"Kyaa ... Bagaimana bisa dia setampan ini?!"
"Ya ampun, Jun, menikahlah denganku!"
"Oho, Soho juga tampan sekali!"
"Sepertinya dia bertambah kurus. Astaga, orang kurang ajar macam apa yang membuatmu sedih, Soho?! Katakan padaku biar kubuat dia menderita!"
"Orang-orang sialan itu pasti memaksa Soho untuk diet! Uh, dasar gila! #SaveSoho!"
Suara ketikan keyboard yang cukup keras menggema di ruangan seluas lima kali tujuh meter. Seorang perempuan dengan pakaian piyama pendek berwarna hitam dengan konsep rambut di cepol ke atas tanpa menyisakan satu helai pun di bawah tampak sibuk mengetik.
Matanya dengan awas menatap layar dan sibuk bergumam membaca komentar di salah satu forum diskusi online. Dia sangat sibuk hingga tak sadar jika seseorang memasuki kamar tidurnya.
Seseorang yang baru saja tiba dan tak lain adalah teman satu apartemennya itu berdecak pelan melihat kondisi Mia yang menyeramkan. "Ya ampun, Mia! Apa kau lagi-lagi begadang untuk memantau komen bocah-bocah itu lagi dan membalasnya? Apa kau tidak ada pekerjaan lain selain semua ini, hah?" hardiknya geram.
Dia sangat kesal sebab Mia yang merupakan kawannya ini sibuk mendekam dalam kamar dan jarang tidur.
Mia yang disebut tampak tidak peduli. Dia masih awas melihat layar komputer.
"Hei, dengarkan aku bicara!" sentak Blair sambil mematikan layar komputer Mia. "Dengarkan dengan benar ketika ada orang lain yang bicara!"
Mia memutar kursinya yang memiliki roda dan menatap Blair dengan tatapan malas. "Aku tidak memintamu bicara padaku. Kenapa kau terus mengajakku mengobrol?" tanyanya dengan sinis.
Blair mengepalkan tangannya. Dia nyaris saja melayangkan tinjunya pada Blair dan menepuk-nepuk pelan pipi gadis itu.
"Masalah itu sudah selesai. Sudah lebih dari tiga hari kau tidak masuk kuliah. Apa kau benar-benar ingin di drop out dari universitas?"
Mia menepis tangan Blair dan menyalakan komputernya lagi. "Aku sudah mengambil cuti selama satu semester ke depan," balasnya santai. "Jadi, mulai dari sekarang kau tidak perlu menyeretku untuk pergi ke universitas lagi."
Blair menganga. Dia memijit kepalanya dan menatap Mia yang sudah kembali bersemangat menggulir laman web di layar komputer. Sial, anak ini benar-benar serius akan mengurung diri di kamar selama enam bulan ke depan.
"Kau tahu? Aku benci karena mengenalkanmu pada FCZX. Jika aku tahu mereka akan membawa dampak buruk seperti ini padamu, seharusnya dari awal aku menjadi haters mereka saja."
Setelah berucap demikian, Blair melangkah pergi dari kamar itu. Mia sempat meliriknya. Dia menatap layar komputer di depannya dan menghela napas panjang.
Tidak, Blair salah. Mengenal FCZX bukanlah perkara yang buruk. Mereka mengenalkan padanya apa artinya mencintai diri sendiri. Secara perlahan, dirinya pun bisa lebih menghargai dirinya yang sering terluka ini. Dia selalu berusaha mengutamakan dirinya yang sebelumnya bahkan tak pernah dia pikirkan sedikit pun.
Alasan mengapa Mia mengambil cuti, mengabaikan teman-temannya, dan berusaha mengurung diri bukan hanya karena skandal yang melibatkan dirinya tetapi juga sebab keadaan keluarganya yang kacau.
Mia sangat terpukul saat mengetahui kebenaran jika dia bukanlah anak kandung orang tuanya, dia hanyalah anak yang di ambil dari jalanan. Itu menyakitinya dan membuatnya sangat terluka.
Sulit untuk dia menerima kebenaran itu.
Apalagi Mia juga harus melihat mereka berdua bertengkar karena dirinya. Ya, ayahnya ingin mempertahankan pendidikannya namun, ibunya berusaha menolak. Dia ingin berhenti mengurusnya dan mengutamakan Gwen, saudarinya yang akan segera masuk universitas yang sama seperti tempatnya berada.
Mia bukan dari keluarga yang memiliki banyak harta. Dia berasal dari keluarga menengah dengan ayahnya yang sebagai pegawai negeri dengan gaji seadanya.
Menghidupi tiga keluarga dengan mengandalkan gajinya saja tidaklah cukup. Seringkali ayahnya akan melakukan pekerjaan lain untuk menambah penghasilan. Mia selalu sedih melihat ayahnya yang mengeluh sakit pinggang di saat malam tiba.
Mia menyandarkan punggungnya di kursi dan mengangkat kakinya. Dia memeluk kedua lututnya dan membenamkan dirinya di antara lipatan. Ini membuatnya lelah.
Ah!
Mia segera melirik jam dinding di atasnya dan tersenyum lebar. "Saatnya untuk berperang!" ujarnya dengan riang.
