webnovel

Raksa Mahawira

Raksa Mahawira kecil ingin menjadi orang besar dimasa depan. Menjadi santri adalah yang terpikir dibenaknya. Namun hal itu pula yang menjauhkan Aksa dari orang-orang terdekat--khususnya kedua orang tuanya. Ia tidak masalah dengan itu begitupun kedua orang tuanya. Bertahun-tahun ia menjadi santri, menyadari secara perlahan ada yang berbeda dari kedua orang tuanya. Ia benar-benar merasakan kejanggalan. Aksa menjalani hari-hari dengan gelisah semakin menumpuk kian hari. Apakah ia bisa menyadari apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Aksa mampu mengendalikan pikirannya sementara hatinya benar-benar risau?

Ade_Mawaddah · 现实
分數不夠
6 Chs

Pertikaian

Waktu terasa begitu cepat tiba-tiba saja wirid selepas salat usai, sebentar saja salat ba'diyah selepas itu santri membubarkan diri secara perlahan. Sebagian dari mereka langsung menuju kamar masing-masing, ada yang masih berdoa khusyuk, ada yang berbaring didinginnya lantai, ada yang mengaji Al-quran, ada pula yang ngobrol ngalor ngidul bersama teman sejawatnya yang lama tak jumpa selepas liburan.

"Kita menunggu di sini apa gimana teman-teman?" Agam pertama kali membuka obrolan.

"Kita menghadap Ustad Azam langsung, beliau masih di depan—tempat imam." Aksa berdiri diikuti oleh yang lain—raut wajahnya terlihat serius.

Mereka duduk berjejer di belakang punggung Ustad Azam, walaupun telah menyadari para pembuat onar tengah menunggunya, ia tetap melanjutkan zikirnya yang belum tuntas. Hingga ia berbalik dan mengamati wajah-wajah itu.

"Tahu, kenapa kalian saya panggil?" ucapnya tanpa penekanan tiap kata, namun ada ketegasan di sana. Kenapa pula atmosfirnya terasa berbeda? seolah-olah Ustad Azam menciptakan dinding yang memisahkan mereka dengan dunia luar.

"Tahu ustad," jawabnya serempak.

Ustad Azam memerhatikan lamat-lamat empat santri di depannya. Kemudian ia berujar "kalian masih SMP?" keempatnya membenarkan. "santri baru semua?" lagi mereka membenarkan. "kamu yang paling tinggi juga sama?" lanjutnya bertanya pada Re yang terlihat menonjol dari segi fisik.

"Iya, ustad," jawabnya sopan. Merasa diperhatikan Re memberanikan diri untuk menatap Ustad Azam.

"Kamu blesteran?" tanyanya sedikit penasaran. Setelah diiyakan oleh Re, Ustad Azam bertanya nama satu persatu dari mereka. Kemudian untuk hukuman beliau menyuruh untuk mengaji 1 juz kemudian dilanjutkan dengan lari tiga kali putaran keliling lapangan. Mereka mengaduh dalam diam, tentu saja. bagaimanapun lapangan yang dimaksud sama sekali tidak kecil.

"Oh ya, untuk kamu cukup dua putaran saja," tuturnya sambil menatap Agam, yang langsung disambut binar matanya dan tak lupa ucapan terimakasih. Selepas itu Ustad Azam pamit untuk pergi ke ndalem[1].

Keempatnya meminjam Al-quran di masjid kemudian mengaji di teras dengan suara pelan. Beberapa santri bertanya penasaran, mereka hanya menjawab ala kadarnya. Mereka hanya terus mengaji, hingga Aksa menutup musafnya, berdiri kemudian mengembalikannya ke tempat semula. Diikuti oleh Agam, Haidar, dan yang terakhir Re.

Di tengah putaran kedua, Haidar tak sengaja menyenggol bahu Aksa. Haidar tertawa dan berkata 'maaf' sambil berlalu.

"Kamu pikir ini menyenangkan ya? kita bahkan belum 24 jam di sini dan sudah buat masalah!" Mendengar itu Haidar berhenti dan menoleh ke belakang. Begitu pula dengan Agam dan Re yang menghentikan larinya, mengerutkan kening.

