huddwake? Pikiran itu melintas begitu saja di otakku, membayangkan Barnhook yang selalu mengawasi Huddwake di mana pun. Aku tahu ia tipe orang yang ambisius. Ia mungkin akan melakukan apa pun untuk mendapatkan beritanya.

Aku melangkah menerobos kerumunan para murid yang berkumpul di tengah untuk berdansa. Musik jazz mulai diputar. Aku melangkah mendekati Barnhook yang sedang mengunyah pastel ayam dengan rakusnya. Ia makan seperti takut kehabisan—kehabisan waktu untuk menangkap apa saja yang terjadi di pesta penyambutan ini. Matanya mengawasi kerumunan murid yang maju untuk berdansa, mirip mata bunglon yang berputar ke sana kemari.

Seseorang menyenggol lenganku, keras sekali. Ngilunya sangat terasa. Aku terduduk mengaduh kesakitan. Ah, astaga… pesta ini sungguh menyebalkan.

"Hei, kau tak apa-apa?"

Aku mendongak sambil merintih. Seorang cowok bermata biru jernih menatapku khawatir. Rambutnya yang coklat kemerahan dibiarkan sedikit panjang menutupi sebagian kening dan pelipisnya. Aroma parfumnya yang lembut langsung menyebar ketika ia mendekat. Aroma chamomile.

Oh, tidak. Sergei Ivanov.

"Serina?" Sergei membelalakkan mata, membantuku berdiri. "Aku tak sengaja."

"Oke, jangan minta maaf." Aku refleks mengingat pesan Sergei ketika di restoran kemarin. "Sedikit sakit, tapi tak apa. Tulangku cukup kalsium."

Sergei tertawa. Ia kembali seperti biasanya, seakan tak ada masalah setelah pembicaraan semalam. Ia berhenti tertawa kemudian menatapku, membuatku kikuk.

"Mau berdansa denganku?"

Aku menelan ludah. Oh, Tuhan memang maha adil. Setelah kegelapan, aku melihat cahaya.

"O... oke..."

Sergei membungkuk padaku kemudian mengulurkan tangannya. Sergei terlihat sangat tampan dengan kemeja putih, ia menggulung lengan kemejanya sampai ke atas siku. Aku menyambut tangan Sergei dengan kikuk. Sergei menuntunku ke tengah auditorium. Aku berusaha menutupi kegugupanku dengan memandang ke sekitar, tapi yang kudapat malah kegugupanku yang bertambah karena semua murid di sekitar kami memperhatikan. Semuanya berbisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Aku mengalihkan mata pada Sergei, ia menatapku lurus.

Oh, tidak ... rasanya aku seperti sedang mengahadapi buah simalakama. Menatap ke sekitar salah, menatap Sergei juga salah.

"Warna matamu hijau," kata Sergei.

"Err...yah. Kau baru sadar?"

"Tidak juga." Sergei mengangkat bahu. "Hanya baru melihat sejelas ini."

Aku tertawa canggung. Tubuhku terasa lemas saking gugupnya. Astaga, kapan ini akan berakhir?

"Kau tidak menyanyi?" tanyaku, berharap Sergei segera melepaskanku.

"Uhm... tidak." Pandangan Sergei menerawang. Kemudian kembali menatapku. "Apa kau ingin mendengar sesuatu?

"Oh, tidak juga..."

Sedetik kemudian aku menyesali jawaban bodohku, aku melewatkan kesempatan untuk melepaskan diri. Pinggangku—tepat dimana Sergei meletakkan tangan kirinya—seperti mati rasa saking tegangnya.

"Kau gugup?" Sergei menembakku tepat sasaran. Sarafku serasa runtuh. "Kau tidak bicara banyak."

"Kau tahu." Aku memutar bola mata.

"Tenanglah. Sudah kubilang, bukan? Kau akan terbiasa."

"Yah, semoga. Aku bukan tipe yang biasa menghadapi banyak orang, tidak seperti dirimu."

"Huh? Baru kali ini aku berdansa dengan cewek. Kau pikir aku tak gugup?"

Aku membulatkan mata. "Serius? Kau selalu dikerubungi cewek-cewek yang histeris."

Sergei tertawa. "Kau tidak sedang melihat Sergei Ivanov si penyanyi kafé."

"Lalu?"

"Hanya aku." Sergei tersenyum manis.

Aku tertegun menatap Sergei. Musik jazz mengalun, mengisi keheningan di antara kami berdua.

"Sampai kapan kita akan terus berdansa?" tanyaku.

"Sampai pesta benar-benar usai," balas Sergei. "Keberatan?"

Aku menatap ke sekitar, mataku menangkap sosok Huddwake yang sedang berdansa dengan Martinez. Huddwake menatapku dengan mata abu-abunya—lurus dan tajam. Aku mengalihkan mata pada mata biru Sergei. Ia menatapku lembut.

"Sama sekali tidak."