Martinez menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki hingga membuatku risih. Huddwake berdiri di belakang Martinez, memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket hitamnya. Aku bisa melihat kepulan uap putih yang keluar dari bibirnya. Ia menatapku dan gaun merah muda yang kubawa. Aku segera berbalik membelakangi Huddwake dan menelusuri gaun yang kupegang, membiarkan Martinez ribut dengan gaun hitam yang baru direbutnya dariku.
"Bahannya halus dan bagus." Dara berkomentar.
Aku menatap si gaun merah muda yang panjang hingga sedikit ujungnya kupikir akan menyeret lantai jika kupakai. Roknya bermodel duyung, kubayangkan pinggulku terhimpit gaun yang ketat hingga ke lutut—roknya baru melebar di bagian setelah lutut. Gaun halterneck. Aku mengira-ngira apakah akan nyaman memakai gaun ini. Memang bagus, tapi sangat mengekspos lekuk tubuh.
"Aku akan membeli ini, Dara."
"Kau tidak ingin mencobanya dulu?" tanya Dara heran.
Aku melirik Huddwake, rupanya ia juga sedang memperhatikanku dari sudut matanya.
"Tidak perlu. Aku ingin cepat pulang." Aku langsung melipir ke penjaga toko tanpa menunggu jawaban dari Dara. "Tolong bungkus gaun ini."
"Kau akan terlihat sepuluh tahun lebih tua kalau memakai itu." Huddwake menyusulku, menghampiri si penjaga toko. Ia membawa gaun hitam yang tadi direbut Martinez dariku. Aku hanya meliriknya sambil berdecak kesal.
"Benarkah kau bilang gaun merah muda itu lebih bagus untukku, Sammy?" Martinez menggelayut manja di lengan Hudddwake, menatap gaun yang kubawa.
"Yeah…" sahut Huddwake pendek.
"Berikan itu padaku, cebol. Aku akan membuat gaun itu terlihat lebih indah di pesta." Martinez tersenyum mengejek.
"Kau bilang dia apa?" Suara Dara melengking. Ia memelototi Martinez.
Dengan kesal aku segera merebut gaun hitam di tangan Huddwake dan melempar gaun merah muda yang kubawa ke muka Martinez. Martinez berteriak kesal, kelihatannya ia bermaksud untuk menarik rambutku sebelum Huddwake menahan tangannya—menjauhkannya dariku dan Dara.
Setelah membayar gaun yang kami beli, aku dan Dara segera pergi meninggalkan penjaga toko yang kelihatannya keheranan menatap kami yang hanya memakai satu lapis pakaian tipis di tengah cuaca sedingin ini.
"Bagaimana bisa Huddwake memilih orang seburuk itu menjadi ceweknya?" Dara mendengus sebal.
Aku hanya tersenyum kecut, tidak menjawab Dara. Andai ia tahu, bukan Martinez yang harusnya disalahkan—tapi Huddwake.
"Bahkan kau belum sempat melihat-lihat gaun itu." Dara melengos menatap tas belanja yang kutenteng. Aku tertawa menatap ekspresinya.
"Tenanglah, kalau tidak cocok aku akan memakai dress yang kukenakan sewaktu pesta penyambutan murid baru," jawabku enteng. "Itu akan lebih baik daripada jaket dan celana jeans bukan?"
Dara tertawa seketika. Ia menggandeng tanganku dengan riang, membuatku tetap hangat di tengah malam dengan hujan salju ini.
***
Aku menatap diriku di depan cermin.
Tak kusangka gaun sleeveless hitam yang asal kubeli kemarin terlihat sangat pas dan nyaman kupakai. Roknya pendek di atas lutut dengan model sedikit menggembung, tidak menghimpit pahaku seperti gaun merah muda yang kulempar pada Martinez. Jika kuingat-ingat, model gaun merah muda kemarin memang terlalu dewasa. Gaun hitam ini jauh lebih imut dan sesuai untukku. Sedikit keributan yang dibuat Huddwake dan Martinez di toko baju kemarin ternyata membuatku beruntung.
Aku memutuskan untuk menggelung rambut panjangku agar anting panjang yang kubeli bersama Soo Hyun tadi pagi terlihat, juga kalung pemberian Allen—aku tak pernah melepaskannya dari leher. Dara menambahkan sedikit make up sebelum kami berangkat.
Aku berjalan agak menyeret karena belum terbiasa dengan high heel. Soo Hyun yang memilihkannya untukku, tinggi haknya sekitar delapan senti. Soo Hyun bilang itu cocok untuk pemula, tetapi tetap saja aku merasa sengsara. Dara bilang high heel akan membuat kakiku terlihat lebih seksi. Aku tertawa sendirian, untuk menjadi seksi ternyata wanita harus rela menderita seperti ini dan aku merasa konyol mendapati diriku yang menuruti 'saran untuk menjadi seksi'. Yah, setidaknya aku menyukai model high heel berwarna hitam ini.
