webnovel

Raksa Mahawira

Raksa Mahawira kecil ingin menjadi orang besar dimasa depan. Menjadi santri adalah yang terpikir dibenaknya. Namun hal itu pula yang menjauhkan Aksa dari orang-orang terdekat--khususnya kedua orang tuanya. Ia tidak masalah dengan itu begitupun kedua orang tuanya. Bertahun-tahun ia menjadi santri, menyadari secara perlahan ada yang berbeda dari kedua orang tuanya. Ia benar-benar merasakan kejanggalan. Aksa menjalani hari-hari dengan gelisah semakin menumpuk kian hari. Apakah ia bisa menyadari apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Aksa mampu mengendalikan pikirannya sementara hatinya benar-benar risau?

Ade_Mawaddah · 现实
分數不夠
6 Chs

Seperti Kisah Seribu Satu Malam

Tengah hari yang terik adalah waktu untuk ishoma (istirahat, sholat, dan makan) Haidar memimpin berjalan di depan diikuti Aksa di belakangnya. di tengah perjalanan menuju asrama mereka berdua bertemu Agam.

"Ibnu Batutah ketua kamarnya siapa Gam?" Aksa membuka pertanyaan.

"Hm... siapa ya?" Haidar menoleh ke belakang, bermaksud Aksa yang menjawab.

"Emang kenapa nanyain itu?" Aksa mengerutkan kening.

"Cie salah tingkah, masa kamu nggak tau sih Sa?" Haidar nyeletuk, disambut gelengan dari Aksa.

"Ketuanya ya orang sebelah kamu itu."

"Wih Pak Ketua Agam ternyata, pantes. Nggak usah salah tingakh gitu dong pak," Aksa tertawa menggoda temannya itu.

"Halah kamu juga sama Sa, cuma jabatan kamu setingkat lebih rendah aja."

Mendengar ucapan Haidar membuat Aksa menghentikan tawanya dan mengundang antusias Agam yang langsung memukul-mukul lengan Aksa heboh.

"Apa sih Gam, woi sakit!"

"Dasar nggak tau diri kamu Sa," kata Agam sambil mengacak-ngacak rambut Aksa.

Aksa hanya mengusap lengannya yang terasa panas. Bagaima tidak? Agam memiliki perawakan tinggi besar cenderung bongsor, berbeda dengan Re 'si bule nyasar' yang tinggi menjulang.

Agam masih asyik mengacak-acak rambut Aksa yang sudah terlihat risih, tak sengaja saling bertubrukan bahu dengan santri lain—terlihat masih baru seperti mereka.

"Aduh!" serunya refleks memegang bahu, saat ia melihat sosok yang ia tabrak tadi adalah Agam, ia memasang wajah takut dan gugup seketika, "eh, maaf mas nggak sengaja. "i-ini salah mata saya nggak pake k-kacamata. Sekali lagi maaf mas."

"Eh tunggu--" anak itu kabur secepat angin, yang menyisakan keheningan diantara mereka.

Haidar dan Aksa terbengong-bengong melihat kejadian itu dan menyemburkan tawanya seketika. Haidar sudah terlihat lebih manusiawi karena terhilang dari kantuknya menepuk-nepuk pundak kawannya itu.

"Gapapa, cup cup. Bawaan kamu udah gini mau gimana lagi, Gam?" ucapnya dengan tawa yang masih tersisa.

"Iya Gam, gausah dipikirin lah. Tapi coba wajah kamu relaks gitu, anak tadi mungkin mikirnya muka kamu itu tegang dan kelihatan marah. Plusnya badan kamu yang gede ini kesannya kayak uda santri senior gitu."

Agam mendesah mendengar teman-temannya yang berusaha menghibur, sebenarnya Agam tidaklah gemuk. Mungkin, jika melatih otot-ototnya dengan baik tubuhnya mungkin terlihat sangat atletis.

Antrean panjang tiap kamar untuk mendapat makan siang semakin memanjang, setidaknya Haidar dan Aksa berada di tengah yang patut disyukuri. Mengingat kemarin-kemarin mereka mendapat antrian belakang dan tertinggal jamaa'ah dzuhur yang berimbas mereka memakan bawang putih sebagi ta'dzir[1]. Mengingat itu mereka mendadak mual dan menggeleng-gelengkan kepala serentak.

"Aksa tempenya nggak ada rasa," Haidar mengeluh sementara Aksa mengambil sesuatu di sudut atap almarinya.

"Nih, kecap."

"eh, syukron. Jangan lupa hari ini waktunya B. Arab Sa, nanti kalau Sie Kebahasaan denger ta'dzir lagi nanti."

"Na'am, yaa akhii" keduanya tertawa, beberapa saat kemudian Re muncul, penampilannya terlihat payah.

"Mamam dulu Re, sini sini" Haidar menggeser posisi duduknya supaya Re bisa bersandar.

"Pelajaran apa kok telat banget?"

"Biologi, praktik bawang merah" ia lekas berdiri dan langsung mengambil makanan karena sudah tidak ada antrian panjang, sementara santi lain sudah siap-siap salat.

