webnovel

Peringatan Sergei

Sinar menyeruak dari balik pintu, begitu menyilaukan hingga aku harus menutup mataku. Butuh beberapa detik agar mataku bisa menyesuaikan keadaan di dalam ruangan itu.

Aku membuka mataku perlahan-lahan, dan terbelalak.

Aku dan Dara ada di tengah gurun.

Serius. Udara dan mataharinya panas menyengat. Pemandangan yang serba kuning dan kering, beberapa kaktus berduri terlihat berdiri kokoh menantang matahari. Selain itu hanya ada batu dan pasir. Saking panasnya hawa udara di sekitarku sampai terlihat bergoyang-goyang.

"Apa-apaan ini?" desis Dara. Aku menatapnya, Dara terlihat sangat menderita. Aku jadi berpikir mungkin tingkat panas yang tinggi berpengaruh pada kekuatannya.

"Kau tak apa-apa Dara?" tanyaku sambil menyeka sebutir keringat yang mulai menetes di keningku.

"Aku tak begitu tahan panas," aku Dara. "Kelebihanku untuk membekukan sesuatu bergantung pada elemen air dan udara. Secara tidak langsung berpengaruh pada kandungan air dalam tubuhku dan udara yang ada di sekitarku."

Aku termangu, dugaanku benar.

"Apa lebih baik kita keluar dari sini sekarang?" aku menawarkan. Pintu di belakang kami masih terbuka. Koridor yang kami lalui tadi pun masih terlihat.

Dara menggeleng. "Kita bisa disini sebentar lagi," katanya mencoba bertahan. "Aku ingin tahu sebenarnya tempat apa ini?"

"Kurasa gurun ini hasil kerja simulator, Dara," kataku mengambil kesimpulan. "Gurun di dalam sekolah? Di bawah tanah? Apa lagi?

"Aku baru tahu ada simulator sehebat ini," gumamku.

"Hingga membuatku kering." Dara meringis. Aku jadi makin kasihan melihatnya.

Kutebarkan pandanganku ke sekeliling ruangan yang luas ini. Tiga pintu besi yang berjajar di depan tadi ternyata semuanya menuju ke tempat ini. Aku mengenyit, kesulitan untuk menemukan dimana batas ruangan, saking hebatnya simulator ini bekerja.

"Kurasa aku tahu tempat apa ini," kataku pada Dara.

"Apa?"

"Kau ingat Prof. Tray pernah mengatakan soal kompetisi adu kekuatan?"

Dara mengangguk perlahan. "Jadi ini untuk itu?"

"Mungkin, hanya ekspektasi." Aku mengangkat bahu, menunjuk ke sebuah ruangan kaca di bawah gunung batu kecil. "Mungkin itu ruang kontrol simulatornya."

"Andai aku ikut kompetisi, aku akan berdoa semalaman agar tidak mendapatkan setting gurun." Dara setengah mengumpat. Aku tertawa.

Seseorang berdeham di belakang kami.

Aku dan Dara berjengit, lalu kami saling melirik. Mendadak jantungku berpacu cepat. Perlahan kami membalikkan badan. Seorang pria berumur dua puluh delapan tahunan berdiri bersandar di ambang pintu. Kakinya pendek, mungkin tingginya hampir sama denganku. Ia menatap lurus ke arah kami. Wajahnya cenderung terlihat cantik, meksipun bekas cukuran kumis dan jenggotnya masih terlihat keabu-abuan. Mata dan rambutnya berwarna sama, cokelat cerah. Ia mengenakan kemeja dan celana kantoran.

"Lakukan rencanaku," bisik Dara sambil menggenggam tanganku. Aku mengiyakannya dalam hati.

"Kalian berdua…" Pria itu bangkit dari sandarannya. Suaranya bahkan lebih ringan dan lembut dari suara Huddwake. "Apa yang kalian lakukan disini?"

"Kami tersesat, Sir," aku angkat bicara.

"Ada barang yang tertinggal di kelas. Kami menggunakan lift, tapi liftnya membawa kami kesini." Dara ikut menyahut.

"Sepertinya liftnya rusak, Sir," tambahku, jelas-jelas mengarang.

Pria itu menelengkan kepalanya, heran. "Tersesat?" ia berbicara dalam bahasa Belanda, seperti Ruud Maya. "Kalian murid baru?"

Aku dan Dara mengangguk mantap. "Ya, Sir."

Pria itu mengangguk-angguk sambil mengelus dagu, kemudian memberi isyarat pada kami untuk keluar dari tempat ini. "Sebaiknya kalian segera kembali ke asrama," perintahnya halus.

Aku dan Dara merendahkan kepala dan menuruti perintah pria itu. Ia masih mengawasi kami hingga kami berbelok ke lorong bulat. Aku menghembuskan napas lega begitu lepas dari tatapan mata pria itu.

"Nyaris saja," desisku.

Dara tertawa, ia terlihat menikmati ketegangan barusan. "Apa dia penjaga sekolah?"

"Entahlah." Aku mengedikkan bahu. "Tempat yang tadi keren sekali."

"Yeah, andai bukan gurun."

Aku tertawa.

"Apa kira-kira aku bisa ikut kompetisi?" tanyaku sambil berpikir.

Dara membelalak. "Kau serius?" Ia menekan tombol lift.

Aku menggaruk kepala. "Entahlah. Hanya tiba-tiba ingin."

