"Makasih banyak ya, Pak. Kembali nya ambil aja." Dengan tersenyum ramah Diva memberikan uang selembaran 20 ribu kepada driver ojek online itu.
"Makasih, ya kak." Diva mengangguk dengan masih menampil kan senyum manis nya.
Sedikit membenarkan rok pendek putih nya. Diva mulai memasuki gerbang sekolah SMA Nusa Bangsa, namun senyum yang tadi menghiasi wajah nya kini tak lagi ia kembang kan.
Ia jalan dengan langkah yang tidak terlalu cepat menelusuri lorong demi lorong menuju kelas nya.
"Diva!" Seorang gadis menepuk punggung Diva dengan sedikit keras dan itu membuat Diva sedikit terlonjak.
Ia membalikan badan dan mendapati Riza dengan senyumnya. Riza lah yang menyapa nya. "Gua kira siapa. Ngagetin aja lu."
"Ya, Sorry." Riza terkekeh. Ia mengamit lengan Diva dan mengajak nya untuk berjalan bersama menuju kelas.
Di tengah perjalanan mereka menuju kelas. Mereka berpapasan dengan Fabian, ia menuruni tangga dengan tergesa. Mata tajam lelaki itu bertemu dengan mata teduh milik Diva. Baik Fabian maupun Diva sama-sama menghentikan langkah mereka.
Bibir Fabian sempat terbuka namun terkatup kembali, seolah ada suatu hal yang ingin ia katakan kepada Diva. Namun ia urungkan karena banyak siswa lain yang berlalu-lalang.
"Pagi kak," Sapa Riza kepada Fabian. Riza berpikir, sedikit beralibi tak masalah kan.
Fabian mengalihkan pandangan nya kepada Riza tersenyum membalas sapaan gadis berambut lurus itu.
Berbeda dengan Riza, Diva sama sekali tak ada minat untuk menyapa lelaki itu. Ia langsung membuang muka memutus kontak mata mereka saat Fabian kembali menatap nya.
"Ayo, Riz. Bentar lagi bel." Tanpa permisi, Diva menarik Riza menjauh dari Fabian dengan langkah seribu kali lebih cepat.
Sedangkan Fabian masih setia di tempatnya kini menatap kepergian Diva.
"Tumben gak nyapa. Senyum juga enggak," Gumam Fabian yang tentu hanya dapat di dengar diri nya saja.
Fabian kembali melanjutkan langkahnya menuju lapangan upacara. Ia harus membimbing adik kelas nya yang menyandang status baru menjabat sebagai anggota osis untuk mempersiapkan upacara. Fabian masih heran mengapa mereka tidak juga bisa mandiri, harus selalu ia dan anggota osis lama yang harus membimbing.
***
Diva memasuki kelas dengan Riza bersama nya. Mereka melihat sudah ada Zuma yang tengah sibuk dengan Liptint nya. Ia masih tidak menyadari kedatangan mereka. Riza dan Diva mulai berjalan menuju barisan tempat duduk mereka.
"Woi!"
Zuma mendengus kesal pada Riza. Gadis itu mengagetkan nya. Untung Liptint yang ia kenakan tidak keluar batas bibirnya, kalau iya Zuma bersumpah akan bergelut dengan Riza.
"Kebiasaan lu nganggetin orang mulu," Ucap Zuma sedikit kesal.
Diva hanya terkekeh, posisi Diva di belakang mereka. Ia duduk seorang diri, entahlah Diva lebih menyukai duduk sendiri.
Di lubuk hati gadis itu ada rasa canggung ketika ia bertemu Zuma. Diva mengingat dengan jelas saat Zuma menunjukan ketidaksukaan nya kepada Fabian hari itu. Dan perkataan Zuma waktj itu menjadi salah satu motivasi mengenai keputusan Diva untuk menjauhi Fabian selama beberapa waktu.
"Minggir kek, Zum. Gua pengen taro tas."
Zuma memutar bola matanya. "Sabar sih." Karena posisi tempat duduk mereka di pojok ruangan. Mau tidak mau Zuma harus menyingkir terlebih dahulu ketika Riza ingin duduk di tempatnya.
Zuma yang tengah bangkit dari kursi nya mendapati Diva yang ternyata sudah datang. Zuma yang awalnya tidak menyadari kehadiran gadis itu pun menyapa Diva. "Tumben lu gak telat."
Diva mengembangkan senyum dan sedikit bernafas lega. Ternyata Zuma sudah bersikap seperti biasa, tidak lagi acuh dan cuek kepadanya seperti saat di UKS hari itu. "Ngeledek amat lu."
Zuma terkekeh.
Suasana di kelas itu mulai terlihat ramai. Satu persatu siswa dan siswi penghuni kelas itu mulai berdatangan. Tapi hanya beberapa yang tinggal di kelas karena sisa nya hanya meletakan tas mereka dan keluar lagi entah kemana.
Zuma kembali duduk di kursi nya. Namun kali ini ia memutar tubuhnya 180 derajat menghadap Diva yang duduk sendiri. "Div, lu udah nonton Toy Story belom?"
"Toy story?" Diva sudah nonton sebenarnya film itu, namun tidak sampai habis. "Belom."
"Nah! cakep tuh. Ayo nonton!" Seru Zuma dengan antusias.
