webnovel

Hari Pertama

Roxalen High memiliki tiga pasang seragam.

Kemeja putih berlengan pendek dari katun dan rok pendek abu-abu gelap berplisket tiga dengan kancing di ujung atas plisketnya untuk musim semi dan panas. Untuk musim gugur dan dingin, kemeja abu-abu muda dengan jas abu-abu tua dan rok bermodel sama. Keduanya dilengkapi dengan dasi hitam. Bros Roxalen disematkan di kerah kemeja. Kedua seragam ini hanya digunakan saat pembukaan dan penutupan tahun ajaran, saat ujian, acara resmi sekolah, dan saat menghadap kepala sekolah—jika diperlukan.

Dan satu lagi adalah seragam olahraga, simpel saja hanya kaus putih dan celana training panjang berwarna hitam. Tidak ada logo Roxalen High yang dipajang karena seragam ini jelas dipakai di lapangan olahraga di atas sana, yang termasuk 'area kamuflase' Roxalen High—yang dikenal orang luar sebagai lapangan olahraga International High of Birmingham.

Aku segera mengganti piyama dengan seragam musim panas. Saat menyematkan bros pada kerah aku teringat pada Clark. Aku akan berusaha menemukannya hari ini. Paling tidak kami sedikit berbincang, ia adalah teman pertama yang kutemui dan aku tak ingin melupakannya begitu saja.

"Ayo kita berangkat," ajak Dara sambil memasang jepit rambut di atas telinga kanannya.

"Kalian duluan saja. Aku belum membereskan maskaraku," Martha bercicit. Ia berkonsentrasi di depan cerminnya. Dara melotot.

"Bukannya tadi dia yang ribut-ribut menyuruh kita cepat bersiap?" Dara berbisik.

Aku hanya tertawa sambil mengangkat bahu. "Ayo kita duluan." Begitu aku dan Dara keluar, pintu tertutup secara otomatis.

Di sepanjang koridor dan bundaran sangat ramai, semuanya sedang bersiap-siap untuk mengikuti pembukaan tahun ajaran baru. Beberapa cewek dengan ribut berusaha menata rambut mereka di bundaran. Aku sendiri merasa konyol karena tak melakukan apapun pada rambutku, bahkan menyisirnya saja aku asal-asalan.

Aku mengelus-elus rambutku sedikit, berharap rambutku yang mencuat tidak terlihat berantakan. Dara memperhatikanku.

"Rambutmu agak berantakan, Serina." Dara mengernyit.

"Yah..."

"Pakai punyaku dulu. Kau bisa mengembalikannya di kamar nanti." Dara mengeluarkan sebuah jepit rambut kecil dari dompet kosmetiknya. Ah, dia sungguh feminin. Aku jadi merasa malu sendiri.

"Thanks, Dara." Kurendahkan kepala agar Dara bisa memasangkan jepit berbentuk tiara yang berkilau itu.

"Kau terlihat seperti putri kerajaan Inggris." Dara tersenyum puas. "Pas sekali."

"Oh, ayolah. Putri Inggris tak membawa kamera dan bolpoin saja di tas kecilnya."

Dara tertawa sambil menepuk punggungku. "Foto? Seragam ini terlihat manis."

Aku menepuk jidatku dan segera berfoto bersama Dara di bundaran. Beberapa cewek menatapi kami sambil berbisik-bisik. Dara yang merasa tidak senang segera menggamit lenganku dan menyeretku berjalan ke arah pintu asrama. Mataku terpancang pada llembaran foto yang baru saja tercetak. Aku senang kali ini hasilnya bagus, setidaknya mataku tak setengah tertutup lagi.

"Dara!"

Seorang cewek berwajah oriental menghampiri kami setiba di pintu asrama putri. Rambutnya panjang sepinggang, terlihat begitu hitam berkilau dan lurus. Sangat indah tanpa ditata ataupun diberi hiasan.

"Oh, hai Otome. Maaf membuatmu menunggu." Dara melepaskan gamitannya.

"Tak apa. Aku juga baru keluar," cewek itu berbicara dengan bahasa Jepang, mengingatkanku pada Daisuke.

"Dia pembimbingku," bisik Dara. "Aku duluan, oke?" Ia melambaikan tangan padaku kemudian bergabung dengan pembimbingnya. Otome membungkukkan badan padaku. Dengan kikuk aku membalasnya. Baru kali ini aku melakukan salam khas orang Jepang.

Sepeninggal Dara dan Otome aku berjalan sendirian menuju persimpangan tiga asrama. Aku menoleh menyebarkan pandangan untuk mencari Huddwake, tapi tak kunjung menemukannya. Badanku menjadi kaku di tengah keramaian. Semua siswa mulai bergerak menuju auditorium. Para siswa baru berjalan beriringan dengan pembimbing mereka yang memakai seragam sekolah yang sama dengan kami—namun menggunakan tag pembimbing di kemeja mereka.