Aku bertekad mengajak Sergei berbaikan malam ini. Allen pernah bilang bahwa sesuatu itu baru terasa sangat berharga bagimu ketika kau kehilangannya dan itu benar-benar terjadi padaku.
"Oh, Tuhan…" Soo Hyun langsung memelukku ketika aku menghampirinya. "Kau terlihat jauh lebih cantik dari pesta terakhir."
Aku tersenyum. "Kau seperti sudah tiga tahun tidak melihatku."
Soo Hyun tertawa. "Kau tidak datang bersama Sergei?"
"Tidak. Aku baru akan mencarinya," kataku sambil tersenyum canggung. Aku tidak memberitahu Soo Hyun bahwa aku dan Sergei sudah lama bertengkar dan tidak bertemu.
"Oh…" Soo Hyun mengerucutkan bibir. "Kyu Jin, apa kau melihat Sergei?" Soo Hyun bertanya pada Kyu Jin yang sedang asyik mengunyah kue tart. Ada sedikit krim keju yang tersisa di bibirnya.
Kyu Jin buru-buru menelan kunyahan kuenya. "Tadi kulihat ia bersama Huddwake."
Jawaban Kyu Jin membuat satu dentuman keras di jantungku.
"Huddwake?" desisku. "Di mana?'
"Coba kau cari di sekitar kerumunan klub berita disana." Kyu Jin menunjuk ke arah kerumunan siswa yang ramai dengan kilauan cahaya blitz kamera. Aku mengerang, entah sejak kapan aku jadi merasa antipati terhadap klub si Lukas Barnhook itu.
"Oke, thanks."
Dengan langkah berat aku mendekati area yang dimaksud Kyu Jin, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aku bisa melihat Martinez yang sibuk berpose di hadapan anak buah Barnhook—dengan gaun merah mudanya. Oh, ia memang terlihat bagus. Aku tak melihat Huddwake, kupikir ia akan berfoto bareng Martinez. Apa ia masih bersama Sergei? Perasaanku makin tidak enak. Apa yang mereka berdua lakukan? Aku berusaha sedikit menenangkan hatiku. Mereka tidak akan berkelahi di tempat ramai seperti ini.
Aku melihat Huddwake berdiri menghadap salah satu meja hidangan sambil memegang segelas koktail leci dan menatapnya tanpa minat. Aku tak mendapati Sergei bersamanya. Kuseret langkah, memberanikan diri menghampiri Huddwake. Mata abu-abu Huddwake menangkapku. Ia berdiri tegak, mengenakan tuxedo hitam dengan saputangan abu-abu terselip di saku jasnya. Ia memasang senyum arogan yang seperti biasa dilakukannya.
"Biar kutebak apa yang membawamu kemari…" Huddwake meletakkan gelasnya. "Kau mencari Sergei?"
Aku mulai mengontrol energi untuk bisa merasakan gelombang energi Huddwake, berjaga-jaga jika ia mencoba untuk mengendalikan pikiranku. Aku memang belum menguasai barikade telepati, tapi aku sudah menyelesaikan tugas pertama dari Prof. Baavue.
"Apa kau belum puas mengganggunya?" Aku berdiri di sebelah Huddwake, meneguk coklat hangat yang kuambil dari meja hidangan.
Huddwake tertawa kecil. "Kenapa kau masih mempedulikannya?" Ia mengerling padaku. "Kau bahkan sudah putus dengannya."
Aku menoleh menatap Huddwake dan tertawa kecut. "Maaf?"
"Sergei bilang tadi, ia sudah putus denganmu." Huddwake merendahkan suaranya.
Aku terdiam, menatapnya tidak percaya. Aku bisa merasakan gelombang energi Huddwake.
"Apa ia memutuskanmu secara sepihak?" Huddwake memasang tampang pura-pura prihatin. Aku mundur selangkah, menjauhinya. "Keliahatannya begitu jika aku melihat reaksimu. Aku tahu, kalian hampir tiga bulan ini tidak bertemu."
"Kau mulai mirip Lukas Barnhook." Aku menanggapinya sinis.
"Apa itu salahku, Serina?" bisik Huddwake.
Aku tertawa. "Kau pikir aku bakal percaya padamu?"
Huddwake menatapku lurus. "Kali ini kau harus percaya." Ia tersenyum sinis. "Kau tahu kalau aku menyukaimu, bukan?"
Aku tercekat.