"Lari, larilah sekencang mungkin. Bawa dirimu pada mereka, setelah itu akan kubantai kalian semua."
***
Melewati tangga berlubang, dengan hati-hati aku lewat samping sisi lubang. Ini akses jalan tercepat untuk keluar dari gedung dua. Dari pada harus memutar lewat jalan lain akan berbahaya jika bertemu psikopat tersebut. Lebih baik lewat jalan berbahaya tapi aman daripada jalan aman tapi sebenarnya bahaya.
Tap!
Aku berhasil keluar gedung dua.
Melihat keadaan, menoleh kanan kiri.
Berjalan dengan hati-hati. Memanfaatkan area bayangan gedung untuk kembali menyebrang ke gedung satu. Kawasan sepi dan menegangkan, kuharap psikopat itu tidak melihatku. Napasku tersenggal-senggal saking tegangnya berada di luar, bisa saja psikopat itu tahu aku berada di sini, ia memilih diam menunggu kesempatan. Cengkraman tanganku terasa sakit hanya karena memikirkannya.
AKu akhirnya tiba di sisi dinding gedung satu. Menengok ke arah pagar, aman. Sisi belakang juga aman. Aku menuju area balkon utara tempat Haniyah terjatuh.
Mengendap-endap sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Berjalan super cepat tanpa menimbulkan suara dan sikap waspada adalah hal utama.
Aku menghela napas.
Sendirian memanglah menegangkan. Apalagi dalam kegelapan, dari sini aku bisa melihat ruangan Akmal. Lantai satu dan dua di gedung dua. Kelihatannya di sana tidak ada siapapun. Tidak ada yang mencurigakan.
Jangan salah.
Justru dari gedung dua juga bisa sebaliknya. Bisa melihat tempatku sekarang berada.
Tanpa kusadari, di antara kesunyian suana gedung ternyata diriku tengah dipantau psikopat dari lantai satu. Memandangku dengan senyum khasnya.
Kulihat jam tanganku.
"Pukul satu." Kataku. Masih tersisa dua jam lagi. Aku semakin mendekat ke arah tujuanku. Mengintip dari balik bayangan.
Bum!
Aku melihat jasad Haniyah. Bener-bener Haniyah. Jika bukan dia siapa lagi? Di lantai gedung satu hanya ada kami bertiga sebelumnya.. Kucoba memastikan. Fix. Ini Haniyah. Meski tubuhnya remuk secara tragis aku semakin yakin di depanku adalah Haniyah.
"Dua orang yang berbeda." kataku lirih. Teringat kembali perkataan Rachel padaku saat di balkon gedung dua. Rachel mengatakan Haniyah yang kita temui di gedung dua berbeda dengan Haniyah yang kita kenal. Seseorang telah menyamar menjadi Haniyah. Seseorang yang bukan bagian dari rombongan.
Karena terlalu lama berpikir, aku memutuskan melanjutkan perjalanan.
Dalam kegelapan menyusuri jalan menuju gedung tiga. Meninggalkan jasad Haniyah
Tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Semua tampak tenang. Cahaya rembulan masih bersinar malam ini, walau sedikit berawan beberapa bagian gedung masih mendapat penerangan, jalan setapak penuh rerumputan masih bisa dilihat dengan mata telanjang.
Aku masuk lewat tangga belakang. mulai menyusuri gedung tiga.
Masih tampak normal seperti biasa.
Sesekali aku menahan napas ketika memasuki tempat baru. Selain untuk berjaga-jaga juga akan menyamarkan keberadaan diriku. Pelan-pelan kubuka pintu dan memasukinya.
Gelap.
Aku tidak membawa lilin. Masa bodoh dengan lilin, justru itu akan membuatku ketahuan. Psikopat itu pasti akan menyadari keberadaanku jika lilin kubiarkan menyala. Ini yang teman-teman tidak tahu. Mereka menganggap permainan arwah Akmal masih berjalan tapi nyatanya tidak demikian. Justru kita kedatangan tamu tak diundang bermain petak umpet bersama kami. Lilin hanya akal-akalan semata untuk memudahkan psikopat melancarkan aksinya. Semua mulai masuk akal sekarang.
Aku ingin segera bertemu semuanya untuk mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
Kini aku berada di lantai dua gedung tiga. Di lantai pertama semua kamar sudah kuperiksa. Nihil, aku tidak menemukan seorangpun, hanya menemukan bangku-bangku kosong, botol minuman yang berserakan, kaleng bekas, seng dll. Beberapa kali aku hampir jatuh akibat tersandung batu besar yang menghalangi. Gudang lantai satu tidak bisa dilewati, banyak balok kayu yang menutup, memang dari awal sudah tertutup kuat dari luar.
