webnovel

Nyeri Bulanan

Berada di bawah naungan pohon apel hijau yang kerap dia keruk buahnya saat persediaan apel di pondok telah menipis, tampaknya tidak benar-benar membawa ketenangan bagi Cleo. Sementara dedaunan di atas sana bergerak gembira diterpa angin sepoi, Cleo justru sebaliknya. Masih saja, pikiran gadis itu mengelana jauh hingga menembus dimensi tak kasat mata hanya untuk membayangkan penghinaan apa lagi yang akan Lucio lontarkan kepadanya setelah ini.

Cukup lama Cleo tenggelam dalam pemikiran gilanya sendiri, sampai kemudian dia mulai tergoda untuk memanjat. Pohon ini cukup besar dan batangnya jauh lebih lebar bila dibandingkan dengan pohon apel pada umumnya, kemungkinan tanah di atas pegunungan Reen telah membuat hidup para tanaman termasuk si apel berada dalam kesejahteraan.

"Cih, mengapa aku harus repot memikirkan Lucio," maki Cleo sembari meraih satu buah apel berukuran besar dari atas pohon. Cloe menyeringai begitu tangannya berhasil menggapai buah yang dia inginkan. Satu gigitan besar berhasil mengoyak sang apel saat Cleo memadukannya dengan seringaian di bibir yang terbentuk tiba-tiba. Cleo berkata, "pikiranku terlalu berharga untuk memikirkan pria itu."

Meski begitu, Cloe tidak bisa menampik bahwa belakangan ini Lucio telah berhasil mencabik hatinya dengan ucapan yang penuh bilah tajam. Ya, kali ini Lucio berhasil melumpuhkan Cloe. Gadis itu merasa tidak berdaya dan hanya ingin menumpahkan kekesalannya dengan air mata.

Cih, sejak kapan dia berubah menjadi selemah ini?!

Sial! Mengapa harus lucio yang harus membuatnya merasakan titik terendah setelah sekian lama dia membangun tembok untuk menguatkan pondasi hidupnya terhadap hinaan orang-orang.

"Akh!"

Mendadak Cleo tersentak, lamunannya buyar seketika. Tangannya bergerak cepat mencengkram bagian bawah perutnya sedang wajahnya mulai meringis. Sial! Apakah sekarang dia mengalami kram karena datang bulan? Oh yang benar saja? Bila Lucio melihat dirinya dalam keadaan lemah seperti ini, ada kemungkinan Cleo tidak akan mengizinkan kedua maniknya menangkap keberadaan pria itu. Lucio sudah pasti mengejeknya dengan rangkaian kata yang sama mematikannya dengan ramuan beracun milik Mr. Rolleen.

Menyadari bahwa dia tidak bisa mempertahankan diri untuk tetap menjaga keseimbangan di atas pohon, mau tidak mau Cleo harus merelakan bahwa beberapa detik setelahnya tubuhnya telah berderak terjatuh ke bawah lantas menghantam kerasnya tanah pegunungan.

Cloe meringis, tetapi kram perutnya jauh lebih menyakitkan dibanding ketika tubuh depannya harus mencium tanah.

"Ini tidak ... boleh ... Lucio tidak boleh melihatku dalam keadaan lemah ... dia akan merasa menang," terbata, Cloe mengucap kalimatnya dengan susah payah. Kram di perutnya benar-benar menyiksa. Ini adalah rasa sakit terlama dan mengerikan sepanjang dia mengalami datang bulan. Ini gila, pikirnya. Mengapa dia harus merasakan hal seperti ini hanya karena dia seorang perempuan.

Sial! Sial!

Cleo tidak tahan. Gadis itu terisak sembari meringkuk, mendoktrin diri untuk tetap bertahan sampai dia mampu mengatasinya, dan akan kembali ke pondok dalam keadaan baik-baik saja. Cleo tidak akan memberikan Lucio melihatnya dalam keadaan semenyedihkan ini. Tidak!

Tetapi, tidak seperti yang Cleo rencanakan, nyatanya rasa sakit akibat nyeri haid yang dia derita justru tidak mereda hingga hari mulai menggelap, sementara yang dia lakukan hanya lah meringkuk dan sesekali menendang tanah dengan kesal.

Matanya mulai bengkak, tangisnya tak kunjung redah, sementara cengkeramannya menguat seiring rasa sakit yang dia rasakan. Sungguh, Cloe tidak berpikir akan mendapati hari paling menyebalkan seperti sekarang.

***

Lucio pulang cukup terlambat dari hari biasanya. Matahari sudah nyaris terbenam saat dia berhasil menginjakkan kaki di area pondok, sedang satu-satunya pemandangan membingungkan yang dapat dia saksikan setibanya adalah raut wajah Mr. Rolleen yang tampak gelisah.

"Ada apa? Mengapa kamu terlihat seperti itu?"

Mr. Rolleen berbalik cepat lalu mendekati Lucio. "Oh, Lucio, aku pikir aku baru saja tertipu oleh Cloe."