"Apa?" ia bertanya seolah tak percaya dengan apa yang didengar. Aksa menatap tajam Haidar, seolah tak terpengaruh dengan tatapannya Haidar kembali bertanya, "apa maksudmu?"

Re mengerti situasinya mulai tidak kondusif, ia berjalan lebih dekat dan saat akan menenangkan keduanya terlambat lantaran Aksa mendahuluinya.

"Aku tahu kau memang suka bercanda tapi apa tidak bisa melihat waktu dan tempat yang pas?" ia mengambil nafas dan melanjutkan "kupikir kita terlalu dini untuk berbuat masalah."

"Baik aku minta maaf karena aku suka bercanda dan main-main," ia menatap lurus kepada lawan bicaranya "lalu apa maksudmu kita harus menjadi senior dulu baru bisa berbuat seenaknya? Lagipula kenapa hnaya menyalahkanku?" tanyanya melempar balik ucapan Aksa.

"Kau ingin aku meyalahkan siapa? Re yang bahkan hanya menonton? Agam karena telah bertanya? Atau aku yang bahkan ingin berkata tapi sudah kau dahului?" cecar Aksa. Terlihat keduanya memang tidak ada yang ingin mengalah.

Agam yang sejak tadi hanya diam tak ingin menjadi penonton saja, ia lantas memegang kedua pundak laki-laki yang tengah berseteru dan berkata "Aksa, Haidar! Ini sudah malam. Setidaknya simpan energi kalian untuk besok karena kegiatan sudah efektif," Ia perlahan berbalik dan menambahkan "aku duluan." Refleks ketiganya pun mengekor.

"Selesaikan dulu hukuman kalian," ujarnya sambil tertawa kecil, "oh ya, Re awasi mereka berdua ya!" Pesannya sebelum benar-benar pergi.

Aksa hanya mendengus sementara Haidar membuang muka. Re menghela nafas lelah semoga tidak lebih buruk daripada ini. Mereka melanjutkan berlari untuk putaran terakhirnya, Haidar memimpin diikuti oleh Aksa kemudian Re. Aksa tiba-tiba teringat kasur lantainya yang masih baru terbayang dipikirannya, menginginkan segera tidur. Ia menambah kecepatan larinya hingga sedikit lebih unggul daripada Haidar. Tak ingin kalah dari Aksa ia berusaha lari lebih cepat dan berhasil unggul, untuk sementara. Karena Aksa secara spontan tak membiarkan itu terjadi. Haidar lebih keras berlari begitupula Aksa yang juga keras kepala. Begitulah pada akhirnya mereka terus berlari tanpa peduli sudah berapa kali putaran, Re! rupanya hanya menonton sambil bertopang dagu. Sepertinya sudah cukup ia menjadi penonton. huft! Melihat orang bertengkar rasanya melelahkan.

"Hoi! kalian mau lari berapa putaran lagi? 5 kali masih kurang?" ia bangkit dan bergerak mendekati dua lelaki itu.

"HAH?! kenapa nggak bilang dari tadi?!" Re hanya tergelak, ia memasang ekspresi yang menyebalkan bagi Aksa maupun Haidar. lucu! biarpun masih mode senggol bacok mereka masih bisa kompak rupanya. Sepanjang perjalan menuju kamar, dua laki-laki yang masih panas terus menggerutu dan menyumpahi Re.

Ketiganya berjalan santai menuju kamar untuk segera merebahkan badan. Cukup melelahkan juga olahraga malam tanpa rencana ini. Re berada di tengah sebagai antisipasi keributan susulan, ia melirik keduanya. Saat ini hanya ada keheningan yang mengisi. Prediksi cuaca kali ini sepertinya benar-benar meleset. Setidaknya, Aksa tidak terlalu khawatir berlebihan merindukan orang tuanya. Bukannya tidak ingin terbayang wajah orang tuanya, tapi untuk saat ini terlalu riskan bila ia ketahuan menangis diam-diam. 'Kan tengsin. Hujan adalah waktu yang pas untuk merindu. Begitulah yang dirasakannya.

[1] Rumah guru, kyai, atau keluarga pesantren.