"Ada orang?!" aku memberanikan diri buka mulut.
Masih tidak ada jawaban dari ujung koridor tempatku berada, sebelum masuk lebih jauh aku berjaga-jaga menyiapkan pemotong besi.
"Ini gue, Iqbal. Iqbal Albani. Kalau ada orang di tempat ini, tolong keluar."
Tidak terlalu keras, sedang saja. Kuharap ada seseorang di sini. Dan kuharap psikopat itu masih berada di gedung dua. Tidak di gedung tiga.
Nihil.
Pantulan cahaya bulan menembus menyusuri koridor. Sejujurnya aku tidak berani lewat tempat yang terkena cahaya dan lebih memilih melewati jalan gelap. Mengingat kaca gedung saling terhubung antara gedung satu dengan lainnya, aku pikir lebih beresiko jika tetap melewati jalan terang.
Suara daun yang kuinjak, ditambah lagi suara jangkrik terngiang-ngiang di telinga berhasil membuatku gugup dan takut.
Tidak ada. Tetap tidak ada orang di lantai ini. Kuperhatikan sekali lagi disetiap ruangan yang kulewati. Jika sudah mantab tidak ada seseorang di sana, aku memeriksa kamar lain.
Seterusnya begitu.
Prang!!
Aduh. Aku menoleh, pemotong besi menabrak seng yang berada di depan pintu. Alhasil bunyi dentungan besi terdengar. "Jangkrik. Onok-onok ae seh. (Jangkrik, ada-ada saja sih.)" gumamku rada kesal.
Saat hendak masuk kamar, langkahku terhenti takkala menemukan sebuah benda yang tertancap. Runcing dan membekas di dinding sebelah pintu kamar selanjutnya. Kuhampiri benda tersebut dan tersadar kalau benda tersebut adalah sebuah anak panah. Aku langsung tau hanya dengan melihat bulu anak panah tersebut.
"Lha kok?!"
Kuraba retakan di temboknya.
Masih dalam kondisi tercuil bagian luarnya saja. Beberapa potongan dinding tidak langsung jatuh tapi masih menempel. Barusan kupegang dan langsung jatuh. Bulu anak panahnya juga masih bagus. Tidak terlihat kusam seperti sudah ada beberapa hari lalu sebelum kami tiba di area asrama ini.
Aku mencurigai ini senjata yang digunakan psikopat tersebut. Selain menggunakan parang juga menggunakan panah. Atau jangan-jangan masih banyak lagi senjata yang ia simpan dan belum digunakan. Bayangku berpikir demikian.
Bahaya.
Serius ini? Gumamku dalam hati. Bayangkan saja jika anak panah itu tepat mengenai kaki kalian. Menancap hingga tembus dari depan ke belakang. Jelas sangat berbahaya. Atau bayangkan jika hanya terserempet anak panah itu, luka yang dihasilkan tidak main-main. Sudah pasti sakit.
Jika dilihat dari panjang anak panah ini yang menancap masuk terlalu dalam, itu berarti tarikan tali busur psikopat itu juga kuat atau jawaban lainnya psikopat ini menggunakan Crossbow. Aku lebih yakin psikopat tu menggunakan Crossbow. Pengalaman sebelumnya ketika bertemu psikopat, ia memiliki postur badan perempuan yang berarti ia bukan laki-laki, tapi lain halnya kalau jumlah psikopat itu tidak hanya satu orang saja.
Jika memang benar perempuan. Dalam melakukan pembunuhan pasti pelaku akan membawa senjata yang simple dan tidak ribet. Crossbow pilihan yang tepat. Menggunakan panah akan lebih sulit dan merepotkan, ditambah bentuk panah yang besar akan lebih menguras tenaga. Tentu tidak efisien. Kalau menggunakan Crossbow jauh lebih simple, bentuknya relatif lebih kecil ketimbang panah. Cara menggunakannya juga lebih unggul. Mengendap-endap, membidik mangsa dan menekan pelatuknya. Jleb!! Selesai. Tinggal isi ulang, senjata bisa digunakan kembali. Hanya tergantung seberapa pintar membidik atau mengarahkan senjatanya.
Saking sibuk memikirkan anak panah, aku tersadar harus melanjutkan perjalanan.
