Seperti biasa, Xian menyelesaikan pekerjaannya sepanjang hari dengan efektif dan efisien. Hal itulah yang pertama kali ia pelajari saat mulai mengemban tanggung jawab di perusahaan keluarganya itu.
Jika ia tidak ingin terlalu lama menghabiskan waktu dengan orang lain maka ia harus cekatan menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu sesingkat mungkin.
"Ini berkas terakhir yang harus kupelajari bukan? Setelah ini aku sudah bisa pulang?" tanya Xian pada Allen yang sibuk meneliti kembali berkas-berkas yang hendak ditandatangani oleh Xian.
"Kenapa buru-buru sekali. Memangnya kau ada kencan dengan wanita?" cemooh Allen sembari menyerahkan berkas yang telah dibacanya itu pada Xian.
"Aku harus menjemput Maw. Dia suka gelisah kalau aku terlambat menjemputnya," jawab Xian sembari membubuhkan tanda tangan pada berkas-berkas di hadapannya itu.
Xian melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam itu. Hari ini memang jadwalnya sangat padat. Biasanya ia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya sejak pukul empat atau lima sore.
"Orang lain buru-buru pulang untuk menemui kekasih atau istri mereka. Kau malah ingin buru-buru pulang untuk menjemput anjingmu," cibir Allen mengejek Xian.
"Aku tidak ingin mendengar ocehan seperti itu dari mulut laki-laki jomblo sepertimu," sahut Xian ketus. Allen sontak terenyak bangun dari duduknya mendengar ucapan Xian barusan.
"Kau pikir gara-gara siapa aku masih single seperti sekarang ini? Semua hubungan romantisku hancur gara-gara kau!" tukas Allen kesal.
"Kau terus saja memanggilku datang di luar jam kerja dan membuatku membatalkan janji-janji pentingku bersama wanita-wanita itu!" sambungnya masih dengan nada marah.
"Kau ini bodoh ya? Kau putus dengan pacarmu karena mereka tahu kalau kau menduakan mereka," ujar Xian santai.
"Lagi pula, kalau kau benci pekerjaan ini, mengapa tidak berhenti saja? Aku akan menyuruh orang untuk membuka lowongan pekerjaan guna menggantikanmu," sambung Xian kalem. Allen menatap Bossnya itu dengan tatapan tak percaya.
"Jangan bercanda. Kau tahu kalau aku jauh lebih mencintai gaji darimu dibanding perempuan-perempuan itu," sungut Allen yang merasa kalah telak.
"Kalau begitu, jangan cerewet dan berikan berkas terakhir itu agar aku bisa segera pulang menjemput Maw," ucap Xian kemudian. Allen menatap map terakhir yang ia pegang di tangannya.
"Tidak. Berkas ini jangan ditandatangani dulu. Ada yang aneh pada proposal yang diajukan. Sebaiknya nanti kita periksa lebih detail secara mendalam," jawab Allen sembari menyimpan berkas itu ke dalam laci meja kerja bossnya. Xian hanya mengangkat bahu. Pekerjaannya sudah selesai.
Dalam perjalanan menuju ke tempat penitipan hewan peliharaan itu, Xian kembali mengenang saat pertama kali ia bertemu dengan Maw.
Saat itu sedang gerimis di sore hari. Xian mengalami kesulitan beradaptasi dengan dunia kerja. Ia merasa tidak nyaman berada di antara orang-orang yang menatapnya dengan berbagai macam persepsi.
Ditambah lagi, hujan selalu mengingatkannya akan peristiwa kecelakaan yang menewaskan seluruh anggota keluarganya itu. Ia tidak bisa berkonsentrasi terhadap pekerjaannya dan meminta Allen untuk mengantarnya ke makam keluarganya.
Hari hampir gelap ketika Xian sampai di sana. Rambut dan pundaknya basah disiram gerimis, sedangkan wajahnya basah dibanjiri air mata.
Xian mengutuk keberuntungannya di malam itu. Ia merasa menanggung beban yang begitu berat karena ditinggal hidup sebatang kara oleh seluruh keluarganya. Xian berharap seandainya saja ia juga ikut tewas dalam kecelakaan itu, tentu ia sudah tenang bergabung bersama keluarganya di Nirwana.
"Mengapa Dewa masih melindungiku, tapi malah mengambil seluruh keluargaku? Lebih baik aku mati saja menyusul mereka," ratap Xian dengan pakaian yang semakin basah karena gerimis yang semakin deras.
