Aksa mengikuti Kiara dan berkata, "Tampaknya video kemarin sangat efektif dan banyak mengubah dirimu. Aku harus sering-sering memberimu video semacam itu mulai sekarang."
"Ya, terima kasih banyak, sangat membantu!" Kiara mendengus tidak terima.
"Sama-sama." Aksa tidak peduli dengan nada bicara Kiara yang ketus.
"Dasar pria tidak tahu diri!" Kiara dengan hati-hati menatap anak tangga di bawah kakinya, lalu berkata, "Aku belum pernah melihat orang sepertimu, dan kuharap generasi penerus keluargamu ini tidak akan sejahat dirimu. Mengapa kamu selalu merasa begitu hebat?"
Sikap santai Aksa berubah sesaat. Dia memang bukan orang baik, tapi dia tidak pernah kejam kepada anak-anaknya. Dia hanya merasa bahwa untuk menjadi orang yang baik, dia harus bisa membuat calon anaknya ini tidak perlu menanggung beban yang seharusnya ditanggung oleh orang dewasa. Dia dia tidak ingin anak-anaknya menjadi anak kecil yang menyedihkan seperti dirinya. Terlebih lagi, anak ini kemungkinan besar adalah anak satu-satunya yang bisa dimiliki Aksa.
"Kenapa kamu tidak bicara? Apakah kamu merasa bersalah?" Kiara bertanya, suaranya sedikit bergema. Hanya saja, dia tidak melihat ke belakang. Setelah dua langkah lagi, dia berkata, "Sebenarnya jika aku memiliki kekayaan dan kekuasaan seperti dirimu, aku juga lebih suka untuk membiarkannya hidup bahagia. Jadi apa yang kamu katakan untuk mempertahankan anak ini, sepertinya itu benar."
Langkah kaki Aksa berhenti. Dia menatap Kiara dengan hati-hati. Wajah cemberutnya sedikit demi sedikit berubah menjadi senyuman yang sangat tipis. Benar kata Kiara. Dia memang berpikiran demikian saat memutuskan untuk mempertahankan anak itu.
Setelah meninggalkan perpustakaan, Kiara merasa lega dan melihat para pengawal di gedung samping telah pergi. Dia bertanya, "Para utusan itu benar-benar sudah pergi. Mengapa kamu tidak mengajak mereka untuk makan dulu tadi?"
"Mereka hanya datang ke sini untuk melihat-lihat, dan mereka harus buru-buru menemui perdana menteri dan anggota kongres," jawab Aksa ringan.
"Wow! Begitu rupanya." Kiara menoleh, "Apakah mereka dari kedutaan? Mereka benar-benar menemui dirimu terlebih dahulu, baru menemui perdana menteri? Jika ini di zaman kuno, kamu pasti sudah dianggap sebagai dewa."
"Mereka bergerak dalam bidang politik, aku hanya seorang pengusaha." Aksa menyipitkan matanya, "Tidak sebanding sama sekali."
Kiara berpikir sejenak dan mengangguk, "Kurasa itu benar." Dia benar-benar merasa bahwa apa yang dikatakan Aksa barusan memang sebuah fakta. Tidak peduli di industri mana Aksa berada, sangat berbahaya untuk memiliki hubungan terlalu dalam dengan dunia politik.
Saat kembali dengan santai ke ruang tamu di area rumah, Asih berjalan dan menyambut mereka berdua, "Nona Kiara, ketika Anda pergi dan saya sedang membersihkan kamar Anda tadi, saya melihat telepon Anda berdering."
"Ah? Siapa yang menelepon?" Kiara bertanya.
"Ayah Anda," jawab Asih.
"Ayahku?" Kiara menarik napas dalam, "Tidak mungkin, tidak, aku harus kembali meneleponnya lagi sekarang." Saat dia berbicara, dia sudah berlari ke atas.
Ketika Aksa melihat Kiara menaiki tangga dan menghilang, dia bergegas berjalan ke arah Edward di sebelahnya dan bertanya, "Apakah biaya proyek yang disumbangkan ke Jurusan Fisika Universitas Jakarta sudah beres?"
"Sudah siap, tuan."
"Oke." Aksa mengangguk, "Itu bagus."
____
"Halo? Ayah, apa ayah baru saja meneleponku?" Di lantai atas, Kiara berbaring di tempat tidur dan menelepon ayahnya. Ada rasa gemetar di dalam hatinya.
"Apa kamu baru bangun tidur? Jam berapa sekarang?" Wisnu bertanya dengan nada serius.
"Tidak, aku sudah bangun dari tadi." Kiara meraih sudut selimut dan menjawab dengan wajar, "Aku baru saja pergi mandi dan makan pagi, dan tidak membawa ponselku. Aku baru saja kembali ke kamar sekarang."