Berhenti berpikir dan cobalah fokus. Kataku membuyarkan pikiran.
Kembali memeriksa ruangan-ruangan lain dengan hati-hati.
Sumpah, nggak enak banget jalan sendirian. Tegang banget. Apalagi saat masuk setiap kamar, selalu banyak pikiran yang menghantui akibatnya ada ragu ngecek. Selain tidak boleh sembrono, aku harus menyiapkan diri jika sewaktu-waktu serangan si kampret itu datang. Berpikir, aman nggak ya, nggak ada psikopat nggak ya. Atau jangan-jangan saat masuk psikopat itu udah menunggu dari balik bayangan dengan senjata siap menebas.
Serem abis.
Saat menoleh keluar, dari arah balkon sekilas kulihat kerlip cahaya. Merah menyala layaknya api, aku terkejut dan menatap sekali lagi tapi cahaya itu sudah hilang bak ditelan angin malam. Lenyap dalam kedipan mata. Aku yakin telah melihatnya. Cahaya tersebut terlihat berada di atas bangunan yang tinggi. Jaraknya dari sini lumayan jika berjalan kaki. Cahaya tersebut berada di area gedung sembilan.
Pikiranku langsung menebak dengan tepat berada di mana cahaya tersebut.
"Menara."
Benar.
Hanya bangunan itu logis untuk dipikirkan. Menara yang dimaksud adalah menara asrama. Terletak di ujung antara gedung sembilan dan sepuluh. Sebenarnya aku tidak tahu betul apa fungsi menara tersebut, bangunan yang di salah satu sisi dinding terukir lambang sekolah kami. Besar sekali seakan menandakan kawasan asrama ini termasuk area sekolah kami, padahal komplek asrama ini sudah lama tak berpenghuni. Jika cahaya tersebut memang berasal dari sana kemungkinan ada seseorang bersembunyi di sana . Letaknya strategis juga aman karena akses masuknya hanya satu pintu masuk, tidak ada jendela hanya ada ventilasi. Dengan memblok pintu masuk sudah lebih dari cukup untuk mengamankan tempat tersebut. Tangga darurat pasti ada, jika kemungkinan terburuk terjadi mereka bisa menggunakannya dan pergi mencari tempat persembunyian lain. Jika psikopat mengincar tempat itu, yang ia dapatkan hanya umpan berisi racun.
Aku lekas beranjak turun dari lantai dua. Keluar dari gedung tiga.
"Shit." Batinku.
Aku berbalik sembunyi di balik dinding gedung. Mengurungkan niat berjalan pada bagian kanan gedung. Aku melihat psikopat itu keluar dari gedung dua. Dia keluar dengan santainya sambil menggenggam parang. Jika telat sedetik saja aku pasti akan ketahuan. Karena suara pintu terbuka, aku cepat menyadari seseorang keluar dari gedung tiga atau gedung dua. Karena Akmal, Rayyan tidak mungkin keluar dari gedung, maka orang itu adalah sang psikopat.
"Beruntung." Kataku pelan.
Kulihat psikopat itu tengah mengawasi area sekitar sebelum memutuskan pergi. Aku curiga dia mengetahui tentang cahaya yang kulihat. Memperhatikan setiap inci gedung tiga dan gedung empat. Jika saja Psikopat itu menuju ke arahku aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk berjalan memutar karena area belakang gedung tiga adalah jalan buntu. Salah satu jalan keluarnya adalah memasuki gedung lewat pintu belakang, sialnya jika itu kulakukan hanya akan membuatku dikejar. Suara pintu terbuka akan menarik perhatian psikopat.
Sorot mata putihnya mendelik saat menatap ke tempatku. Buru-buru kusembunyikan wajahku dan menarik napas. Tanganku bergetar, tubuhku juga demikian.
Sungguh ini lebih buruk dari yang pernah kualami sebelumnya. Apa dia sadar aku di sini?
"Tenang." Batinku.
Psikopat itu mendesis.
Astaga suara itu lagi. Menambah rasa mencekam bulu kuduk.
Cepat pergilah, aku tidak mau berurusan denganmu.
Terdengar suara langkah kaki di tanah becek, suara itu menjauh dari sini. Kurasa ia pergi.
Dirasa cukup lama, kuberanikan untuk mengintip lagi. Kosong. Dugaanku benar. Psikopat itu pergi.
Masalah semakin rumit lagi kali ini.
Diperjalanan aku harus lebih berhati-hati jika tak ingin bertemu dia.