"Guk ... guk, guk!" gonggongan kecil mengagetkannya. Xian menoleh ke arah segumpal bulu yang kusut karena basah.
Seekor anjing kecil nampak berdiri menyembul di antara batu nisan yang tak jauh dari tempat Xian berada. Pemuda itu memicingkan matanya yang dikaburkan air mata untuk melihat dengan lebih jelas.
"Guk!" Anjing kecil itu kembali menggonggong lagi. Xian yang penasaran akhirnya mendatangi anjing tersebut.
Xian melihat bahwa tali pengikat leher anjing kecil itu tersangkut di antara bebatuan yang ada di salah satu nisan yang hancur dan membuat anjing itu tak bisa ke mana-mana.
Dengan kedua kaki depannya anjing kecil itu mendengking dan mengais-ngais permukaan bebatuan di mana tali lehernya itu tersangkut.
"Rupanya kau sedang tersangkut di sini anjing kecil?" ujar Xian bertanya. Anjing itu hanya menatap Xian dengan tatapan menghiba.
Xian kemudian mengambil sebuah pisau yang dilengkapi dengan peralatan darurat dari saku celananya. Dengan menggunakan pisau itu, Xian memotong tali pengikat leher dan hanya menyisakan sedikit tali yang masih mengalungi leher anjing kecil itu.
"Nah, kau sudah bebas sekarang! Pulanglah ke rumahmu, temui pemilikmu. Dia pasti sudah panik mencari-carimu," ujar Xian sambil menyimpan kembali pisau darurat miliknya.
Anehnya anjing kecil itu malah mengais-ngais batu nisan yang telah hancur dan mulai melolong pilu. Xian seolah dapat mengerti maksud anjing itu. Sepertinya pemilik anjing itu sudah meninggal dan dikuburkan di situ.
Xian merasa tak ada yang dapat ia lakukan untuk anjing itu lagi sehingga ia pun memutuskan untuk bergegas kembali karena Allen pastinya sudah cukup lama menunggunya di mobil.
Akan tetapi, suara langkah kecil yang mengikutinya dari belakang memaksa Xian untuk kembali menoleh dan mendapati si anjing kecil berbulu kumal itu ternyata mengikutinya dari belakang.
Xian sempat menimbang-nimbang beberapa saat. Apartemennya adalah apartemen yang membolehkan penghuninya memelihara hewan peliharaan. Ia juga merasa kasihan pada anjing kecil yang sepertinya sama-sama kehilangan keluarganya seperti dirinya.x
"Kau yakin ingin ikut denganku? Apa kau tak punya rumah untuk dituju? Bagaimana dengan keluargamu?" tanya Xian yang kini sudah berjongkok di depan anjing itu.
"Guk!" Anjing itu menggonggong seolah memberikan jawaban setuju.
Xian lantas membuka jasnya yang sudah lembab itu dan membungkus tubuh anjing kecil itu di dalam jas biru pekatnya itu. Ketika Xian mengangkat anjing itu dalam gendongannya ia mendengar suara gemuruh kecil yang berasal dari anjing itu.
"Kruyuk ... kruyuk," suara gemuruh kecil itu terdengar lagi. Xian tertawa geli memandang si anjing kecil dalam gendongannya itu.
"Kau kelaparan rupanya. Kalau begitu, ayo kita beli makananmu dulu!" ucap Xian bersemangat. Pemuda itu lantas memeriksa tali pengikat leher anjing itu. Tidak ada nama apapun di sana karena itu cuma seutas tali biasa dan bukan kalung anjing.
"Hmmm, siapa namamu? Kalau kau tak punya nama, biar aku saja yang menamaimu," ujar Xian kemudian.
"Kruyuk ... kruyuk," bunyi perut anjing itu terdengar lagi. Xian mendesah gemas.
"Ah, kuberi kau nama Maw saja. Artinya perut keroncongan," cetus Xian sambil kembali terkekeh.
Xian lantas membawa Maw ke parkiran pemakaman di mana Allen sudah menunggu di dalam mobil. Allen tentu saja tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat boss sekaligus teman kuliahnya dulu itu membawa gumpalan hidup di dalam jaketnya.
"Kita mampir untuk membelikan makanan untuknya dulu," ucap Xian dengan senyum mengembang di wajahnya. Allen yang tak pernah melihat Xian tersenyum sehangat itu lantas segera menyalakan mesin mobil dan melaju mencari pet shop terdekat.
Bersambung .…