Kegaduhan yang terjadi seketika menjadi tenang saat mendengar pintu diketuk.
Seorang gadis berusia 18 tahun menampakkan dirinya dari pintu kamar yang terbuka setengah. Rambutnya yang sepunggung diikat rendah. Poni hampir menenggelamkan matanya. Kulitnya kecokelatan gelap. Tubuhnya kurus. Senyumnya sangat manis karena memperlihatkan barisan gigi yang putih bersih, juga lesung pipi yang dalam.
Nurul. Ia memakai celemek maroon.
"Bu, saya baru selesai mengkukus Red Velvet cake. Apa Ibu yang mau coba?" Nurul berbicara pada Balqis.
Balqis tidak langsung menjawab. Ia melirik jam tangannya. 20.25. Kemudian menoleh pada Zahra dan Nanda. Meminta pendapat.
"Boleh!" Nanda menyahut cepat.
"Siapa ya, yang kemarin bilang 'aduh beratku naik 2 kilo. Pokoknya aku mau diet. Enggak mau makan malam lagi. Enggak mau makan yang manis-manis'," sindir Zahra menirukan gaya bicara Nanda.
"Jie, jie." Nanda bergelayut manja di lengan Balqis. Meminta perlindungan. Mengharapkan pembelaan.
"Engga kok. Nanda enggak kelihatan gemuk," Balqis berkomentar. Nanda menjulurkan lidahnya pada Zahra.
"Bukan aku yang bilang. Dia sendiri yang bilang," tunjuk Zahra membela diri. "Makanya kalau diajak joging atau ke gym nurut, jangan malasnya aja yang diturutin," tambahnya sengit.
"Oke. Selesai acara reuni kita bertiga ke gym sama joging bareng." Nanda segera setuju.
Seperti sebelum-sebelumnya. Tapi di hari dan waktu yang sudah ditentukan, tiba-tiba Nanda menghilang. Dengan alasan ketiduran atau kelelahan karena banyaknya pekerjaan.
"Kali ini benaran, oke. Balqis?" Nanda meminta persetujuan Balqis.
Balqis terdiam berpikir sebelum menjawab. Mungkin memeriksa jadwalnya, atau kegiatan suaminya. Barang kali ia harus ikut perjalanan dinas, atau telah memiliki janji dengan orang lain.
"Oke," Balqis akhirnya mengangguk setuju.
"Bagus!" Zahra bertepuk tangan. "Tapi makannya tetap jangan kebanyakan. Ingat itu lengan sudah segede tukang tinju," goda Zahra lagi.
"Jie, jie." Nanda merajuk pada Balqis lagi. Kali ini lebih manja sampai-sampai Zahra yang melihatnya bergidik dan ingin muntah.
"Sudah, sudah." Balqis menengahi. "Jadi ini mau makan apa enggak?"
"Makan dong!" Kali ini Zahra yang dengan cepat menyahut. "Rezeki mana boleh ditolak."
Dari dulu Balqis memang selalu menjadi penengah. Selalu menjadi yang paling dewasa. Ia bak seorang kakak bagi Zahra dan Nanda.
Ketika Zahra dan Nanda berseteru karena suatu hal, Balqis-lah yang akan mendamaikan. Sifat mereka memang tidak sama, tapi mereka telah saling mengenal sejak lama. Saling memaklumi dan sama-sama terus mencoba saling memahami.
Ketiganya turun ke ruang makan ketika Nurul memotong-motong Red Velvet dan meletakkannya ke atas tiga piring kecil. Bu Ruri sedang menuangkan minuman.
Bu Ruri adalah pembantu yang sudah mengabdikan diri sejak suami Balqis berusia 5 tahun. Telah begitu lama bekerja pada keluarga suaminya. Hal itu yang membuatnya diminta tetap bekerja dan mengurus segala keperluan suaminya. Yang artinya bekerja pada Balqis juga.
Balqis belajar mengenai banyak hal mengenai kebiasaan suaminya yang belum ia ketahui. Tentang hal-hal sensitif. Tentang apa yang disuka dan yang dibenci. Bu Ruri berusia 52 tahun, dan Balqis merasa banyak terbantu dengan kehadirannya.
"Nurul, tolong ambilkan dua piring lagi. Kita makan sama-sama." Balqis berkata pada Nurul lebih seperti saudara.
"Siap, Bu!" Nurul menghormat pada Balqis dan setengah berlari masuk dapur, mengambil dua piring lagi, dan kembali.
Balqis memang selalu memperlakukan Bu Ruri dan Nurul layaknya teman dan keluarga. Mereka sering makan dan menonton televisi bersama.
Selalu diperlakukan baik, membuat Nurul tidak lagi merasa segan dan bersikap akrab pada nyonyanya. Beda dengan Bu Ruri yang selalu memberi batasan pada dirinya. Bu Ruri juga sering menegur Nurul jika mulai bersikap keterlaluan. Meski sering ditegur, Balqis tetap membelanya.
"Enak, rotinya lembut." Nanda berkomentar setelah menelan suapan pertamanya. "Tapi menurutku terlalu manis, sih."
"Engga kok. Pas kalau menurutku," Zahra ikut berkomentar. "Makyus!" tambahnya sembari mengacungkan dua jempolnya pada Nurul.
"Terlalu manis Zahra, jadi bikin cepat enek."
"Issh, apaan sih! Selera-selera gua. Bilang aja kalorinya tinggi. Jadi kalau kamu tambah satu piring lagi beratmu bakal naik dua kali lipat." Zahra terus menggoda Nanda dengan berat badan. Ia menyeringai dengan sendok yang masih menempel di mulutnya.