"Praktik bawang kenapa ngos-ngosan gitu?" Aksa bertanya heran.

"Ya ngos-ngosan lah Sa, orang dari lantai dua sampek sini lari" Re menjawab seolah itu bukan hal yang perlu ditanyakan. Haidar menepuk dahi pelan, sementara Aksa hanya mendengus menyesal telah bertanya.

"Re, nanti kamu salatnya telat dong?" Haidar bertanya.

"Nggak lah," jawabnya enteng.

"Kok nggak?" kali ini Aksa heran.

"Kita jama'ah sendiri sekelas."

"Yaelah bilang dong Bambank!" Haidar mendengus sebal. "ayo Sa, jadi telat ngeladenin bule nyasar itu," serunya bersungut-sungut sambil menarik Aksa. Semantara Aksa melihat Re tertawa puas.

Saat ini di ruang kelas 7 B yakni kelas Agam, mereka berempat—Aksa, Haidar, Agam, dan Re menghabiskan waktunya untuk belajar. Rencana awal memang belajar, dan seharusnya saat ini mereka memang belajar. Tapi, lihat ruang kelas ini...Ya ampun bahkan tatanan meja dan kursi sudah berserakan tidak semestinya karena keempat bocah yang beranjak remaja itu sengaja menyingkarkannya supaya merebahkan diri di lantai yang dingin. Sambil menceritakan apa yang telah dilewati hari ini.

"Guys!" Re sepertinya ingin mengawali kisahnya.

"What?" jawab mereka kompak.

"Hmm, ini full Indonesian aja yah. Mumpung nggak ada Sie kebahasaan hehe," ujarnya sambil nyengir disertai tanda 'piece'. Sie Kebahasaan adalah anggota osis yang mengatur kebahasaan di dalam pondok. Mereka akan mencatat siapa saja yang ketahuan melanggar bahasa.

"Kenapa Re?" Aksa terlihat ingin tahu.

Kini teman-temannya sudah memandangnya dengan serius.

"Kalian tahu nggak, pohon mangga dekat jemuran itu?" Ketiganya memangguk.

"Waktu aku habis dari kamar mandi nih ya, mau bobok kan. Aku tengok ke atas ada gerak-gerak warna putih," Re menceritakan dengan ekspresi yang baik. Ia lihat temannya satu persatu mulai terhanyut dalam cerita yang ia buat. Saat ia akan melanjutkan, pintu terbuka dengan tiba-tiba...

Brak!

Menuai keterkejutan keempatnya namun tak lama sorakan terdengar.

"Woahhh, kampret Nazril. Salam kek apa kek," Haidar melemparkan remasan kertas kepada Nazril yang langsung sigap ditangkap olehnya. Ia semula tak tahu apa-apa akhirnya mengerti dan hanya tertawa.

"Re terus Re," Agam bertanya tak sabar.

"Nggak jadi," balas Re santai.

"Re, kamu ngambek? Maaaf deh," Nazril jadi tidak enak sendiri.

"Nggaklah, aku cuma mau ngerjain mereka aja. Cuma kamu datang pas klimaks ya nggak jadi deh."

Aksa menoyor kepala Re pelan. Nazril teringat sesuatu kemudian berseru, "Kalian mau denger nggak, aku mau cerita tapi ini pengalaman dari Ari."

"Ari siapa?" Aksa bertanya.

"Anak Sie Keamanan nggak," Agam menjawab, ia tahu karena Ari adalah rekan sejabatannya.

"Jadi ceritanya, Ari ini ngantar teman sekamarnya yang sakit ke kamar mandi bawah. Ari ini ya nggak ada firasat apa-apa, dia ngantar aja. Mereka berdua nggak ada yang bicara. Terus Ari nunggu sambil duduk di anak tangga. Nah ketemu lagi sama temannya yang sekamar sama mereka," Nazril mengambil jeda. "ditanyain tuh, 'ngapain Ri?' dijawab sama dia, 'ngantar si A ke kamar mandi, tapi udah dari tadi belum keluar-keluar'," Nazril memasang wajah dramatis membuat para pendengar merinding seketika.

"Tahu jawabannya teman Ari ini?, 'Ri si A ini udah pulang dari tadi pagi. Kamu nggak tahu', gitu?"

"Wahhh gila!" Haidar berseru heboh sedikit mencairkan ketegangan.

"Duh merinding sumpah!" Re menggosok-nggosok lenganannya yang terbuka karena ia melepas kemejanya dan hanya menggunakan kaos tanpa lengan.

"Habis kejadian itu Ari langsung sakit?" Agam bertanya.

"Iya, kok tahu Gam?" balas Nazril.

"Soalnya kemarin dia sama aku seharusnya jaga gerbang depan, ada yang bilang di sakit. Ternyata gara-gara itu."

"Berarti kejadiannya fresh from the oven dong?" Haidar melotot ngeri, kemudian mendapat toyoran dari Aksa. "Jangan berisik."

[1] hukuman