"Kau bisa kalau kau mau." Dara memberi jawaban mendukung. "Tapi kurasa itu agak sedikit berbahaya, Serina," jawabannya yang kemudian sedikit tidak mendukung, dengan gaya bahasa 'agak sedikit'-nya.

"Pokoknya aku bisa dibilang belum setuju selama kau masih lupa membawa dompet, lupa membayar makanan di Roxy Café, dan lupa membawa kartu ID," tekan Dara seperti ibu-ibu yang mengomeli anaknya. Aku hanya tertawa mendengus.

Grup Sergei sedang mengemasi instrumen mereka ketika kami melewati Roxy Café. Hanya ada beberapa orang yang tersisa disana, sebagian besar murid sudah kembali ke asrama.

Tiba-tiba Dara menyikut lenganku. Aku kaget karena ia berhenti mendadak.

"Apa?"

Dara memberiku isyarat dengan kepalanya agar aku menoleh. Sergei menghampiriku sambil memanggul gitarnya, ia berpisah dari grupnya. Aku menelan ludah. Oh, baru saja aku terlepas dari satu ketegangan, sekarang sudah muncul lagi yang lain. Kuharap aku tidak mengalami keruntuhan saraf.

"Hai," sapaku pendek.

"Hai." Sergei terlihat agak kesulitan mencari variasi jawaban. "Boleh aku jalan bersama kalian?"

Aku hanya mengangguk kikuk, kemudian kami bertiga mulai berjalan perlahan. Suasana hening terasa diantara kami bertiga, walaupun beberapa murid yang berjalan agak jauh di depan kami ribut bercanda.

"Err, Sergei…kenalkan, ini teman sekamarku, Dara," aku mencoba mengisi kekosongan.

Sergei menoleh untuk mengamati Dara. Dara hanya mengangguk dan tersenyum tanpa minat, mungkin ia sudah terlalu lelah karena badan Dara kecil dan ringkih. Sergei balas tersenyum. Mereka tidak berjabat tangan, aku jadi merasa salah tingkah karena tanggapan Dara dan Sergei hanya sekedarnya.

Kami terus terdiam hingga sampai ke pertigaan asrama.

"Bisa kita bicara sebentar, Serina?" pinta Sergei tiba-tiba, tepat ketika aku membuka mulut, hendak mengucapkan selamat tinggal.

"Err..."

"Kalau begitu aku duluan, Serina." Dara menyela.

Aku hendak melarangnya. Sumpah, aku sedang tidak ingin berbicara empat mata dengan Sergei saat ini. Hari sudah terlalu melelahkan bagiku, tapi Dara sudah melenggang pergi sebelum aku sempat melarang dan aku tidak ingin terlihat konyol karena memanggil-manggilnya untuk kembali. Jadi yang kulakukan hanya berdiri kaku seperti orang bego, menunggu apa yang ingin dibicarakan Sergei.

"Katakan padaku, apa ada yang salah?" Sergei bertanya penuh selidik.

Aku mengernyitkan dahi. "Aku tidak mengerti maksudmu."

"Kau langsung meninggalkan café setelah menemui Huddwake."

Aku mendelik tidak percaya. "Kau tahu? Kupikir kau sedang menyanyi."

"Ayolah, kau menjejakkan kakimu ke lantai seperti anak umur sepuluh tahun. Itu cukup menarik mataku." Sergei setengah tertawa.

Mukaku memanas. Sergei membuatku terdengar semakin konyol.

"Apa pedulimu? Kita bahkan baru berkenalan tadi pagi," sergahku kesal.

Sergei terlihat agak terkejut karena tanggapanku terhadap leluconnya. Ia mengerang sambil mengusap rambutnya yang coklat kemerahan.

"Jangan perlihatkan emosimu pada Huddwake." Sergei menekankan nada bicaranya. "Dan Martinez, oke? Aku mohon padamu tolong ingat kata-kataku."

Aku merenung menatap mata biru Sergei yang berubah serius.

"Aku hanya ingin membantumu, Serina." Sergei menepuk pundakku. "Huddwake, dia berbahaya."

Kata-kata Sergei serasa menghunjam jantungku, tiba-tiba menyebarkan sedikit rasa takut, menyebar seperti setetes tinta hitam yang jatuh ke dalam air. Perlahan namun tak dapat dihindari. Aku menelan ludah.

Sergei melepaskan tangannya. "Kembalilah ke asrama. Selamat tidur."

Ia membalikkan badan, meninggalkanku sendirian. Aku masih terdiam, menatapnya sampai hilang di balik pintu asrama putra sambil menyesali apa yang telah kukatakan padanya.

Mendadak aku merasa ingin menangisi semua kebodohanku. Aku tak akan bisa masuk asrama tanpa kartu ID. Harusnya tadi aku bisa masuk bersama Dara, tapi kami berpisah. Sekarang ia mungkin sudah tertidur pulas di ranjangnya.

Aku menatap sensor pintu asrama seperti orang bego.

"Serina?"

Aku menoleh. Martha menatapku prihatin. Mendadak Martha yang memakai tank top emas yang—dalam situasi normal—aku akan menganggapnya super norak, apalagi dengan maskara tebalnya yang membuat bulu matanya seakan memayungi matanya, ia terlihat bagai dewi penyelamat bagiku saat ini.