Tidak ada yang berubah dari SMA Gemilang. Bangunan yang terdiri dari tiga gedung utama yang membentuk huruf "n" dengan lapangan upacara di tengahnya masih sama persis seperti yang ada di dalam memori ingatanku. Tidak ada renovasi, tidak ada penambahan gedung baru. Siswa-siswi mulai berdatangan melintasi pintu gerbang utama menuju tempat parkir masing-masing. Ada juga yang berjalan sambil bercanda ria dengan teman-temannya. Suasana pagi yang normal. Aku benar-benar kembali.
Aku dan Maya berjalan meninggalkan tempat parkir dan bersiap menuju ke kelas kami, kelas 2 IPA 1. Saat kami hendak melangkah di koridor, mataku tak sengaja tertuju ke arah seorang cowok tinggi yang baru saja melewati kami dengan langkahnya yang lebar-lebar. Aku langsung tahu siapa pemilik punggung tegap itu. Itu dia. Regan. Cowok top nomor satu di sekolah karena nilai-nilainya yang sangat bagus, ditambah lagi dengan prestasinya di bidang olahraga. Tak heran jika banyak siswi di sekolah ini yang menyukainya.
"Pagi, Regan!" sapaku lantang. Lebih karena terlalu bersemangat. Senyumku sendiri sudah merekah begitu melihatnya. Mulai hari ini aku akan mengulang semuanya dari awal. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti yang pernah kulakukan sebelumnya.
Anehnya, Regan yang mendengar sapaanku tidak langsung menjawabnya. Dia berbalik badan dan menatapku tajam, seperti tak senang bila aku menyapanya. Kulihat Maya di sebelahku juga menggigit bibir bawahnya dan menepuk dahinya seolah aku baru saja menyapa seorang guru killer dengan sapaan "pagi, bro!"
"Barusan kamu panggil saya apa??" tanya Regan dengan nada penuh penekanan.
"Regan..." ulangku.
"Sejak kapan junior di sini berani panggil saya dengan sebutan nama? Panggil saya Kak!" ucap Regan jutek.
Aneh. Dia bukan seperti Regan yang kukenal. "Kok responnya gitu? Biasanya kan kamu yang ngucapin selamat pagi ke aku."
Regan mengernyit. "Kapan saya pernah bilang begitu? Jangan sok akrab ya. Kelas berapa kamu?"
Baru saja aku mau menjawabnya, Maya sudah lebih dulu menengahi kami.
"Em... Kak Regan, maafin temen saya ya. Dia pikir kak Regan teman lamanya. Soalnya wajah kalian agak mirip," kata Maya beralibi, lalu memelototiku. Jelas aku menangkap niatnya yang tidak ingin kami membuat keributan di hari yang masih pagi ini.
"Oh." Regan tak berkomentar lagi. Dia kembali berbalik badan dan meninggalkan kami setelah dia menatapku sebentar.
Aku diam membisu. Apa yang terjadi? Kenapa Regan seolah tidak mengenalku? Seharusnya bukan begini. Harusnya hubungan kami yang begitu dekat tetap sama seperti waktu itu.
"Tuh kan, Na. Gue bilang juga apa. Kena damprat kan lo," ujar Maya lagi.
Aku menatap Maya gelisah. "Dia Regan kan, May? Regan Arya Winata, kan?" tanyaku memastikan.
"Iya, dia kak Regan. Kenapa sih Na lo jadi aneh gini? Lo suka sama dia?"
Tanpa menjawab pertanyaan Maya, kulangkahkan kembali kakiku menuju koridor di gedung sebelah barat, tempat kelasku berada. Aku benar-benar tidak mengerti dengan situasi ini. Kenapa di masa ini Regan tidak mengenalku padahal waktu itu kita sangat dekat sejak awal masuk SMA? Dan jika Regan tidak mengenalku, apakah Melvin juga sama? Kami bertiga berada di satu sekolah. Melvin adalah sahabat baik Regan. Meskipun aku mengenal Melvin, tapi saat itu aku tidak terlalu akrab dengannya.
