webnovel

Revenge Mr.A

Apakah ada yang lebih menarik dari sebuah pembalasan dendam? Tidak ada. Semua kosong. Dendam, ambisi, obsesi semua hanyalah nafsu yang bisa membuat manusia terjerumus. Steve terjebak dendam masa lalu ayahnya, mati terbunuh dan menjadikan dendam itu sebagai alasannya menjadi seorang detektif demi pelampiasannya. Sanggupkah Steve mencari pembunuhnya? Atau ia hanya terjebak dalam dendam yang ia buat sendiri?

Uwie_bee · 灵异恐怖
分數不夠
18 Chs

Place (who are you?)

Pukul sepuluh malam tepat. Jane dan Steve melangkah pelan masuk kedalam tempat kejadian pembunuhan sekaligus stasiun radio yang telah ditutup satu bulan yang lalu. Ruangan itu gelap dan sempit. Ada banyak sarang laba-laba dan beberapa serangga kecil yang berkeliaran disana.

Suara napas Jane terdengar lekat di telinga Steve. Terdengar merdu namun terasa horor. Berkali-kali ia membersihkan telinganya dengan tangan sambil sesekali mendengus pelan.

"Napasmu terdengar jelas. Kau ketakutan?" tanya Steve. Jane menoleh. Tak menjawab, ia malah membuang mukanya ke arah samping. Ia mengingat lagi di lantai berapa pembunuhan itu terjadi.

"Diamlah..."

Langkah mereka terhenti tepat di sebuah ruangan bersekat di lantai dua. Ada garis polisi masih terpasang disana. Bila melihat usia lantai yang berkabut dan kotor, bisa dipastikan tidak ada siapapun yang ke tempat ini selain mereka malam ini.

"Jane, berhenti."

Jane mengikuti perintah Steve. Ia berhenti di depan sebuah ruangan di sebelah tempat kejadian. Ruang audio dan cctv lantai dua.

"Ada apa?"

"Kau curiga tidak mengapa cctv lantai dua tidak ada yang memeriksa?" tanya Steve. Jane mengerutkan dahinya. Seingatnya sudah diperiksa oleh Bee dan juga Lucas saat kejadian itu.

"Sudah diperiksa. Bukankah kau juga ikut menelitinya?" tanya Jane menyelidik. Steve menggeleng.

"Yang aku periksa adalah cctv gedung. Bee tidak memberi salinan cctv lantai dua. Ia selalu mengelak saat aku tanya, aku jadi lupa." Steve mengakui jika ia salah secara tak langsung.

"Bodoh."

"Apa kau bilang? Kau yang bodoh." Steve paling anti dimaki dengan kata bodoh. Ia tak pandang bulu akan menghardik siapa pun yang mengatainya bodoh.

"Sensitif sekali."

Steve membuka garis polisi dan mengarahkan senternya ke depan, tepatnya di meja monitor cctv yang sudah berdebu.

Steve mengusak papan monitor itu dan mengibaskannya dengan tangan. Ditiupnya debu hingga berterbangan ke seluruh ruangan. Jane terbatuk, debu ini tak bagus untuk kulitnya yang bersih.

"Ah, aku harus mandi malam ini."

"Jane, lihat. Ada sesuatu yang ditinggalkan disini. Bee bodoh, mengapa tak memeriksa papan monitor ini?" Steve masih mengusaknya. Debu halus itu menempel pada lengan pakaiannya.

Jane yang berdiri tak jauh dari Steve memilih berjalan mengitari ruangan. Ia tak menemukan apapun selain kegelapan. Steve berhasil meraih satu panel di atas papan monitor yang ia bersihkan tadi.

Ia menoleh lalu memanggil Jane dengan suara lirihnya. " Jane, kita dapat petunjuk lagi. Ayo kita pulang." Steve menarik tangan Jane dan mengajaknya keluar dari ruangan itu.

Jane yang memang sudah amat sangat risih, memilih diam saja saat tangan besar Steve menyeretnya. Namun, ia tak sadar jika langkah Steve terlalu lebar hingga meninggalkan ia sendiri.

"Steve...kau dimana? Jangan bercanda. Steve!!"

Jane berteriak hingga lorong paling ujung. Ia amati seluruh ruangan dengan senternya. Tangannya basah oleh keringat. Lampu senternya berkedip, Jane menepuknya agar menyala kembali.

'Arrgghh sial.'

Tepukan ketiga senter itu padam. Napas Jane naik turun tak karuan, dadanya sesak. Ia memejamkan mata sejenak mencari akal bagaimana caranya ia bisa pulang. Ia mengingat kembali beberapa panduan yang menuntun langkahnya agar kembali ke tempat semula. Ia melihat tangga darurat terbuka di ujung lorong. Jalan satu-satunya untuknya keluar. Jane masuk kedalam ruangan tangga darurat itu dan melangkah perlahan.

Krekk

Mata Jane awas melihat gerakan yang menyerupai siluet manusia. Ia berjalan pelan ke arah tangga darurat sambil meraba setiap pegangan kayunya.

Krekkk

Jane berhenti sejenak saat menuruni tangga kelima. Ia serasa diikuti seseorang dari belakang. Sosok itu ikut diam. Jane perlahan menoleh, hembusan napas kasar terasa di lehernya. Bau anyir menyeruak menusuk rongga penciumannya.

