"Terkadang, sebuah silet bisa jauh lebih berbahaya saat jatuh pada seseorang yang salah."
***
Di pagar pintu masuk.
"Lewat sini." Pinta seseorang. Menuruni tangga tergesa-gesa keluar melalui pintu belakang. Mengamati kanan kiri sejenak lalu keluar beriringan.
Citra menyalakan senternya. Mengarahkan ke atas menghadap gedung satu. Tak berselang lama cahaya senter juga terlihat. Itu kelompok Eugine. Citra senang lalu mengomando yang lain untuk mulai menyusun meja. Satu persatu meletakkan meja secara bertumpuk. Dalam perjalanan Citra harus mencari meja-meja yang masih bisa digunakan, setelah berkeliling dan menemukan gudang. Satu orang mengambil satu meja lalu membawanya untuk ditumpuk. Begitu juga dengan regu Eugine.
Karena belum cukup, mereka kembali untuk mengambil meja.
"Pelan-pelan. Jangan lupa matikan senter." Kata Citra mengikuti dari belakang.
Tiba di gudang, segera mereka hendak membawa meja.
"Hey, lo nyadar nggak si, ada yang aneh ama meja-meja ini." Ucap Haqi yang tengah memperhatikan meja.
"Aneh kenapa?" tanya Yasmine.
"Ya aneh darimana coba meja-meja ini berasal. Dilihat dari tampilannya meja ini masih baru. Coba lo pertahatiin." Kata Haqi menyalakan senter. Menyorot tumpukan meja yang tertata rapi dibungkus dengan kain.
"Tertata rapi dan nggak berdebu." Citra mencolek bagian permukaan meja. Tidak berdebu seperti yang dikatakan. Aneh. Bangunan tidak berpenghuni tapi kondisi barang-barang di dalam gudang tidak mengalami perubahan. seperti meja-meja ini. Hanya bagian kain yang kotor sementara bagian dalam masih terjamin. Ada sesuatu yang mengganjal sekarang. Ini seperti sudah disiapkan seseorang. Dan seseorang itu sudah memprediksi akan ada yang menggunakan semua ini. Ia berhasil menjalankan rencananya.
Rumah tidak berpenghuni tidak akan kotor selagi ada penghuni yang mendiami rumah tersebut. Dan untuk kali ini, siapa kira-kira penghuni asrama ini?
"Coba ke sini. Lihat." Pinta Haqi
Yasmine dan Citra berhenti memperhatikan meja. Menghampiri Haqi.
Haqi memperlihatkan tumbukan buku tulis. Di dalamnya terdapat catatan dengan nominal di samping tulisannya. Banyak sekali angka-angka yang ditulis hingga membentuk daftar belanja. Sepertinya ini catatan transaksi. Tapi mereka tidak bisa membaca tulisan daftar barang apa aja yang dibeli, sebagian besar karena tintanya pudar.
"Kayak transaksi." Ucap Citra.
Yasmine lalu mengambil secarik nota yang terselip di bagian akhir buku.
"Ini nota."
Citra dan Haqi juga melihat nota tersebut. Jika diperhatikan lebih lanjut, tidak hanya satu nota saja, Yasmine membuka tumpukan buku lain secara sembarang dan berhasil menemukan tumpukan nota lengkap dengan harga-harganya. Saat Yasmine menemukan buku sampul putih dengan noda darah bagian pinggirannya, ia terkejut bukan main. Raut wajah Yasmine yang semula penasaran sekarang berubah ketakutan setelah membuka berberapa halaman.
Yasmine menelan ludah. Ada yang nggak beres dengan semua ini. Sekarang kejanggalan satu per satu terungkap. Dan ini tidak main-main. Kenapa ada orang sengaja membuang semua catatan transaksi di bangunan yang terbengkalai. Kalaupun bangunan ini mau direnovasi setidaknya tidak membiarkan segala keperluan administrasi tergeletak hingga catatannya memudar begitu saja. Ada kesengajaan di sini dan ini diperkuat dengan buku putih noda darah tersebut.
"Tintanya masih baru." Gumam Citra.
"Maksud lo?" tanya Haqi.
Haqi dan Citra saling pandang.