Lalu kulirik Maya yang berhasil mengejarku dan mensejajarkan langkahnya denganku. Aku harus memastikan hal ini sekali lagi padanya. "Kalo Melvin gimana, May? Apa dia juga nggak kenal aku?"
Maya mengernyit bingung. "Ya kenal sih tapi lo sama kak Melvin kan emang nggak begitu deket. Fix, kayaknya lo gegar otak deh saat lo tidur semalam."
"Apaan sih," dengusku kesal.
Ternyata benar. Hanya Regan yang tidak mengenalku.
***
Kelas yang sama.
Aku benar-benar senang bisa berada di kelas ini lagi. Teman-teman yang sama. Hiasan dinding yang sama. Tempat dudukku yang sama, yaitu di samping jendela yang memperlihatkan pemandangan luar lapangan upacara. Dari sini aku bisa melihat siswa-siswi yang berseliweran di luar. Untuk sesaat aku seperti mengalami dejavu.
Kuletakkan tas selempangku di atas meja. Seperti biasa aku membuka laci mejaku seperti yang pernah kulakukan, karena biasanya aku sering mendapatkan benda-benda ajaib seperti bunga mawar baik yang asli maupun yang plastik, jepit rambut, sapu tangan, bolpoin mahal limited edition, dan lain sebagainya. Itu semua hadiah-hadiah kecil dari mereka yang katanya mengagumiku namun tidak pernah kurespon. Dan akhirnya tatapanku tertuju pada kertas putih polos dan dalam keadaan terlipat. Seperti surat tanpa amplop. Segera kuambil kertas itu.
Kutunjukkan kebingungan yang teramat sangat di raut wajahku ketika membaca isi surat itu. Surat singkat yang ditulis dengan tinta merah.
Sudah sampai ya? Selamat atas kembalinya kamu di masa yang kamu rindukan. Gunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Dapatkan kembali kebahagiaanmu. Jangan sampai menyesal lagi.
Aku menggaruk tengkukku. Siapa yang menulis surat ini? Lalu kutanya Maya yang duduk di bangku sebelahku yang hanya berjarak tiga petak keramik. "May, lo tahu nggak surat ini dari siapa?"
Maya melongok ke surat yang kutunjukkan. "Surat apa, Na? Itu kan cuma kertas kosong."
"Hah?" Kulihat sekali lagi surat itu. Tulisan merah itu masih ada di sana. "Ngaco ah, tulisannya merah gini masa nggak kelihatan?" ucapku tak memercayai perkataan Maya.
"Nggak ada, Na. Tanya aja sama yang lain kalo nggak percaya."
Lagi. Aku merasakan keanehan. Jika Maya tidak bisa membaca tulisan ini, berarti hanya aku saja yang bisa membacanya. Tapi dari siapa?
"Selamat pagi, semuanya." Tiba-tiba Pak Burhan, guru fisika sekaligus wali kelasku memasuki kelas serta membawa buku dan absensinya.
"Selamat pagi, Pak!" jawab teman-teman seluruh kelas serempak.
Kumasukkan kembali surat misterius itu ke dalam laci. Aku tidak mau ambil pusing karena akan percuma saja jika aku berpikir keras siapa pengirimnya. Aku tidak tahu sama sekali.
"Masukkan kembali buku kalian. Hari ini kita ulangan dadakan." Kata-kata pak Burhan barusan seperti listrik yang dengan cepatnya menyengat anak-anak satu kelas. Memang siapa sih yang menyukai ulangan dadakan?
"Kok nggak dikasih tahu sih Pak kalau ada ulangan pagi ini?" tanya salah satu anak cowok yang duduk di bangku pojok kanan paling belakang.
"Ya bukan ulangan dadakan namanya kalau saya kasih tahu. Ayo masukkan buku-bukunya. Saya hanya ingin melihat apa semalam kalian belajar atau tidak," kata pak Burhan lagi.