Kening Lucio bertaut, sama sekali tidak mengerti. "Jelaskan lebih rinci," perintahnya sedikit mendesak.

"Siang tadi Cloe meminta izin untuk mengelilingi area pegunungan karena merasa suntuk. Aku pikir dia tidak akan kabur karena belakangan dia sudah tampak menjadi gadis baik dan penurut. Tetapi sekali lagi kita tidak bisa melepas pengawasan dari gadis itu." Mr. Rolleen terduduk sembari memijat pelipisnya dengan wajah muram. "Oh, seharusnya aku tidak percaya dengan kelicikan gadis nakal itu. Dia pasti sudah melarikan diri."

Nyatanya, api amarah semakin tersulut di benak Lucio sesaat setelah mendengar penjelasan Mr. Rolleen. Sembari menyorot pepohonan di sekitar pondok, Lucio mengeraskan rahang dengan raut dingin.

"Tenang saja, akan aku pastikan untuk menyeretnya pulang." Lucio mendesis, "sepertinya gadis itu perlu diberi pelajaran karena telah membuatmu khawatir."

Mr. Rolleen terbelalak. "Lucio, tolong jangan terlalu keras, dia—"

"Serahkan saja padaku," potong Lucio sembari melangkah menjauh memasuki hutan pegunungan.

Di samping itu, Mr. Rolleen kontan menepuk jidat dengan raut bersalah. "Oh, tidak, apa aku baru saja melakukan kesalahan?"

***

Cleo sudah nyaris kehilangan kesadaran mengingat betapa lamanya dia bertahan menahan rasa nyeri di perut. Cleo mulai skeptis bahwa rasa sakit yang dia rasakan adalah kram haid mengingat kasusnya terlalu lama dan menyakitkan. Oh sial! Mungkinkah dia telah dimantrai oleh orang lain?

Dan di antara sisa kesadaran dan pertahanan dirinya, mendadak Cloe ditarik kembali ke dunia nyata begitu mendengar bentakan keras yang tidak asing terdengar dari arah depan. Arahnya sama saat Cleo datang dari pondok menuju ke tempat ini.

Tidak salah lagi, itu Lucio! Tamatlah Cleo!

"CLEO!!" Cleo bisa merasakan ketika kedua lengannya ditarik untuk dibangunkan dengan paksa, sementara tidak berselang lama setelahnya beberapa bentakan beruntun yang membuat nyalinya menciut, memaksa Cleo menunduk sembari menahan tangis, "GADIS BODOH!! APA KAMU SADAR APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN, HAH!! TINGKAH KEKANAKANMU TELAH MEMBUAT MR. ROLLEEN KHAWATIR DAN SEKARANG YANG KAMU LAKUKAN HANYA TIDUR!! BANGUN!!"

Tetapi Cloe tidak kunjung mengangkat wajah. Sungguh, dia terlalu takut menjumpai kemarahan Lucio. Ya, harus Cloe akui bahwa kemungkinan saat ini Lucio dan Mr. Rolleen sedang salah pengertian. Mereka tentu berpikir bahwa Cloe sedang mempermainkan Mr. Rolleen dan membuat pria tua itu khawatir sementara dirinya menikmati itu dengan tertidur.

Namun, Cloe bahkan tidak punya kekuatan untuk menjelaskan betapa dirinya sedang berjuang seorang diri. Nyeri di perutnya tak kunjung mereda dan itu tampak tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

"BANGUN!"

Kali ini Lucio mengguncang tubuh Cleo. Tetapi begitu mendapati gadis itu tak kunjung merespon, Lucio benar-benar tersulut amarah. Tanpa peringatan dia melepaskan cengkeramannya lantas membiarkan tubuh Cleo kembali menghantam kerasnya tanah.

Nyatanya, di detik ketiga setelah menyadari ada yang salah dengan gadis itu, Lucio sudah terbelalak lantas berjongkok untuk membalik tubuh mungil Cloe.

"Cleo—" Lucio tercekat. Maniknya melebar, sedang tangannya gemetar tatkala menyaksikan bagaimana pucatnya wajah gadis itu sementara derai air mata membekas nyata di kedua pipinya. Meraih tubuh Cleo dengan raut syok, Lucio tidak memikirkan apapun selain membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Cleo, apa yang terjadi padamu? Mengapa kamu tidak mengatakan apapun?" Suara Lucio mulai terdengar frustasi.

Cleo masih terdiam.

Dan di detik berikutnya, tangis Cleo pecah dan dia meraung sembari mencakar serta memukuli pundak Lucio. "Pria jahat! Berhentilah berteriak kepadaku!"

Lucio memejamkan mata, membiarkan ketika Cloe melepas lava panasnya dan menyerang tubuhnya membabi buta.

Dia pantas mendapatkannya.

"Maaf." Lucio mengeratkan pelukannya, dia mendekap pinggang mungil Cloe seolah mengikat gadis untuk tidak beranjak dari sisinya. "Kita pulang," gumamnya kemudian.