"Ini nota paling baru. Yang berarti semua bangku-bangku di gedung ini, eh nggak. Bangku di asrama ini-"
Citra tidak melanjutkan ucapannya. Haqi pasti sudah tahu maksud Citra.
Dengan perasaan ambigu Yasmine melangkah mendekati Haqi.
"Nggak cuman itu Cit." Yasmine lalu memberikan buku yang ditemukannya kepada Citra. Citra membuka buku tersebut dengan ragu-ragu.
"Astaga." Citra merinding ketakutan. Melihat keluar pintu.
LO SEMUA BAKAL MATI DI SINI
"Kenapa Cit?" tanya Haqi
"Eugine, Eugine. Mereka dalam bahaya!!" Citra langsung berlari keluar gudang hendak menyusul kelompok Eugine.
***
"Zak. Zakky. Jangan cepet-cepet." Bisik Eugine hati-hati saat mereka melintasi area pintu masuk. Dalam kegelapan mereka menyelinap pelan-pelan lalu menutup pintu depan. Zakky tidak membalas perkataan Eugine. Gerakannya malah semakin di depan meninggalkan Eugine dan Ulvan di belakang.
Eugine menyalakan senter ponsel menerangi area sekitar. Ketika mengarahkan senter ke ruangan sebelah kanan. Dalam sekejab Eugine menangkap ada bayangan hitam bergerak cepat lewat di ujung lorong. Eugine refleks mengarahkan senter ke arah lorong. Kosong. Matanya mencoba memastikan.
"Ada apa?" tanya Ulvan yang melihat Eugine berdiri mematung.
"Kayaknya gue lihat sesuatu barusan."
Mata Ulvan berkedut melihat ujung lorong yang sepi. Mencoba memastikan, Ulvan bertanya sekali lagi.
"Lo yakin?"
Eugine mengangguk.
"Cepet matiin senternya. Kita susul Zakky." Ulvan menyadari ada hal yang tidak bisa dianggap remeh, memutuskan untuk segera menyusul Zakky. Ulvan segera memegang pergelangan Eugine lalu berlari dalam kegelapan.
Ulvan berlari ke lorong sebelahnya, mengandalkan insting Ulvan menduga Zakky menuju gudang tempat meja diambil. Sesekali menghentikan langkah hanya sekedar mendengar apakah ada sesuatu bergerak di depan mereka. Karena mengandalkan indra pendengaran tangan kiri Ulvan meraba dinding agar tidak tersesat. Sebelumnya mereka sudah melewati gedung ini. Tapi tetap saja harus berhati-hati.
Kemana.
Kemana selanjutnya.
Saat berada di dua cabang lorong Ulvan sedikit kebingungan. Ulvan meraba sekelilingnya. Kanan!
Ulvan berlari lagi sambil mempererat pegangan tangan kanannya. Ketika jarak gudang dirasa sudah dekat, Ulvan mengambil ponselnya dan menyalakan senter. Ketika hendak mengarahkan senter ke dalam gudang Ulvan melihat cairan berwarna merah keluar dari bawah pintu. Perasaannya sudah mulai kemana-mana melihat cairan di depan matanya tersebut. Eugine melihatnya juga menarik pergelangan Ulvan ketika hendak membuka pintu gudang.
Eugine menggelengkan kepalanya. Tanda tidak setuju, pasti ada sesuatu di dalamnya.
Hanya satu pikiran mereka.
Zakky. Apa yang terjadi padanya.
Ulvan menelan ludah. Apa jangan-jangan psikopat itu udah berada di gedung ini dan nggak ngejar kelompok Iqbal? Atau jangan-jangan mereka sudah tewas dan psikopat itu sudah berada di sini? Akibat banyak pikiran tersebut membuat jantung Ulvan terpompa. Antara takut atau penasaran. Karena saking penasarannya Ulvan memutuskan memberanikan diri membuka pintu gudang. Melepas pergelangan Eugine.
Mendorong pintu dengan hati-hati, terdengar suara kiek engsel yang sudah berkarat membuat detak jantung semakin menggebu walau sedetik. Dalam satu tarikan dorongan kecil sesuatu melesat dengan cepat keluar dari pintu.
JLEEBB!!!
CSSSSS!!!!
