"Jangan, jangan pergi ke sana. Tempat itu gelap, dingin, dan sepi. "
***
Aku melemparkan batu ke depan. Sebagai tanda kalau mangsa akan menuju titik jebakan. Posisiku sudah berada jauh dari Haniyah. Sekali menoleh ke belakang hanya ada lorong kosong yang gelap.
Sampai titik jebakan, ku pelankan suara kakiku dan bergegas pergi bersembunyi di balik dinding. Kali ini menunggu Haniyah datang dan selanjutnya mendorongnya.
Napasku masih naik turun.
Keringatku mulai menetes.
Lari-lari di lorong sangat menguras tenaga.
***
Dua puluh detik menunggu. Mulai terdengar suara besi yang diseret dari ujung koridor. Sayup-sayup rasanya tapi aku sangat yakin Haniyah mengejarku. Napasku sudah tenang. Tapi keringat di dahiku masih terus bercucuran. Berkali-kali kuusap menggunakan tangan kananku tapi tetap saja. Ini antara takut dan khawatir.
Dari lorong gelap tersebut.
Muncul Haniyah berjalan menembus keluar kegelapan. Sosok tersebut menengok kiri kanan. Sesekali mengeram jengkel. Lalu mendesis dengan suara khas miliknya. Kucoba menengok sedikit, tiba-tiba hawa hening mendadak muncul.
Semua sudah siap. Rencana berjalan.
Haniyah melihat bangku dan batu yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Kami sengaja membuatnya seolah-olah kami bersembunyi di balik meja tersebut.
Aku menahan napas panjang. Sebisa mungkin tak membuat curiga. Kulihat tempat Rachel, ia tidak bergerak sedikitpun. Kurasa teman-temanku aman.
Haniyah menyebetkan goloknya dengan membabi buta. Membelah keheningan. Tidak terjadi apa-apa. Haniyah menebas udara kosong. Sedetik kemudian disusul lolongan bak serigala. Mengendus-endus sekitarnya.
Astaga lama sekali.
Cepatlah sadar kalau kami berpura-pura bersembunyi di balik meja tersebut.
Mataku tidak berkedip sama sekali. Menonton orang itu memeriksa satu persatu ruangan sekitar.
Bahaya.
"Jangkrik!!" kataku dalam hati.
"Kalau gini terus Rachel ketahuan."
Haniyah tidak tertarik dengan jebakan yang kami buat. Kurasa ia sudah tahu ada yang janggal di sekitarnya dan mencoba memeriksanya.
"Hey!!" teriak seseorang.
"Lo nyari gue?" teriaknya sekali lagi.
Itu Rayyan!! Aku menggigit bibir tidak percaya. Apa yang ia pikirkan saat ini. Keluar dari persembunyian dan mengalihkan perhatian agar Haniyah tidak memeriksa ruangan Rachel?
"Bodoh!!" batinku. Aku merangkak ke sisi dinding lainnya. Bergerak setenang mungkin hingga membelakangi Haniyah. Aku melihat Rachel, dengan bahasa isyarat telunjuk di mulut yang artinya Diam dulu. Aku memberitahu Rachel untuk tidak keluar disaat-saat genting seperti ini.
Haniyah menoleh.
Ia menatap Rayyan lamat-lamat. Kemudian mendesis kencang mengacungkan senjatanya dan mulai menyerang.
Rayyan yang masih terluka mencoba memberi perlawanan. Menghindar disetiap serangan yang ingin menggorok lehernya. Rayyan mendorong Haniyah hingga membentur dinding. Haniyah menjerit dan menghantamkan gagang parang tepat di punggung Rayyan. Rayyan terjatuh. Haniyah mengacungkan parang ke atas bersiap menusuk Rayyan.
Aku keluar tempat persembunyian
Berlari dan menghajar Haniyah dengan balok kayu yang kuambil tak jauh dari tempatku berada.
Brakk!!
Krrrkkk!!
Krrkkk!!
Bunyi leher yang terkilir. Kurasa tulangnya patah. Kutarik tubuh Rayyan menjauh dari Haniyah. Rayyan bangkit. Kami berdua bersiap hendak menyerangnya.
"Tunggu dulu!" Kataku menahan Rayyan yang hendak menghajarnya.
Haniyah tersenyum.
