"Dia tidak datang lagi?" Asuka bertanya pada Tomohiro yang berulang kali mengecek koridor dan juga halaman di luar jendela kelas.
"Sudah jam berapa?"
Asuka melihat gawainya. "Sembilan. Apa dia sembelit dan masih di toilet?"
Tomohiro menggeram jengkel. "Pakai otakmu, Asuka. Mana mungkin Devon di toilet tiga hari tanpa jeda. Dia juga tak ada di asrama."
"Apa dia kabur?" Asuka terlihat lebih khawatir. "Bagaimana kalau dia bunuh diri?"
Tomohiro dan Asuka saling tatap. Batin mereka menyesal, tapi hilangnya teman mereka benar-benar tak berjejak.
Yang mereka tak tahu, aku tengah menikmati me timeku dengan seluruh peralatan camping di Hutan Aokigahara. Hutan ini sangat indah terlepas dari penggambaran publik yang menyebutnya sebagai hutan bunuh diri.
Tak salah, sih. Di atas tendaku saat ini saja sudah tergantung satu mayat yang mungkin usia kematiannya memasuki hari ke lima. Tadinya aku tak tahu kalau ada mayat itu, sampai kurasakan butiran belatung yang jatuh seperti rintik hujan di atas tenda.
Dia teman baik. Dia mendengarkan saat aku bicara. Dia bahkan tak seperti Tomohiro yang merebut setiap apa yang kuminum. Dia juga tak seperti Asuka yang suka mengatur walau tak tahu apa-apa.
Aku benci mereka. Bergaul dengan mereka rasanya seperti mengasuh dua bocah lugu yang gampang mati. Dengan kelemahan itu saja sudah membuatku heran dengan bagaimana mereka membuatku bertanya-tanya soal makna hidup.
"Hey, teman yang bergantung, kenapa kau mati?" Aku tahu dia tak bisa menjawab. Sudah kubilang kan kalau teman baruku ini super pendiam. "Teman-temanku marah ketika aku merespon kematian seorang wanita. Katakan, memang apa artinya wanita itu bagi mereka? Apa nyawa wanita itu berharga?" Aku diam dan meraba jalan pikiran teman tergantungku. "Maaf bertanya. Kalau kau tahu betapa berharganya sebuah nyawa, kenapa kau memutuskan untuk bunuh diri?"
Kurebahkan tubuhku di lantai tanah yang lembab. Pemandangan di hutan ini penuh dengan pohon tinggi yang membuat semua gelap. Satu-satunya penerangan adalah nyala api unggun yang kubuat dari kumpulan ranting.
"Hidup itu apa, sih? Kenapa harus mati-matian membela hidup jika semua mahluk pada akhirnya akan mati juga? Apa berharganya kehidupan itu?" Aku mencoba mencari jawaban yang buntu di kepala. "Dan bodohnya, kenapa aku ada di sini? Apa aku tengah melarikan diri karena sakit hati?" Sakit hati? Pada siapa? Pada dua anak bodoh yang baru kukenal?
"Eh, ada orang?"
Padahal aku mengira jika hutan ini anti manusia hidup, tapi sepertinya ada yang datang mendekatiku.
"Polisi?" Aku bangkit dan memberi hormat dengan menundukkan badan. "Kenapa ada polisi di sini?" tanyaku bingung.
Mendengarku bertanya seperti itu para polisi di sekitarku lebih bingung. Dia memandangku dari atas ke bawah seperti kasihan, dan mencoba mendekatiku dengan bahasa yang sangat santun. Apa karena aku masih memakai seragam sekolahku dan belum mandi selama tiga hari?
"Dik? Siapa namamu?"
"Apa urusanmu?" Aku sedang butuh tenang dan polisi ini mengganggu. "Pak, aku tidak sedang ... "
"Dik ... " Polisi super ramah itu sepertinya salah paham. "Hidup itu berharga. Cobalah untuk bersabar apapun masalahmu. Jangan gampang takluk dan memutuskan untuk mati."
Tuh kan. Dia salah paham.
"Pak ..., Aku ini ... "
"St ..., Bapak tahu. Kau pasti lelah. Tetap semangat, ya. Dunia kejam ini memang didesain untuk orang-orang yang menghargai kehidupan. Memang kenyataannya seperti itu. Oleh sebab itulah nyawa sangat berarti, serendah apapun manusianya."
Aku terdiam dan kembali menunjuk pada mayat yang kini sudah tak lagi menggantung dan berdiam dalam satu kantung mayat. "Jika kehidupan sebegitu berharga, lalu kenapa dia memilih menghilangkan nyawanya yang hanya ada satu?"
Polisi itu terdiam. Pasti di matanya aku semakin terlihat seperti manusia depresi.