"Gua gak di ajak nih?" Ucap Riza.
"Yeu, baperan lu ah! Iya Riza yang cangtip. Ayo nonton."
"Ayo aja gua mah. Mau kapan?" Tanya Diva.
"Weekend?" Tawar Riza.
"Yah! Gak bisa. Nyokap ngajak ke salon."
Riza mendengus mendengar perkataan Zuma. Teman nya itu memang terlalu terobsesi dengan kecantikan.
"Lusa aja gimana?" Sekarang giliran Diva yang mengeluarkan pendapat.
"Setuju!" Jawab Riza dan Zuma serempak.
Mereka memutuskan untuk menonton bioskop bersama pada hari Rabu. Zuma, Riza, dan Diva memang sering hang out bersama. Diva memang sangat akrab dengan kedua nya tapi bukan berarti ia tidak memiliki teman lagi selain mereka berdua. Ia juga dekat dengan teman nya yang lain di kelas. Namun hanya Zuma dan Riza yang di pilih nya sebagai sahabat dekat.
Ketiga nya asik bercengkrama. Dari mulai membahas skin care, film, bahkan membicarakan orang lain a.k.a gibah pun mereka bahas. Dari ketiga nya hanya Diva yang terlihat kalem, nampak aneh memang karena biasanya dia yang paling cerewet jika sudah buka suara.
"Lu berangkat tadi bareng Fabian, Div?" Tanya Zuma.
Diva mengangkat sebelah alis nya, menatap kedua teman nya yang juga tengah menatap nya. "Enggak. Gua naik ojek."
"Oh, pantes."
Sontak Diva dan Riza menatap Zuma dengan tanda tanya besar atas ucapan Zuma barusan.
"Pantes apa?" Tanya Diva.
"Enggak deng."
Bel masuk berbunyi. Diva melirik jam tangan di tangan nya. Ternyata sudah pukul tujuh. Sementara Zuma menghembuskan nafas lega, karena dengan adanya bel membuat Diva lupa dengan apa yang ia tanyakan tadi. Sedangkan Riza, menyenggol tangan Zuma meminta penjelasan, karna gadis itu sangat penasaran. Namun, Zuma memberi kode ke Riza bahwa ia akan memberitahu nya nanti.
Suara lantai bergemuruh terdengar. Bukan karena adanya gempa bumi atau apa, itu biasa terjadi lantaran para siswa yang masuk ke kelas dengan berlari mengambil atribut upacara mereka. Mereka berlari bukan tanpa sebab, hal itu terjadi karena Bu Lisa guru killer seantero SMA Nusa Bangsa akan berkeliling dengan tongkat kayu andalan nya yang selalu siap di tangan. Ia akan menggertak siswa nya agar berkumpul di lapangan tepat waktu agar upacara dapat di laksanakan dengan cepat.
"Ah, sial! Topi gua mana sih?" Terdengar umpatan dari mulut Diva. Tangan nya masih sibuk menggeledah isi tas nya.
Kelas sudah sepi, meninggalkan mereka bertiga.
"Ada ga, Div?" Tanya Riza yang sudah siap dengan atribut lengkap, begitu pula dengan Zuma yang ada di sebelah nya.
"Ga ada. Gua panik nih, gimana dong?" Diva mengeluarkan semua isi tas nya. Namun, topi upacara berlabel sekolah itu tidak juga ia temukan. Diva berkacak pinggang, tangan nya yang satu ia gigiti ujung kuku nya tanda gadis itu tengah di landa panik.
"Masa sih ga ada?" Zuma bergerak membantu gadis itu. Ia kembali memeriksa isi tas sekolah Diva. Resleting demi resleting ia periksa, namun tidak dapat di temukan juga.
"Lo pinjem adek kelas gih. Atau gak sama kelas yang lagi jadi petugas upacara."
Ide bagus.
Tanpa ba-bi-bu lagi, dengan setengah berlari Diva keluar dari kelas mencoba mencari pinjaman topi upacara ke siswa yang kelasnya tengah mendapat giliran menjadi petugas upacara.
"Tuh anak ada-ada aja," Kata Zuma menggelengkan kepala, berkacak pinggang menatap Diva sampai gadis itu berlalu.
"Zum. Tadi maksud lo apa?" Tanya Riza dengan rasa penasaran nya yang masih bergejolak.
"Yang mana dah?"
"Ish! Lemot ah! Yang lu nanya Diva berangkat bareng sama Fabian apa enggak, terus kata lo pantes nah maksud kata pantes itu apa?" Ingin rasanya Riza menampar pipi Zuma yang tebal dengan bedak itu.
"Oh, itu." Zuma menarik Riza agar lebih dekat dengan nya. Kemudian Zuma berbisik, "Tadi pagi, gua liat Fabian berangkat bareng sama adek kelas yang waktu itu di kantin."
Mata Riza membulat sempurna. "Jenisa maksud lo?!" Tanya Riza memekik.
Tiba-tiba...
Pletak
"Kalian berdua! Ngapain masih di kelas? Cepat ke lapangan!" Bentak Bu Lisa yang mendapati Riza dan Zuma yang belum juga baris di lapangan.
TBC
Masih penasan bos santai dulu, next ketemu Fabian lagi kok.