Anak panah melesat menembus tenggorokan Ulvan. Menghempaskannya hingga menancap di dinding. Kejadian itu begitu cepat hingga membuat cahaya senter jatuh mengarah ke segala arah. Eugine menjerit, darah muncrat mengenai wajah Eugine. Semua terjadi begitu cepat dan tidak terduga sama sekali. Tentu saja Eugine ketakutan melihat peristiwa tak terduga itu. Ia memegangi kedua tangannya melihat dengan tatapan serba bingung harus bagaimana. Sementara Ulvan kejang-kejang dengan mata melotot memandangi Eugine. Lubang leher Ulvan terkoyak membuat lubang anak panah tersebut semakin membesar. Darah muncrat kemana-mana, lantai dipenuhi rembesan darah yang turun hingga kaki Ulvan. Ulvan tidak bisa bernapas, mulutnya terbuka dan darah keluar dengan deras.
Eugine menangis. Lalu menjerit dengan keras.
"TOLONG!!!"
"TOLONG!!"
Suara itu menggema dari satu lorong ke lorong lainnya. Meninggalkan suasana mengerikan dimana teman yang sekarat merasakan sakit luar biasa hebat, sedangkan teman lainnya tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis meratapi termannya berharap seseorang datang menolong. Namun pada faktanya ia sendiri ketakutan dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Suara jeritan Eugine terdengar hingga luar gedung. Citra bersama Yasmine dan Haqi mendobrak pintu sekuat tenaga masuk ke dalam gedung. Kuat sekali dobrakan tersebut hingga suara patahan pintu lumayan bikin rusuh. Citra mengarahkan senternya ke segala penjuru. Dari mana? dari mana suara tadi? Batin Citra gelisah.
Lalu kemudian Citra mendengar suara tangisan dari lorong kanan. Itu suara tangisan Eugine. Pasti, tidak ada suara perempuan di gedung ini selain Eugine itu sendiri.
"Sini!" teriak Citra berlari secepat mungkin. Ia berharap semuanya masih belum terlambat. Buku catatan itu. Semua yang tersimpan di dalamnya adalah kumpulan kertas berisi foto masing-masing dari kita. Orang yang masuk ke area asrama ini. Nama, alamat, foto, dsb berkaitan dengan identitas sudah ditargetkan oleh psikopat itu.
Semua kejadian ini sudah direncanakan. Semua teman-teman yang sudah tewas bukanlah membunuh secara acak. Tapi berurutan sesuai nama yang sudah diurutkan. Dan sekarang Ulvan dan yang lainya tengah diburu.
"Gine!!"
"Egunie!!" Teriak Citra panik.
Sambil memandangi setiap ruangan yang dilewati semua tampak berpacu pada waktu dan pikiran. Tidak ada yang lebih penting ketimbang hidup seseorang yang sudah ditargetkan akan hilang untuk selamanya.
Akan tetapi dari kejauhan. Sejauh cahaya senter menerangi lorong, tepat di persimpangan lorong seseorang menyeret Eugine dengan kasar. Menarik rambutnya dengan paksa lalu menyeret Eugine sehingga tubuhnya ambruk bergerak melewati lorong.
"TOLONG!!" Teriak Eugine kesakitan. Wajahnya berlumuran darah.
Tak jauh dari hilangnya sosok misterius yang menyeret Eugine. Citra dibuat menutup mulut melihat apa yang terjadi di hadapannya saat ini. Yasmine juga demikian. Haqi memilih memalingkan wajahnya ketika melihat Ulvan sudah menjadi mayat secara mengenaskan. Mata Ulvan melotot, mulutnya terbuka, dan anak panah masih menancap di leher Ulvan menyebabkan darah masih keluar menggenang mewarnai lantai dengan pekat warna merah.
Yasmine ambruk. Ia menangis melihat Ulvan yang sudah meninggal. Kini temannya berkurang satu lagi.
"BRENGSEK!!!" Teriak Haqi tiba-tiba. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan air mata yang terkumpul di kelopak matanya. Ada rasa sedih dan murka bercampur satu, dan kali ini Haqi tahu siapa orang yang akan menjadi samsak tinjunya sebentar lagi. Haqi berlari mengejar Eugine meninggalkan Citra dan Yasmine.