Jika tebakanku benar tujuan kita sama, menuju menara. Aku harus memutar otak untuk mencari jalan lain agar tidak diketahui psikopat itu. Jalan memutar. Tapi bagaimana, akses jalan utama pasti tidak aman. Aku yakin berjalan di kegelapan bukanlah pilihan tepat walau berjalan di jalan utama. Jika dilihat arah psikopat itu berjalan. Ia memilih akses jalan utama.
Aku berpikir sejenak.
"Jalan lewat gedung ke gedung." Kataku mendapat ide.
Gedung 1, 3, 5, 7, 9 berjejer. Arah jalannya juga sama dengan akses jalan utama. Aku bisa memanfaatkan gedung-gedung itu untuk bergerak tanpa diketahui. Suasana gedung yang gelap gulita akan menguntungkanku menyembunyikan diri. Kekurangannya hanya satu. Meski psikopat itu mengambil jalan utama tidak menutup kemungkinan psikopat itu juga mengawasi menara di salah satu gedung.
"Kamu cari siapa?" kata seseorang.
Aku kaget setengah mati.
Suara yang bukan berasal dariku. Bulu kuduk merinding. Aku tidak berani menengok ke belakang, bola mataku melotot tidak percaya. Tiba-tiba ada suara seorang perempuan di belakangku saat asik mengintip area jalanan bukanlah perkara lucu.
Astaga.
Ini psikopatnya. Ia menenteng parang di tangan kanannya, membentur-benturkan ke pemotong besi milikku hingga timbul bunyi Ting Ting Ting. Ia sengaja melakukan itu untuk memberitahuku bahwa sosok di belakangku adalah dirinya.
Psikopat itu terkekeh sebentar.
"Main petak umpet yuk." Katanya dengan nada dibuat manis. Ia begitu menikmati sensasi menegangkan yang tengah kualami sekarang. Waktu melambat. Yang kurasakan hanyalah dentuman jantung semakin cepat dan cepat. Keringat dingin membuat tubuhku bergetar.
"Aku yang jaga duluan, nanti kamu sembunyi. Kalau giliran kamu yang jaga nanti aku kasih keringanan deh, kepalamu akan baik-baik saja, tenanglah." Kata Psikopat membelai leherku dengan erangan napas pelannya. Ia mencium leherku dengan kecupan ringan lalu tersenyum manis ke arahku.
"Mau ya? Aku mohon."
"Teman-temanmu nggak akan ganggu kita berdua kok-"
"Karena mereka sudah kupenggal, kucabik, kupotong, kugantung. Hihihi!!"
Psikopat itu memelukku. Aku tahu orang ini perempuan, tapi entah mengapa nyaliku tiba-tiba surut atau bahkan padam di depan ajal yang sewaktu-waktu bisa menjemputku.
Aku harus bergerak.
Segera mungkin kulepaskan dengan paksa dekapan sang psikopat dan berlari sekencang mungkin menembus bayangan semakin kedalam semakin tidak kelihatan. Psikopat itu tidak berbuat apapun saat aku melarikan diri, jika ia mau sedari tadi membacok atau menusukku, itu menguntungkan daripada meninggalkan diriku lari begitu saja.
Psikopat itu tersenyum dari kejauhan sambil mengarahkan parang teracung tepat ke arahku. Senyumannya palsu. Tampak manis tapi nyatanya menyiksa. Ia sosok monster malam ini. Lebih seram daripada joe arwah Midnight Man.
"Lari, larilah. Bawa dirimu menuju teman-temanmu. Jika sudah terkumpul akan kubantai kalian dalam sekejap." Lirih psikopat.
Lima belas detik berlalu sejak aku lari terbirit-birit seperti menahan kencing tiba di gedung tujuh. Tanpa pikir panjang aku masuk gedung ini mengunci pintu masuk dengan mengangkat balok-balok kayu berukuran besar, kursi-kursi, batu besar hingga memblok pintu gedung.
Pikiranku kacau.
Napasku masih naik turun. Cepat sekali sampai mencoba untuk tenang saja tidak bisa.
Aku duduk untuk menenangkan diri sebentar.
Bodo amatlah. Yang penting sekarang selamat.
"Kampret. Nongolnya tiba-tiba." Gerutuku.
Ya tuhan. Anda bercanda? Semuanya jadi kacau, aku harus memikirkan cara lagi untuk bisa sampai di menara tanpa diketahui psikopat tersebut. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Sembunyi.
Hanya itu cara logis untuk bisa bertahan terlebih dahulu.
***