Tangan Jane mengepal. Senter mati itu ia remat hingga buku tangannya memerah. Ia bersiap dengan kemungkinan yang ada. Yang dibelakangnya saat ini manusia atau makhluk tak kasat mata.

Hushh

Napasnya masih terengah, makluk itu berada sangat dekat dengan leher Jane. Suara itu menggeram. Ia kemudian teringat kesaksian si penyiar radio itu.

'Aromanya busuk.'

Bruukk

Ia menyikut siluet tadi dengan tangannya tepat mengenai perutnya. Ia pun berbalik, dengan mata tertutup ia melayangkan dua pukulan telak tepat mengenai lambungnya. Dan jangan lupa, satu hantaman keras yang entah mengenai bagian mana. Jane berlari cepat, tanpa ia sadari satu kakinya masuk kedalam jeruji dekat pintu keluar. Kakinya yang terperosok ia tarik dan kembali berjalan hingga terhuyung ke depan. Ia meringis kesakitan saat menuruni tangga terakhir.

'Sshh..sakit.'

Sosok itu masih mengerang sambil memegangi kepalanya yang dihantam senter oleh Jane. Berulang kali Jane menepuk kembali senternya. Ia ingin sekali melihat rupa makhluk bodoh itu dengan matanya sendiri.

'Senter bodoh.'

Ia pun meraba coatnya, di salah satu kantungnya ada ponsel khusus yang sengaja ia bawa. Ia membuka ponselnya dan mencari aplikasi senter dan mengarahkannya ke depan. Tepat pada makhluk berwajah jelek yang pernah menyerang saksinya.

Ia ingin menghubungi Steve, sialnya tak ada sinyal di ruangan tersebut.

'Sial.'

Sosok itu turun perlahan menuruni tangga membuat Jane semakin ketakutan. Ia berlari hingga pintu keluar dan mencoba meraba pegangannya.

'Sial. Kenapa macet.'

Semakin panik, sosok itu mendekat. Wajah yang tertutup kain berongga dan mata sayu merah dengan seringaian tipis dibaliknya. Rambut yang teracak dan coat kotor itu membuat Jane yakin sosok ini yang dilihat oleh Larry.

"Kau..."

Sosok itu menyeringai lebih jelas dan memojokkan Jane di sudut dekat pintu. Sosok itu semakin dekat dan di tangannya ada sebilah pisau dapur kecil dengan ujung runcing siap ia hunuskan ke tubuh Jane.

Jane tak bisa lagi menghindar, matanya menantang sosok itu. Tangannya masih mengepal, siap dengan hantaman lebih keras lagi.

Namun saat sosok itu melihat Jane lebih jelas, ia terdiam. Ia turunkan pisau itu. Jane meliriknya, mengerutkan dahi dan bertanya dalam hati mengapa ia tak jadi membunuhnya.

"Ja...ne....." suaranya terbata mengucap nama Jane. Sekali lagi Jane mengerutkan dahinya, sosok ini mengenalnya dan ia memanggil namanya?.

"Siapa kau?"

"B..O...."

Saat sosok itu mengeja namanya, suara keras Steve terdengar lantang memanggil nama Jane dari atas tangga.

"Jane.....kau di situ?"

Sosok itu menelisik wajah Jane. Entah mengapa Jane dengan sadar menyuruh sosok itu pergi. Ia membuka pintu keluar yang tiba-tiba saja bisa terbuka. Sosok itu memandang wajah Jane sebentar. Jane menatap balik dan ada luka hati tertanam disana.

"Pergilah...."

Jane mengusir sosok itu yang sempat menoleh sejenak sebelum ia ke luar dari pintu. Jane mendorongnya hingga tubuhnya terpental keluar.

"Jane....kaukah disana?"

"Steve, aku disini. Kakiku terkilir, tak bisa jalan. Tolong aku..."

'Ishh...menyebalkan.'

"Iya, aku kesana. Tunggu."

Steve menuruni tangga hingga arah pintu keluar. Jane terlihat duduk sambil meringis kesakitan memegangi kakinya. Steve mempercepat langkahnya lalu ikut memegang kaki Jane.

"Auww..."

"Kenapa kau menghilang? Ishh...sudah kubilang jangan jalan sendiri. Untung saja aku sadar," gerutu Steve. Ia memijit pelan kaki Jane. Sepertinya terkilirnya cukup parah.

"Kapan kau bilang seperti itu? Kau menarik tanganku hingga aku hampir terjatuh lalu kau yang tiba-tiba menghilang." Jane menggertak Steve. Nyali atasannya itu menciut seketika.

"Maaf. Ayo, naik ke punggungku. Aku akan menggendongmu." Steve menurunkan punggungnya dan menepuk ringan.

"Tak usah, papah saja."

"Jangan menolak!!" bentak Steve.

"Whatever."

Steve membuka pintu darurat yang mengarah langsung ke basement gedung. Ia berjalan sambil menggendong Jane hingga ke parkiran mobil yang sedikit jauh dari gedung.

Jane menengok ke belakang. Ia mencari ke setiap sudut, takut jika sosok itu masih ada dan terlihat oleh Steve disana.

'Siapakah dia?'

****