Ya, dia akan bertarung memperebutkan tiket konser boy band favoritnya. Bukankah dia tidak punya uang? Kenapa juga dia datang ke konser?
Tidak. Mia memang tidak punya uang untuk membayar kuliahnya tetapi dia punya uang untuk membeli tiket konser. Kenapa dia tidak mengutamakan kepentingan pendidikannya? Apa dia tidak kasihan dengan keadaan keuangan keluarga yang kurang itu?
Jadi, apa dia tidak boleh bersenang-senang dan membiarkan dirinya terus menderita dan tertekan? Tidak mungkin! Lagipula Mia sudah menabung selama lebih dari tiga tahun belakangan untuk menantikan kedatangan mereka ke negaranya.
Dia sudah sering mengorbankan uang tabungannya untuk membantu kebutuhan keluarga. Jadi, dia boleh sedikit egois untuk kali ini bukan? Dia juga tidak tahu apakah dia bisa datang ke konser di masa depan atau tidak. Tolong jangan menghakiminya!
"Yosshh, Jun! Bersiaplah! Aku akan segera bertemu denganmu!" ujar Mia bersemangat.
Dia mulai me-refrein web yang ada di layar komputernya dan mengawasi jaringan internet, detik jam, dan juga jumlah angka tiket yang masih utuh untuk saat ini. "Aku harus mendapatkan set bagian depan! Harus!" ucap gadis itu penuh tekad.
"Satu, dua, tiga!" lirihnya menghitung detik hitung mundur sebelum pembelian tiket dimulai.
Ctak.
Suara yang cukup keras terdengar dari luar. Wajah Mia seketika pucat. "APA?!! TIDAK-TIDAK! OH SHIT! APA YANG SUDAH TERJADI, HAH? KENAPA LISTRIK MATI? KENAPA LAYAR GELAP?! HEI! ORANG BERENGSEK MANA YANG MENGACAUKAN PERANGKU, HAH?!!!" teriak gadis itu kelabakan. Dia memegang monitor komputernya, berputar memeriksa cpu, kemudian ganti mengecek perangkat mouse yang tadi dia pegang. "SHIT! SHIT! BERENGSEK! APA YANG TERJADI?! KENAPA AKU HARUS MENGALAMI NASIB SIAL SEPERTI INI?! HEI BLAIR!! APA YANG KAU LAKUKAN DI LUAR SANA?!"
Mia bersiap untuk pergi menemui Blair diluar sebelum tiket di set kedua dan ketiga benar-benar habis namun nahas, kakinya menyangkut sebuah kabel yang entah datang dari mana. Mia menatap kakinya yang terbelit dan mendelik. "Ah, sial! Benar-benar tidak berguna! Ada apa dengan hari ini? Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini di saat genting? Apa kesialan ini tidak bisa ditunda dulu, hah?!" omel Mia jengkel.
Mia menatap layar komputer yang menyala dan terkejut ketika merasakan sakit yang luar biasa di bagian kaki yang terbelit. Kepalanya juga perlahan merasa nyeri. Otot-otot di tubuhnya seperti kehilangan tenaga dan membuatnya terjatuh ke lantai. Pandangan matanya mulai meredup seperti kehilangan fungsinya secara mendadak.
'Akh, jika tahu aku akan bernasib seperti ini lebih baik aku mengurungkan diri bertemu Jun dan memberikan uang itu pada ayah. Oh ... Jadi, seperti ini ya rasanya diujung kematian. Aku mengingat semua memori yang tersimpan di masa lalu. Berengsek, sampai mati pun akhirnya aku tak bisa bertemu denganmu Hejun, my love.'
Dan, kegelapan menelan seluruh kesadarannya secara sempurna.
Sementara itu di tengah hutan belantara. Di kegelapan malam yang berselimut salju lebat. Diantara pepohonan rindang yang membeku, tampak seorang pria baru saja selesai menancapkan pedang besarnya di atas tubuh seekor beruang besar. Sebuah cahaya berwarna merah tampak mengalir menuju mata pedang yang dia genggam.
Dia mengangkat wajahnya yang berselimut darah dari beruang tadi dan menutup matanya, membiarkan udara dingin menerpa kulit wajahnya. Pria itu membuka matanya kemudian mengernyit dan spontan menyentuh dada kirinya yang berdenyut nyeri sembari meringis. Jantungnya berdegup kencang dengan ritma tak biasa.
"Yang Mulia Kayden, Lady Ashley sudah bangun."
Pria itu kembali mendongak. Dia menatap rembulan yang bersinar terang dan mengerjap tak percaya. Penyihir itu benar. Gadis itu kembali hidup dengan membawa jiwa yang berbeda.
"Kita akan menjemputnya. Siapkan kuda milikku!"
Pria yang melapor tadi membungkuk kemudian berbalik pergi. Kayden Frederick, pria tadi menghela napas panjang dan tersenyum samar. Dia merasa senang sekaligus lega. Akhirnya dia menemukan jalan keluar. Dia bisa keluar dari kutukan sialan ini. "Ashley…," lirihnya pelan.