Setelah selesai berbicara, Kiara buru-buru mengganti topik dan berkata, "Kenapa ayah tiba-tiba meneleponku? Di mana ibu? Apa kalian baik-baik saja?"
Wisnu tidak terlalu banyak berbicara, hanya berkata, "Ibumu sedang mengemasi barang. Pesawat kita terbang malam ini dan akan tiba di Jakarta besok."
"Besok?" Kiara melotot, "Secepat itu?"
"Cepat apanya? Kampus secara resmi akan dimulai sepuluh hari lagi. Semester baru akan dimulai, kami harus menyambut siswa baru. Lalu, masih ada perayaan seratus tahun kampus. Setelah kembali ke kampus, masih banyak hal yang harus dilakukan. Itu sebabnya kami kembali lebih awal." Setelah Wisnu selesai berbicara, dia bertanya lagi, "Kiara, apa kamu melakukan sesuatu yang salah?"
"Tidak… Bagaimana mungkin…" Kiara merasa bersalah, tapi tidak bisa menunjukkan itu pada suaranya. Dia melirik ke arah samping, dan tidak sengaja melihat Aksa yang tidak tahu sejak kapan sudah berdiri di depan pintu. Jantung Kiara berdetak semakin cepat.
"Oh, baguslah." Wisnu berkata, "Kali ini ketika kita kembali ke Jakarta, ibumu dan aku akan membawa kembali salah satu mahasiswa dari desa. Dia mungkin tinggal di rumah kita sementara dan pindah ke asrama saat kuliah dimulai."
Kiara mengalihkan pandangannya dari Aksa, dan menjawab tanpa rasa ingin tahu. Wajahnya tanpa ekspresi, "Oh, oke." Dia bisa ingat bahwa setidaknya ada lima atau enam siswa yang sudah pernah dibawa pulang oleh ayah dan ibunya. Biasanya mereka dapat tinggal di rumahnya hingga satu tahun. Tak heran jika kedua orangtuanya itu kini membawa kembali seorang siswa dari desa.
"Saat pesawat datang besok, aku akan menjemputmu." Kiara berbicara dengan yakin.
"Ayah akan mengirimimu SMS besok."
"Oke." Kiara selesai menjawab, dan ayahnya telah menutup telepon.
Aksa langsung masuk saat ini dan berkata, "Orangtuamu akan kembali besok?"
"Ya." Kiara mengangguk, dan jatuh kembali ke tempat tidur dengan santai.
"Aku akan menjemput mereka bersamamu besok." Aksa berdiri diam tiga langkah di samping tempat tidur dan berhenti melangkah maju.
Kiara duduk dengan rasa terkejut, "Menjemput mereka denganku? Tidak
mungkin!"
"Kenapa?" Aksa biasa memasukkan tangannya ke dalam sakunya.
"Aku hanya ingin bertanya mengapa kamu ingin pergi denganku?" Kiara mengangkat kepalanya dan menatap Aksa, "Juga, setelah orangtuaku kembali, aku tidak bisa tinggal di sini lagi."
"Bukankah kamu selalu tinggal di asrama? Orangtuamu tidak akan tahu jika kamu tidak kembali, kan? Mereka sepertinya tinggal di rumah dan tidak pernah peduli padamu." Aksa memandang Kiara dengan santai, "Aku akan pergi menemui orangtuamu bersamamu besok, jadi kita bisa menangani urusan ini. Biarkan mereka tahu."
"Urusan kita?" Suara Kiara dinaikkan tiga tingkat lagi. Dia bangkit dari tempat tidur dengan cepat, "Kamu tidak akan memberitahu orang tuaku tentang kehamilanku, kan? Biar aku beritahu padamu, ayahku benar-benar galak. Jika dia tahu, dia akan mematahkan kakiku, aku tidak bercanda!"
"Aku di sini. Bahkan jika dia adalah ayahmu, aku tidak akan membiarkan dia memarahimu," kata Aksa dengan tekad di matanya.
Dengan kata-kata manis yang tiba-tiba ini, Aksa tampak sangat santai, tetapi Kiara tenggelam. Mendengarkan ini semua, detak jantungnya semakin cepat. Dia menatap Aksa dengan linglung. Bagian terdalam dari hatinya sepertinya diisi dengan permen kapas, lembut dan manis. Tidak ada yang pernah memperlakukannya seperti ini.
Aksa, seorang laki-laki gila ini, sungguh bisa membuat hati seorang perempuan tersentuh. Dia kaya dan berwajah tampan. Dia sepertinya memiliki daya tarik yang tak bisa dijelaskan di tubuhnya, dan membuat orang ingin dekat. Kiara percaya bahwa kata-kata itu terasa manis karena diucapkan oleh Aksa. Tapi pria itu pasti tidak tulus. Dia hanya melakukan ini untuk anaknya. Tanpa anak di kandungan Kiara, pria ini pasti akan memperlakukannya semena-mena.