Citra lalu mendekati tubuh Ulvan. Menutup mata Ulvan perlahan dan menghela napas pendek. Citra membantu Yasmine berdiri, meletakkan tangan kiri Yasmine melingkari leher Citra agar mereka tetap bisa berjalan menyusul Haqi.
"Ayo Min. Kita nggak boleh pisah."
"Maaf Cit." Kata Yasmine. Ia sadar kakinya tidak kuat untuk berdiri sendiri.
Suara jeritan Eugine semakin jauh. Lorong ini sekarang menelan setiap suara keras yang dihasilkan. Dengan susah payah Citra harus menyorot senter ke segala arah, agar tidak tersesat. Mereka terus mencari Haqi sebisa mungkin. Dalam bayang-bayang, Citra tidak bisa dengan mudah melupakan kejadian barusan. Itu begitu sadis dan mengerikan. Kalau tidak ada orang yang bisa membayangkan apa yang Citra alami, percayalah itu karena saking mengerikannya apa yang terjadi dengan kenyataan.
Panah.
Iqbal sudah memberitahu persoalan benda mematikan tersebut. Psikopat yang ditemui Iqbal membawa parang dan crossbow. Citra sekarang tahu bukan hanya senjata yang dibawa psikopat melainkan benda-benda seperti rantai, gembok, jebakan, bahkan peledak. Itu disimpulkan Citra ketika melihat banyaknya nota dan catatan transaksi jual beli psikopat. Alasan mengapa Citra berteriak lalu berlari hendak menyusul Eugine dan kawan-kawan adalah Citra paham apa yang disembunyikan di bawah tanah luar pagar. Setelah kita berhasil menyusun meja lalu lompat keluar, hal yang terjadi selanjutnya adalah tubuh kita bakal hancur berkeping-keping menginjak ranjau yang sudah disiapkan.
Pintar.
Genius.
Psikopat itu menyediakan meja sebagai umpan dan ranjau sebagai jebakan. Itulah mengapa kawat atas pagar sengaja dibiarkan terpotong.
Tap tap!!
Suara orang berlari dalam keheningan. Citra mendengarkannya langsung berteriak. "Haq!!! Haqi!!!"
Tidak ada jawaban. Ini jelas membuat Citra kesal. Mereka berjalan dalam kegelapan yang begitu pekat dengan senter sebagai penerangan. Dari jauh mereka sudah seperti dua orang uji nyali di salah satu acara televisi, bedanya ini nyata dan tidak ada settingan. Apa yang terjadi di sini antara hidup dan mati. Bukan berurusan dengan arwah mengerikan. Tapi orang itu sudah lebih mengerikan dari arwah penasaran.
"Woy berhenti!!" teriak seseorang.
Itu suara Haqi. Jaraknya tidak terlalu jauh sehingga Citra dan Yasmine mendengarnya dengan jelas. "Ke atas." Kata Citra mantab. Yasmine menganggukkan kepala. Suara itu terdegar seperti bergerak ke lantai atas. Yasmine tidak mengalungkan tangannya ke Citra lagi. Ia sekarang cukup kuat untuk bisa berjalan. Keduanya mencari jalan menuju lantai atas.
Saat tiba di lantai dua, suara teriakan Haqi terdengar lagi.
Keduanya bergerak cepat tidak mau kehilangan jejak. Napas berpacu dengan waktu. Meski sempat kebingungan mencari tangga untuk naik ke lantai tiga akhirnya mereka menemukannya. Citra mengarahkan senternya ke segala arah. Mencari jejak Haqi dalam kegelapan. Satu persatu ruangan yang dilalui Citra selalu ia cek, yang tampak hanyalah sebuah kamar kosong dengan kayu berserakan di lantai.
"Mana?" gumam Citra.
Saat di percabangan lorong yang berbeda. Yasmine melihat sesuatu di atap gedung. Dari kejauhan melalui jendela lorong, Yasmine melihat dengan jelas seseorang menarik rambut Eugine menyeretnya hingga ujung atap. Meski tubuh sosok itu terkena cahaya rembulan wajahnya masih samar-samar untuk dikenali. Yasmine menggigit bibir.
"Itu!!Itu!!" Teriak Yasmine histeris sambil menunjuk keluar jendela.