Lalu dia duduk di sebelahku dan memandangi proses pengangkatan jenazah di depan kami.
"Mungkin karena dia hanya bertemu manusia-manusia yang memaksanya untuk mengambil pilihan itu."
"Memaksa?"
Polisi itu mengangguk. "Dia dipaksa dengan penindasan, dipaksa dengan orang-orang yang tak mau menolongnya saat susah, dan hanya menyudutkannya seakan dia dengan label manusia yang paling rendah."
Waw. Kata-kata yang indah. Seumur hidup aku tak pernah mendengar seseorang bicara soal nyawa dengan perasaan yang sangat menghargai.
Kenapa? Kenapa aku tak seperti polisi itu? Entah kenapa aku justru merasa sebagai orang jahat yang polisi itu sebutkan.
Bukankah hidupku selama ini juga buruk? Aku adalah salah satu dari orang-orang yang memaksa agar orang lain agar mati saja. Aku bahkan suka jika ada yang celaka di dekatku, terlebih jika mahluk itu berasal dari hirearki rendah yang paling anti kudekati.
Aku seburuk itu.
"Pak, aku mau pulang." Saat itu aku bangkit. Rasanya aku tahu sedikit mengapa teman-temanku mati-matian berusaha menjaga kehidupan orang sekalipun itu hidup orang asing. Mereka itu luar biasa. Polisi ini juga. "Aku tercerahkan. Jadi, selamat tinggal Pak Polisi yang terhormat." Lalu aku bersalto, memanjat pepohonan dengan kakiku dan menghilang di balik gelap malam dengan meninggalkan kelompok polisi yang terpana.
"Gila! Kita ketemu ninja!"
"Seharusnya kau rekam! Senpai bodoh!"
***
Rasanya tak pernah seringan ini. Aku bahkan bersiul ketika memasuki gerbang sekolah, tak peduli dengan manusia-manusia yang menatap diriku yang kumuh, penuh daun dan tanah, dan berbau seperti mayat. Ya aku memang habis bertemu mayat, kan?
Kubuka pintu kelasku, menatap teman-temanku yang kebingungan dan berjalan seperti gentleman yang siap mengakui kesalahannya.
"Ka, kau Devon?" Tomohiro meneguk ludah dan kehabisan bahan untuk berkomentar.
"Ya, Tomo. Aku temanmu yang super tampan itu. Devon. De~von." Lalu aku melakukan pose takluk seperti seorang ksatria yang bersimpuh dengan lutut dan memegang dada kiriku. "Aku adalah manusia rendah, teman-teman." Kudengar satu temanku bermain biola dan nadanya sangat pas dengan situasi ini. Aku berjanji akan mentraktirnya corndog di kafetaria favorit kami. "Aku sekarang tahu kalau aku salah. Aku baru sadar jika nyawa manusia itu berharga." Aku bangkit dan memeluk teman-temanku yang tubuhnya bergetar. Ah, mereka pasti terharu dengan segala ucapan penyesalanku. "Aku berjanji untuk tak menyepelekan nyawa lagi." Aku mengaitkan dua kelingkingku di kelingking mereka. "Janji kelingking manis tidak akan pernah ingkar." Lalu mundur dan tersenyum.
Kulihat Asuka yang pucat nendekati telinga Tomohiro. "Dia jadi gila karena mu," bisiknya kalau aku tak salah dengar.
"Ya, yang penting kau kembali lagi, Devon." Tomohiro berjalan kaku dan memelukku. "Ah, teman-teman, ayo bakar sekolah untuk merayakan kedatangan kembali Devon!"
Asuka memukul kepala Tomohiro. "Bakar saja kepala bodohmu itu."
Lalu tubuhku di lempar ke udara dengan sorak-sorai yang mengharukan. Teman-temanku serindu itu padaku.
Di balik pintu kelas, sang wartawan sekolah yang sepertinya pengikut garis kerasku mengabadikan momen berharga itu.
"Tak apa. Teruslah merekam. Aku akan menggajimu satu Paun Sterling setiap kali kau merekam."
"Bukankah mata uang kita Yen. Ah, sudahlah, yang penting aku punya bahan untuk website sekolah."
***
Jauh di Inggris, seseorang dengan bekal foto Devon menggunakan kemudahan dunia dalam melakukan pencarian. Dia menggunakan kolom pencarian di internet dan mengunggah foto Devon dan mendapatkan ribuan hasil dalam satu kali sentuhan.
Sebuah gambar yang paling mendekati sosok Devon menggiringnya dalam website sekolah kecil di Jepang. Dia tersenyum puas dan menyesap teh Earl greynya dengan tenang.
"Akhirnya Ketemu kau."