Sementara aku bahkan belum menemukan pembimbingku. Bagaimana caranya aku menemukan dia? Kami tidak punya kesepakatan untuk tempat bertemu kemarin. Dan aku jelas tidak bisa masuk asrama putra untuk mencarinya.

Apa aku harus menunggunya?

Atau meninggalkannya? Tapi aku harus datang di pembukaan dengan pembimbing.

Atau dia sudah meninggalkanku?

Oh, sialan. Ah, apa aku bisa memanggilnya lewat pikiran? Bukankah dia penyadap pikiran? Err, bagaimana caranya? Aku harus berpikir 'hei, berengsek! Cepat kemari!' begitu?

Aku tertawa sendirian seperti orang gila. Kupandangi koridor menuju asrama putra, tak ada tanda-tanda kemunculan Huddwake. Aku melengos, mungkin sebaiknya aku pergi duluan ke auditorium.

"Lihat, si berengsek sudah datang."

Aku berjengit kaget, mengenali nada suara yang arogan itu. Perlahan aku menoleh untuk memastikan. Benar saja, Huddwake berjalan ke arahku dengan tampang datar. Lututku langsung terasa lemas membayangkan bahwa ia benar-benar mendengarkan isi pikiranku tadi. Tatapannya begitu dingin. Ia berjalan santai dari koridor asrama guru dan karyawan.

Huddwake tidak memakai seragam, hanya tag pembimbing yang menempel di kaus hitam berleher rendah yang dikenakannya. Celana jeans hitam bertekstur benang abu-abu gelap terlihat sangat pas di tubuhnya yang jangkung, senada dengan rambut hitam dan anting tindik peraknya. Astaga, kuakui dia memang tampan. Sempurna, kalau saja sifatnya yang buruk itu dihilangkan.

Aku menelan ludah dan berusaha tersenyum, tapi yang muncul kelihatannya hanya wajah yang meringis.

"Ayo berangkat, sudah hampir mulai." Huddwake berjalan melewatiku tanpa berhenti. Aku mendelik menyembunyikan kekesalanku. Huddwake mempercepat langkahnya, aku terpaksa agak berlari untuk menyesuaikan langkah Huddwake.

"Ehm…" aku membuka mulut.

Huddwake melirikku tanpa mengubah posisi kepalanya yang lurus ke depan. "Besok orientasi terakhir dan kau tak akan bertemu si berengsek ini lagi," kata-kata Huddwake membuatku merasa berdosa. "Besok bertemu di tempat yang tadi saja."

Aku tidak berani memandang Huddwake.

"Kau tak pakai seragam?"

"Aku bukan siswa Roxalen."

Sontak aku menoleh dan membelalak pada Huddwake. "Jadi?"

"Aku lulus tahun ajaran lalu," terang Huddwake. "Aku hanya tinggal di asrama karyawan karena kuputuskan untuk kuliah di Birmingham."

Aku mengangguk-angguk. Pantas tadi ia terlihat berjalan dari koridor asrama guru dan karyawan.

Kami melewati ruang administrasi yang terlihat sepi pekerja, kemudian memilih salah satu dari delapan lift yang ada. Lift yang seharusnya bisa diisi sepuluh orang terasa sangat sepi karena hanya ada aku dan Huddwake di dalamnya. Rasanya ingin bertanya banyak hal, tapi aku menahan diri karena teringat kata-kata Huddwake kemarin untuk mengurangi separuh omongan jika sedang bersamanya. Kami terus terdiam sampai tiba di auditorium.

Auditorium sangat ramai. Hampir semua kursi sudah ditempati, aku hampir putus asa mengira semua kursi sudah diduduki. Tapi Huddwake dengan jeli menemukan tiga buah kursi kosong di bagian tengah. Aku menghela nafas panjang begitu duduk, lega acaranya belum dimulai.

"Bodoh, tidak mungkin tak ada kursi untuk kita." Huddwake mencelaku. "Semuanya sudah diperhitungkan. Apa perlu kubilang kalau aku membantu Mr. Derrick menata auditorium kemarin?"

"Tidak," jawabku kesal.

Huddwake agak melotot sebentar. "Memang tidak."

Aku mendelik. Huddwake terlihat tersenyum simpul menahan tawa. Aku hanya melengos dan menyandarkan punggung ke kursi.

"Boleh aku duduk disini?"

Seseorang bertanya dalam bahasa Rusia, ia terengah-engah—kelihatannya terburu-buru saat menuju ke auditorium. Rasanya aku agak familiar dengan suaranya. Cowok berambut coklat kemerahan menatapku dengan mata birunya, menanti jawabanku sambil masih terengah-engah. Dengan kikuk aku mengangguk. Cowok itu segera merebahkan tubuh ke kursi. Parfumnya terbawa angin saat ia duduk, aroma teh—tepatnya chamomile.