Mata Citra membesar melihat hal tersebut. Psikopat itu berencara melempar Eugine jatuh dari atap lantai tiga.
"Cepet!!!"
Mereka berdua berlari sekencang mungkin melewati lorong kanan. Mengarahkan senter kesana ke sini hanya untuk segera mencari tangga menuju atap. Pikiran Citra melayang layang memikirkan hal apa yang akan terjadi jika mereka terlambat. Satu nyawa akan hilang. Sudah cukup, sudah cukup malam ini menjadi malam terburuk bagi Citra. Tak terbendung air mata Citra tumpah mengalir ke pipinya yang kusam karena debu. Yasmine sudah lebih dulu embali menangis, sambil berlari matanya berputar-putar mengikuti arah senter ponsel miliknya.
"Please. Jangan, jangan lagi." Citra begitu frustasi.
***
Sementara itu. Di tempat Kausar dan Tsaqib.
Hawa dingin datang dengan sendirinya mengigilkan tubuh secara spontan. Mereka sudah mengecek berberapa pintu masuk agar jebakan berjalan mulus, menyisakan satu pintu masuk agar Iqbal dapat menggiring psikopat ke arah mereka.
Saat hendak memblokade lantai dua secara tidak sengaja Kausar mendengar suatu suara. Refleks Kausar menyiapkan senjata berupa balok kayu di tangan kanannya.
Ssttt
Ssstt!!
Tap!
Tsaqib menoleh ke Kausar.
"Lo terusin. Gue yang cek." Perintah Kausar pada Tsaqib. Awalnya Kausar kira hanyalah prasaannya saja. Tapi lama-kelamaan suara itu seperti berjalan di sekitar lorong, mendekat dan semakin besar. Tsaqib mendengarnya, itu berarti suara yang didengar Kausar bukan imajinasinya saja.
Kausar mengarahkan senter keluar ruangan. Matanya jeli melihat kanan kiri depan. Bersiap mengayunkan balok kayu sekuat tenaga.
Menyusuri lorong yang hening, Dari balik tembok siluet orang muncul. Kasuar hendak akan mengayunkan balok kayu tapi tertahan saat keluar ucapan. "Ah, halo." dari sosok tersebut. Ia terkejut setelah cahaya senternya tepat menyorot wajah Rayyan.
"Rayyan." Kausar menghela napas. Menurunkan balok kayu ke lantai, wajahnya terlihat canggung. Rayyan menghembuskan napas panjang. "Huh, Syukur. Gue kira siapa tadi."
"Lo sendirian sampai sini?" selidik Kausar. Mengingat Kausar tidak seakrab teman lain berhadapan dengan ketua angkatan menurutnya ini suatu pertemuan yang canggung. Tapi tidak dengan Rayyan, ia tersenyum. "Ya gitu. Gue coba lari sembunyi-sembunyi, nyelinap masuk gedung ke gedung lain."
"Oh."
Kausar membalikkan badan. "Ikut gue, kita punya rencana."
"Kita?" tanya Rayyan mengikuti Kausar dari belakang.
"Gue nggak sendiri di gedung ini. Ada Tsaqib-"
Claaarrshhhh!!!!
Belum habis perkataan Kausar. Rayyan sudah menusuk leher Kausar dari samping menggunakan silet yang ia selipkan di belakang baju. Rayyan menyergap Kausar dengan segera menutupi mulut menggukanan tangan kirinya. Rayyan menyayat secara perlahan dari samping hingga depan, rasa sakit yang dirasakan Kausar membuat tubuhnya bergerak kasar, memukul wajah Rayyan secara membabi buta, mendorongnya hingga membentur dinding, perlawananan Kausar untuk terakhir kalinya membuat Rayyan semakin ganas menyayat leher Kausar seperti menyembellih hewan kurba. Darah mengalir segar. Tangan Rayyan dipenuhi darah Kausar.
Perlahan-lahan tubuh Kausar mulai ambruk, tangannya lemah tidak bisa bergerak lagi. Mulut Kausar keluar darah. Leher Kausar tersayat sempurna meninggalkan darah segar memenuhi lantai.
Rayyan tersenyum puas. Lalu berkata, "satu."
***