Pertemuanku dengan Tyas merubah pandanganku tentang mencintai seseorang. Jika aku tidak ditakdirkan untuk bersama Johan, kisah hidup Tyas membuatku mengerti. Aku tidak boleh membiarkan obsesiku mengalahkan keinginan Johan untuk bersama Intan.
Seminggu kemudian aku kembali ke Jogja dan sengaja menghindari Johan dengan berbagai alasan. Aku tahu tidak semestinya menghindari laki-laki itu di tengah kondisinya yang tidak baik. Namun, kondisiku sendiri tak kalah buruk.
Ketika berada di Bali aku sempat mendatangi psikiater dan meminta saran atas hidupku yang tidak pernah baik-baik saja. Dari sana aku mendapatkan banyak saran berharga tentang cinta bukan segalanya yang harus dikejar dalam hidup.
Aku sudah belajar banyak dari empat pernikahanku yang gagal. Aku tidak boleh fokus pada hidupku dalam mengejar Johan dan menjadikan pelajaran mencintai laki-laki itu yang tidak pernah bisa kumiliki.
Intinya aku sudah menyerah dengan perasaan yang tak kunjung memberikan jawaban. Aku bahkan sudah mirip seperti perempuan murahan yang tidur dengan sahabatnya sendiri. Jika hal ini diteruskan, aku hanya menjadi pelampiasan sesaat dan bukan secara emosional.
Aku membuat keyakinan untuk melupakan perasaanku pada Johan.
Tiba-tiba aku teringat dengan lowongan jodoh yang saat itu sempat dibuat Johan. Sekarang Arsa sudah pergi dari hidupku, maka aku perlu mencari kandidat yang cocok untuk mengisi hidupku yang kosong.
Aku berniat untuk membuka lembaran baru bersama orang lain. Saatnya kencan buta dimulai!
***
Dress putih selutut menjadi pilihanku menghadiri kencan buta dengan seorang pengusaha asal Jakarta. Mendengar kota itu, aku jadi teringat dengan masa kecilku. Namun, beberapa kenangan itu tidak boleh menjadikanku lemah.
Restoran yang kupilih tidak begitu mewah, tapi cocok untuk dijadikan tempat kencan. Kesan yang mungkin kudapatkan tidak seperti yang kuinginkan. Paling tidak, aku sudah berusaha menunjukkan betapa kerasnya niatku pada kencan itu.
"Hai."
Aku tersenyum melihat seorang lelaki berjas duduk di kursi seberangku. Rambutnya sedikit acak-acakan, tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya. Kulitnya yang putih sesuai dengan raut wajahnya yang imut. Jika aku tidak terlanjur mencintai Johan, menyukai orang yang duduk di seberangku pasti tidak akan sulit.
"Hai," balasku sopan.
Laki-laki itu memanggil pelayan setelah menyampirkan jasnya di sandaran kursi. Kemeja biru muda yang membalut tubuhnya membuatku terpana selama beberapa detik. Masalahnya kemeja itu mencetak tubuhnya yang atletis. Begini-begini aku termasuk perempuan yang menganggumi lelaki tampan.
Beruntung sekali teman kencanku malam ini merupakan laki-laki yang menarik.
"Jadi, kenapa lo buka lowongan jodoh?" tanya laki-laki itu membuka percakapan.
"Lalu, kenapa lo tertarik lamar di sana?" Aku balas bertanya.
Laki-laki itu tertawa pelan memamerkan lesung pipi di wajahnya yang tampan. Aku terpukau melihat betapa sempurnanya laki-laki yang duduk di seberangku.
"Karena gue tertarik sama lo," jawabnya.
"Selembar foto dan riwayat hidup nggak mungkin buat lo tertarik," ucapku.
"Gue cari sesuatu yang beda." Laki-laki itu berujar pelan, "Sesuatu yang mungkin belum pernah gue rasain."
"Lo nggak mungkin penasaran sama lowongan jodoh yang konyol ini, 'kan?"
Aku sangsi jika laki-laki itu sungguh tertarik dengan hal seperti ini. Namun, jawaban yang diberikan membuatku terpaku selama beberapa detik.
"Gue pernah ketemu lo di toko bunga dan itu terjadi secara nggak disengaja. Lalu setelah itu gue sengaja lamar dengan harapan diterima. Nggak nyangka kalau beberapa bulan kemudian gue bisa ketemu lo di sini."
"Lo terlalu terus terang," balasku sambil tersenyum.
"Gue orangnya memang terus terang, termasuk tentang lo."