Teman-teman terpaksa memasukkan buku-buku mereka lagi. Dan, soal pun dibagikan di lembaran kertas yang sebelumnya sudah difotokopi beserta kertas lembar jawab dan kertas buram untuk coretan hitung-hitungan. Aku terpana melihat soal-soal itu. Ini soal yang sama seperti saat ulangan waktu itu. Aku yakin itu. Karena otakku sendiri rasanya masih bisa mengingat rumus-rumusnya. Ah, senangnya.
"Ingat, lembar soal jangan dicoret-coret. Tulis jawaban kalian di kertas yang sudah saya bagikan. Yang butuh kertas buram lagi, silakan ambil di meja saya."
"Baik, Pak."
Kelas kembali hening. Aku tersenyum begitu memandangi wajah-wajah temanku yang sepertinya terlihat kesulitan dalam menjawab soal. Kualihkan kembali pandanganku ke lembar soal dan mulai mengerjakaannya.
Menit demi menit berlalu. Suara pak Burhan kembali menggema, "Yang sudah selesai boleh keluar kelas, tapi jangan buat keramaian ya."
Semuanya kembali bersemangat dan berlomba-lomba menyelesaikan soal lebih dulu. Namun nyatanya hingga 30 menit berlalu belum ada satupun yang menyelesaikannya.
Aku mengembuskan napas lega. Satu kemajuan untukku yang bisa menyelesaikan ulangan fisika kurang dari 40 menit. Lalu kutolehkan kepalaku kepada Maya. Wajahnya sangat serius dan sepertinya dia mengalami sedikit kesulitan. Tapi apa daya aku tidak bisa membantunya.
"Naura, kenapa kamu lihat-lihat ke arah Maya? Mau menyontek?"
Aku kaget mendengar pertanyaan pak Burhan. Ternyata beliau memerhatikan setiap gerak-gerik muridnya. "Tidak kok, Pak. Saya sudah selesai," jawabku buru-buru sebelum pak Burhan semakin mencurigaiku.
Sontak satu kelas menghentikan aktifitas mereka dan memandangiku takjub bercampur heran.
"Psstt... serius lo udah selesai, Na? Biasanya juga sampai jam pelajaran selesai lo masih belum kelar." Kudengar bisikan Maya di sebelah. Dia juga bereaksi sama seperti yang lainnya.
Aku hanya mengangguk padanya dengan sorot mataku yang meyakinkan.
"Ya sudah sini, kumpulkan," kata pak Burhan lagi.
Aku bangkit dari posisi dudukku dan berjalan menuju ke meja pak Burhan. Selama itu tatapan mata teman-teman yang lain terus tertuju ke arahku. Sekarang aku jadi terlihat seperti buronan yang berhasil di tangkap lagi.
"Bagus. Kamu boleh keluar dan lakukan apa yang kamu mau. Jangan mengganggu, ya," ujar pak Burhan sambil terus mencermati lembar jawabanku, yang seolah tak percaya jika aku benar-benar menyelesaikannya.
"Baik, Pak," ucapku sopan.
Sebelum meninggalkan kelas, aku sempat melirik ke arah Maya serta mengedipkan mataku padanya. Maya tampak syok dan memperlihatkan kepalan tangannya padaku. Aku hanya tersenyum geli. Aku yakin Maya pasti kesal karena aku telah menggodanya.
Dan sekarang aku bingung harus melakukan apa. Sebaiknya aku ke perpustakaan saja sambil menunggu jam pelajaran fisika selesai. Tanpa membuang waktu kulangkahkan kakiku menuju lantai dua, tempat perpustakaan sekolah berada. Dan saat menapaki tangga kulihat Regan yang juga turun dengan membawa tumpukan buku di tangannya. Kami berpapasan di tangga itu.
"Kak Regan, mau kubantu?" tanyaku menawarkan bantuan.
Regan sempat berhenti sebentar. "Nggak usah. Makasih." Lalu dia melanjutkan langkahnya dan berjalan menjauh.
Kutatap punggung itu dengan perasaanku yang bercampur aduk. Aku tidak mengerti mengapa hanya Regan yang tidak mengenalku. Tapi, aku pun berharap keadaan akan berpihak padaku untuk bisa dekat lagi dengannya.
Aku, benar-benar merindukannya.