Zahra akan kembali menyendok potongan terakhir di piringnya. Nanda yang terus-menerus memukul tangannya membuat Zahra kesulitan menyendok. Menyendok, jatuh. Menyendok, jatuh. Sampai berulang kali. Mereka akhirnya ribut lagi.
Nurul mulai bekerja dengan Balqis sekitar dua tahun lalu. Ia tidak memiliki ijazah karena putus sekolah.
Setelah bekerja dengan Balqis selama satu tahun, Nurul dibantu untuk ikut ujian sekolah kejar paket C. Nurul sangat berterima kasih atas bantuan dan perlakuan baik nyonyanya. Juga pembelaan yang sering diterimanya ketika Bu Ruri mulai mengomeli entah karena sikapnya atau pekerjaannya yang tidak sesuai harapan.
Tiga bulan lalu, Nurul mulai mengikuti kursus membuat roti dan rutin datang di setiap hari liburnya.
Di rumah, setiap ia mempraktikkan apa yang dipelajarinya di tempat kursus, Nurul selalu meminta pendapat Balqis dan Bu Ruri. Meminta mereka mencoba dan memberi penilaian.
Kendati Nurul hanya asisten rumah tangga, ia tidak takut meminta pendapat mengenai banyak hal pada Balqis, layaknya seorang adik. Nurul juga menceritakan pengalamannya selama di tempat kursus. Bagaimana interaksi dengan teman-teman yang ada di sana, dan bagaimana sikap pengajarnya.
Selesai makan, Balqis, Zahra, dan Nanda kembali ke kamar.
Sebelum tidur, Nanda meminta waktu untuk memamerkan slide foto dan video yang telah kelar ia edit. Mereka menonton dari laptop dan meminta pendapat keduanya setelah selesai.
Zahra mengacungkan kedua jempolnya. Balqis mengangguk setuju.
"Tapi harusnya kamu perbanyak foto gua sebagai ketua panitia," ralat Zahra.
"Rugi!" Tolak Nanda mentah-mentah. Ia mematikan laptopnya. "Waktunya tidur," tambahnya segera mengambil tempat dekat dinding.
Ketiganya tidur di ranjang yang sama, satu selimut, tiga bantal, tiga guling. Zahra mengambil tempat dengan melompat ke atas ranjang. Nanda yang mulai mencoba memejamnya mata, terpental. Ia yang terusik kemudian mendesis kesal.
Balqis menyusul paling akhir. Setelah ia mengganti pakaian rumah dengan piama dan menyikat giginya. Lampu kamar dimatikan dan penerangan hanya berasal dari lampu tidur di atas meja.
Mata Balqis tidak bisa langsung terpejam. Tidak seperti kedua temannya. Tatapannya lurus pada plafon kamarnya yang luas dan tinggi. Pikirannya masih sangat aktif. Memikirkan banyak hal. Membayangkan berbagai situasi. Tubuhnya telah lelah tapi matanya tetap belum mau terpejam. Ia ingin pagi segera datang tapi akan sangat melelahkan jika harus terjaga sepanjang malam.
"Bagaimana, apa masih ada debar-debar waktu Nanda menyebut nama Aldebaran Rasyid?" Zahra yang memejamkan matanya sembari memeluk guling, berbisik. Ia mengubah posisi tidurnya menghadap ke arah Balqis.
"Namanya Rasyid Aldebaran," Balqis mengoreksi. Ia tidak menjawab, hanya melirik ke arah Zahra.
"Cuma kebalik namanya doang, bukan hatinya." Zahra membela diri sembari mencoba melucu. "Anak itu memang enggak pernah kelihatan lagi, 'kan sesudah lulus?"
"Berisik!" Nanda ikut bersuara. Ia bangun dan memaksa mengambil tempat di antara Balqis dan Zahra. "Geser, geser!" katanya seraya mendorong.
Meski tidak ingin menggeser, Zahra tetap dipaksa bergeser. Merasa kesal karena obrolannya dengan Balqis terganggu, ia hanya bisa menggeram kesal.
Padahal Zahra masih penasaran dengan perasaan Balqis. Perasaan asal-mula perasaan Balqis muncul. Penasaran alasan Balqis bisa menyukai laki-laki itu. Walau hanya cerita masa lalu, Zahra tetap tidak bisa berhenti penasaran.
"Balqis jie jie, wo ai ni ," Nanda merangkul Balqis layaknya guling. "Zahra hate you!"
"Balqis love you, Nanda love you." Tidak ingin kalah, Zahra juga merangkul Nanda dengan tangan dan kakinya seperti yang Nanda lakukan pada Balqis.
Nanda berusaha mengelak. Tapi sekali lagi, fisiknya tidak mampu menandingi kekuatan Zahra.
Dalam ruangan yang temaram, Balqis tersenyum. Namun tidak berjeda lama, senyumnya berubah hampa dan ia mulai memejamkan matanya.
Masih ada 11 jam lagi sebelum acara dimulai. Esok akan menjadi hari yang sangat sibuk. Ada banyak hal yang perlu diurus dan harus dilakukan. Untuk memastikan kelancaran semua rencananya, Balqis harus memastikan tubuhnya sehat. Pikirannya siap.
Di luar kamar, Nurul sempat mengintip sebelum merapatkan pintu. Ia lalu bersandar pada dinding, menghela nafas, dan tersenyum. Ada perasaan lega melihat nyonyanya sepanjang hari bisa tersenyum dan tertawa. Semua terasa lebih baik jika tuannya tidak ada di rumah. Nyonyanya bisa sering tersenyum dan rumah menjadi lebih ceria.
Setelah mengenal Balqis secara pribadi, Nurul menjadi sangat menghormati sekaligus menyayangi nyonyanya. Ia tahu pasti betapa baik hatinya Balqis. Betapa seharusnya nyonyanya mendapat lebih dari ini. Lebih dari tuannya.