Kencan itu berlangsung dengan lancar dan kesan pertama yang kudapatkan dari laki-laki itu cukup baik. Ketika akhirnya kami berpisah karena malam telah larut, laki-laki itu mengenalkan dirinya dengan cara yang cukup aneh.
"Kalau lo percaya, kita akan ketemu di sini dan pelayan itu bakal kasih tahu nama gue sama lo. Selamat malam, Molly."
Sesudahnya laki-laki itu berlalu dari hadapanku meninggalkan sejuta tanda tanya yang tidak bisa kupahami.
***
Sepenuhnya aku tidak berhasil menghindari Johan meski aku sudah bertemu laki-laki lain. Pada bulan pertama aksi menghindari Johan berhasil, tapi pada bulan kedua laki-laki itu kembali mengusik hidupku.
"Ngapain lo di sini, Jo?" tanyaku dingin.
"Cuma mau memastikan kalau kencan itu nggak berhasil buat gue berhenti cari lo," jawab Johan tak kalah dingin.
"Oh, ya?"
Aku tertawa sinis dan melewati Johan yang masih berdiri di teras. Aku baru saja melewati obrolan menyenangkan dengan teman kencanku. Sekarang harus hilang akibat kedatangan Johan yang terkesan tidak tahu diri.
"Lo nggak akan berhasil dengan cara kayak gini, Molly!"
Bentakan Johan tidak menyurutkan niatku membuka pintu rumah. Aku tidak sempat mencegahnya masuk dan tubuhku sudah berada dalam pelukannya.
Pelukan itu masih sama, hangat dan nyaman. Namun, aku tidak boleh larut dengan perasaan semacam itu. Cinta sepihak tidak pernah baik untuk kesehatan mentalku.
"Gue sama Intan udah selesai, Mol. Apa lo bisa percaya sama gue?"
Aku menggeleng. "Semuanya nggak semudah itu, Jo. Meskipun hubungan kalian udah selesai bukan berarti perasaan lo ke dia ikut selesai. Kita nggak pernah searah soal perasaan. Lo harusnya tahu kalau dari dulu gue nggak pernah jatuh cinta sama orang lain. Bahkan sama Arsa sekali pun."
"Iya, gue tahu."
"Lo masih nggak bisa kasih gue jawaban, Jo."
Johan mengeratkan pelukannya membuatku terisak. Aku sudah mendatangi psikiater demi mengurangi beban mental. Namun, kedatangan Johan mampu merusak semua rencana yang sudah kubangun susah payah.
"Gue juga suka sama lo, Mol. Bahkan gue lebih dulu suka sama lo."
"Bercanda lo nggak lucu, Jo."
"Gue nggak bercanda, Mol. Gue suka sama lo dari remaja, tepatnya orang pertama yang gue suka itu lo."
Aku tidak percaya ternyata Johan lebih dulu menyukaiku ketimbang aku menyukainya. Selama ini tidak ada tanda-tanda bahwa laki-laki itu menyukaiku. Jika benar menyukaiku seharusnya Johan melarangku menikah dengan orang lain.
"Gue hancur pas lo nikah sama orang lain dan mereka bukan orang baik-baik. Gue datangi mereka dan kasih peringatan soal itu. Cuma gue nggak bisa ungkapin perasaan itu dan akhirnya gue nerima Intan. Dari awal dia tahu kalau perasaan gue ke lo nggak pernah berubah, tapi saat itu gue mau berusaha buat Intan. Apalagi saat itu hubungan lo sama mantan suami lo lagi bagus-bagusnya. Gue nggak mau ngerusak kebahagiaan lo demi keegoisan gue, Mol," jelas Johan.
"Lo bilang kayak gini buat gue jadi bodoh banget, Jo."
"Lo memang bodoh, Mol. Kalau lo pinteran dikit, lo nggak mungkin nikah sampai empat kali. Lo nikah cuma jadikan pelampiasan soal perasaan yang lo pikir sepihak. Sekarang setelah semuanya jelas, apa gue masih punya kesempatan?"
"Apa gue boleh nolak?"
Johan mengeratkan pelukannya. "Lo nggak bolah nolak gue, Mol."
"Semesta ternyata suka bercanda ya, Jo?"
"Kalau nggak bercanda, gue nggak mungkin berani ungkapin perasaan gue ke lo."
Bisa dikatakan bahwa ucapan Johan mirip seperti pengakuan. Aku mungkin tidak bisa lari dari takdir mencintai Johan seumur hidupku.
***