Darah keluar dari mulutnya. Ia memperlihatkannya pada kami. Lidah terjulur keluar warna merah dengan gigi kotor bersimbah darah. Kurasa ada yang berbeda dengan Haniyah.
Ah sial pikiran itu kembali lagi. Jangan berpikir di saat begini. Pikirkanlah itu setelah keadaannya aman.
Menyebalkan.
Kami mundur menjauh ke arah tangga. Memancing Haniyah. "Sini lo!." Kata Rayyan.
"Lo jangan mancing-mancing gitu, bodoh." seruku tegang.
"Sewot aja."
"Bego."
Haniyah melompat ke arah Rayyan. Rayyan menghindar dengan berguling ke kanan. Saat parang itu hendak merobek bagian perut Rayyan, aku mendorongnya. Kuhantamkan balok kayu sekali lagi, Haniyah menghindar dan balas menyebet, aku menahannya menggunakan kaki. Rayyan menambahkan pukulan dari arah atas.
Aku tidak bisa menjelaskannya secara detail tapi kami berhasil memojokan Haniyah untuk kali ini.
Tapi- Claarrss!
Rayyan terluka di bagian punggung. Darahnya keluar seketika membanjiri lantai. Aku menyeretnya menjauh terlebih dahulu sebelum kembali menahan Haniyah. Keadaan kambali terbalik. Kali ini kami yang terpojokkan.
"Udah gue bilang jangan sembrono." Gumamku.
Aku mendorong tubuh Haniyah sebelum tangannya terangkat hendak menyerang Rayyan. Kuhantam dengan balok kayu tapi Haniyah melakukan hal yang sama. Sekarang parangnya menancap di balok kayu. Aku ditendang hingga terlempar beberapa meter. Pegangan kayu terlempar bersamaan tubuh Rayyan ikut terlempar.
Tendangannya kuat sekali.
Tepat mengenai dadaku. Sakit sekali rasanya, sesak tidak bisa bernapas. Apa-apaan dengan tendangan seukuran wanita tersebut?
Haniyah berlari ke arahku, tapi Rayyan yang sudah bangkit melompat dan memukul kepalanya dari arah belakang. Tapi selanjutnya Rayyan harus jatuh untuk yang kedua kalinya. Haniyah berbalik. Melangkah hendak mencabut golok dari kayu tersebut.
Aku berusaha bangkit. Nyawa Rayyan dalam bahaya.
Haniyah kembali dengan parang sudah berada di tangan kanannya. Ia mendesis senang melihat kami berdua terkapar. Wajahnya gembira bukan kepalang, air liurnya menetes hendak melayangkan serangan penghabisan.
Haniyah menjerit. Senjata sudah terangkat dan berlari ke arah Rayyan.
Brakk!!
Kutendang kaki Haniyah hingga jatuh tersungkur. Ini kesempatanku untuk membawa Rayyan.
Cllaarrss!!
Tidak semudah itu. Aku berhasil ditebas di bagian dada hingga ketiak bagian bawah.
"Mmmggh!! Anjing." Kataku. Lukanya melebar. Darah bercucuran keluar.
Aku terkapar. Menahan perih dan tidak bisa berpikir lagi. Rayyan bergerak mundur ke dalam lorong. Pandanganku melihat Haniyah yang tersenyum senang karena lukaku. Ia mengambil botol di sekitar balkon dan kembali menghantamkan botol kaca tepat di atas kepalaku.
Lengkap sudah pandanganku kabur.
Botol kaca tersebut hancur meninggalkan serpihan kaca mengenai wajahku.
Pusing dan semua tampak buram.
Aku tidak bisa mendengar apapun, hanya dengungan beruntun dan rasa sakit yang kurasakan. Haniyah meninggalkanku, mendatangi Rayyan. Menarik paksa balok kayu lalu menghantamkannya keras sekali ke kepala Rayyan.
Rayyan juga tumbang.
Shit!!
Kami akan mati.
Sebelum kesadaranku hilang. Rachel keluar dari balik pintu. Menyerang Haniyah dengan sekuat tenaga terakhir, mendorongnya ke arah tangga dan berkali-kali melayangkan tinjunya ke kepala Haniyah.
Semua tampak Slow Motion.
Keringat dingin mulai terasa.
Rachel yang terluka melompat dari arah belakang Haniyah dan berhasil tersandung ke bawah lantai. Keduanya terjatuh tidak karuan. Membentur anak tangga dan dinding hingga akhirnya terjun bebas ke lubang tersebut.
Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku.
Hal terakhir yang kulihat sebelum Rachel terjun bersama Haniyah bibirnya mengatakan sesuatu yang tidak dapat kudengar. Hanya gerakan bibir slow motion mengungkapkan kalimat yang tak kupahami saat ini.
Hingga akhirnya aku jatuh pingsan.
Aku masih tidak percaya dengan semua ini, kejadian malam ini, detik ini. Rachel tewas bersama Haniyah.
Sedangkan Rayyan juga jatuh pingsan.
Seseorang menolong kami. Membawa keluar dan bersembunyi ke tempat aman. Seseorang yang melakukan kesalahan hingga menyebabkan Rachel tewas. Andai saja orang itu mau membukakan pintunya.
Maka Rachel pasti tidak bertemu ajalnya.
***
"Berani lo nantangin kita!!!" bentak kakak kelas saat masa MOS. Iqbal dihadang beberapa kakak kelas 12. Iqbal berada dalam masalah saat itu. Mengenakan seragam sekolah dengan tangan memegang kalung kardus bertuliskan Anak Nakal Jangan Ditiru pemberian kakak kelas. Ia disuruh mengenakan kardus tersebut sebagai tanda hukuman.
Tentunya Iqbal tidak mau. Ia memberontak.
Dalam lapangan siang itu, Iqbal dibentak-bentak di hadapan murid-murid baru.
Hanya karena masalah tidak menurut, Iqbal menjadi sasaran empuk bahan hujatan.
"Siapa lagi yang berani kayak bocil ini!!!?? Hah?!! Jawab!! Diurus malah bawel. Mau bikin aturan sendiri Lo!!?" Kakak kelas dengan muka sangar itu menyepak salah satu murid yang berada di depan barisan. Ia sangat kesal sekali akibat ulah Iqbal.
Salah seorang mengangkat tangan.
"Siapa yang nyuruh angkat tangan!!! Ada yang ngomong gitu nggak!!?" teriak salah kakel (Kakak Kelas) perempuan kepada seorang lelaki berbadan kekar.
"Tas? mana tas lo." Tanya kakel kepada Iqbal. Saat acara MOS siswa baru diberi sebuah tas kain oleh panitia. Gunanya hanya untuk membawa satu buku tulis, sisanya terserah. "Di kelas." Jawab Iqbal.
"Bagus. Bagus ya. Lo ambil sekarang, cepet!" teriak kakel tepat di telinga Iqbal. Iqbal mengendus kesal. Terpaksa melakukan perintah.
"Ini apaan?!" tanya Kakel tidak percaya setelah melihat isi dalam tas Iqbal. "Lo mau MOS apa mau jualan?! ha? ini roti buat apa banyak banget. Mau lo makan semua apa gimana ni?"
"Buat dijual." Jawab Iqbal. Sontak mendengar jawaban Iqbal seluruh kakel tertawa. Sedangkan murid baru yang melihat hanya bisa diam tidak membela. "Lo bercanda kan? buat di jual? uang jajan lo habis?" satu orang membuka bungkusan roti lalu memakannya di depan Iqbal. "Serius dijual. Satu roti dua ribu."
"Bodo amat. Udah nggak nurut, nggak bawa tas isi buku malah isi roti. Sekarang mau minta uang ke gue. Enak aja."
"Push up!! 100x sekarang!!" teriak kakel berwajah sangar tersebut kepada Iqbal. Iqbal yang menahan emosinya kembali terpaksa melakukan keinginan orang tersebut. Suasana mulai ramai. Kakak kelas 11 melihat dari lantai dua dan tiga. Ada tontonan menarik yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Perpeloncoan terhadap adik kelas. Sebagian kakel kelas 11 bersorak-sorak. Memulai keributan dengan melemparkan pensil dan kertas ke arah Iqbal.
Kurang ajar sekali.
Ironisnya. Lapangan tempat MOS ini lumayan jauh dengan kantor guru. Jadi tidak ada guru yang melihat aksi bullying ini terjadi.
"Nah!! Gitu dong Bocil!! Jadi orang itu yang nurut bego!!" teriak kakel yang lain.
Iqbal melakukan posisi Push up. Turun ke bawah dan naik. "Anjing!!" batin Iqbal. Kaki kakel berada di atas kepalanya saat melakukan Push Up. Kakel berwajah sangar itu meludah di pakaian Iqbal. Dan yang terakhir menjambak rambut Iqbal.
Iqbal sudah tidak tahan. Amarahnya memuncak.
Iqbal bangkit dan langsung melayangkan tinjunya tepat mengenai kakel yang meludah tersebut. Kesabaran Iqbal sudah habis. Ini jelas bukan didikan. Ini tindakan sampah gak berfaedah. Iqbal membabi buta menghajar kakel yang lain. Mendampratnya hingga terjatuh dan menendang kepalanya dengan keras.
Suasana mulai riuh porak poranda. Sorak-sorakan mulai terdengar dari tingkat dua, tiga. Iqbal dikeroyok kakel lain. Satu lawan sepuluh. Iqbal berada di tengah-tengah. Kakel maju bersama-sama. Iqbal menendang kakinya hingga beberapa jatuh. Menghajarnya habis-habisan tapi tangannya ditahan dua kakel. Tangan kiri dan kedua kakinya juga demikian. Sekarang Iqbal tidak bisa gerak. Kakel berwajah sangar itu tersenyum melihat Iqbal
Meludah ke samping.
"Brengsek lo ya." Katanya sambil meninju perut Iqbal. Iqbal terjungkal. Hendak meronta tapi cengkraman tangan kakinya tidak bergeming sama sekali. Terkunci dengan kuat.
"Anjing lo!! Berani keroyokan. Babi! Pengecut!!" teriak Iqbal.
"Mulu lo nyinyir juga ya." Balasnya. Selanjutnya Iqbal dihantam habis-habisan seluruh wajahnya.
Brakk!! Brakk!!
Laki-laki bertubuh kekar itu mendaprat salah satu kakel yang mengunci lengan Iqbal. Membantingnya dan menghajar wajahnya. Salah seorang lain juga datang membebaskan Iqbal melawan dua kakel secara bersamaan. Datang lagi. Dua tiga kakel jatuh tersungkur akibat tendangan anak berponi, Yang bertubuh kekar menjaga jarak memunggungi Iqbal. Anak bertubuh kurus itu juga lincah melayangkan tinjunya ke arah lawannya. Menendang dengan tendangan menukik seperti silat, kakel sukses dibuat jatuh.
Iqbal dibantu anak-anak baru.
Kali ini gerombolan yang melingkari Iqbal diisi empat orang yang saling memunggungi menatap kakel.
"Kalau pilih lawan yang sepadan lah. Dasar banci." Kata anak bertubuh kekar.
"Yah. Lagian juga main keroyok. Kakel zaman sekarang songongnya minta ampun." Kata anak perponi.
"Bisa nggak bicara dulu?" kata anak kurus tersebut. Di antara kami, dia paling terlihat gahar.
Entahlah. Tubuhnya memang lebih kecil daripada kami. Tapi nyalinya lebih besar dari yang kalian bayangkan. "Thanks." Kataku berterimakasih. Anak bertubuh kurus itu mengangguk. Anak berponi maju ke depan.
"Jadi!! Kita selesaikan dengan cara apa yang terhormat kakak kelas?" kata si poni
"Dengan cara laki." Jawab si sangar
"Pilihan bagus. Gue udah lama nggak buat orang masuk rumah sakit." Kata si kekar menekuk tangan.
Suasana memanas. Kegaduhan ini semakin besar hingga memancing datangnya guru-guru dan satpam. Rupanya ada yang melaporkan kejadian ini. Empat satpam berlarian menuju kami dan membubarkan keributan. Menggiring kami dengan kasar menuju kantor guru. Pertempuran kami belum pecah tapi satpam ini malah mengacaukannya. Ah, nggak asik.
"Kalian saya bawa ke kantor guru sekarang!!"
"Anjing lah, nggak seru!" kata si kekar.
Kakak kelas juga demikian. Mereka langsung dapat omelan oleh guru yang datang karena ketidak becusan memimpin masa orientasi ini. Di tengah lapangan dan disaksikan banyak orang. Terdengar suara tepuk tangan dari lantai dua, tiga. Sorak meriah dari kakel 11. Tidak sempat menoleh, kami sudah masuk kantor.
"Jangan takut. Kalau macam-macam lagi. Kita ladenin aja."
Kami mengangguk setuju.
Sejak saat itu, kami mulai kenal satu sama lain.
***