Kecewa karena Johan itu sudah biasa. Aku hanya perlu memandang sesuatu dari sudut berbeda dan hal yang perlu aku lakukan adalah menjauh dari Johan.
Menjelang pagi aku sudah berada di Bandara. Johan tidak menghubungiku dan itu artinya laki-laki itu sedang sibuk bersama Intan.
Kedatanganku ke Bandung hanya sia-sia, sebab awal Intan yang menempati posisi penting di hati Johan. Aku sangat kecewa, tapi tidak bisa menahan Johan untuk terus di sisiku.
Hari menjelang sore ketika aku tiba di rumah. Ponsel yang sejak berada di Bandung sengaja aku matikan, begitu tiba di rumah mendapat kunjungan tidak terduga dari Arsa.
Laki-laki itu sudah bersandar di dinding pintu rumahku dengan ponsel tidak terlepas dari tangannya. Aku menghentikan langkah untuk mengatur emosi terpendam.
Arsa belum menyadari keberadaanku, tapi begitu kepalanya mendongak. Saat itu tatapan mata kami bertemu dan Arsa langsung menghampiriku.
"Mbak Molly, kenapa?"
Aku menggeleng, lalu melangkah menuju rumah. Koperku tertinggal di kamar Johan dan itu sudah tidak penting lagi.
"Mbak ngapain ke Bandung?"
Arsa masih bertanya ini-itu selama proses aku membuka pintu rumah. Entah kenapa tanganku bergetar hebat mengingat Johan dan Intan berpelukan.
"Mbak?"
Aku melempar kunci itu ke lantai, lalu jatuh berlutut dengan emosi berantakan. Arsa menghampiriku, tapi aku menepisnya kasar.
"Jangan sentuh gue!" sentakku keras.
Arsa tidak mendengar teriakanku justru berusaha membantuku berdiri. Sikapku yang kekanakan ini justru membuat Arsa terlihat lebih dewasa.
"Kita ngomong di dalam aja, Mbak," ucap Arsa sambil membuka pintu.
Dua jam lamanya aku melamun di bawah tatapan Arsa. Isi kepalaku yang tadinya penuh menjadi sedikit lebih rileks. Arsa masih muda, tapi mampu menenangkan emosiku yang tidak terkendali.
"Gue bingung," ucapku lirih.
"Mbak bisa cerita sama saya," balas Arsa.
"Selama ini gue nggak tahu artinya bahagia. Gue pikir setelah semua yang terjadi, ada masanya seseorang akan bahagia."
"Ini alasan Mbak Molly tiba-tiba ke Bandung?"
Aku tidak meneruskan pembahasan itu karena percuma saja, Arsa bukan orang terdekatku.
"Lo bisa balik," ucapku dingin.
Aku juga tidak mengucapkan terima kasih atas perbuatan Arsa barusan.
***
Satu bulan kemudian Johan mencariku dan berusaha menjelaskan perihal kedatangan Intan ke Bandung. Jika Johan tidak membuatku berharap, bisa saja orang beruntung yang dipeluknya adalah aku. Namun, semua itu sudah tidak penting lagi.
Selain Johan, aku juga bisa meyukai orang lain.
"Gue sibuk, Jo," ucapku enggan.
Johan datang ketika toko sedang ramai oleh pengunjung. Menjelang akhir bulan pesanan bunga meningkat dan itu membuatku bersyukur. Setidaknya bayangan Johan lenyap oleh kesibukan itu.
"Lo sengaja ngehindarin gue, Mol," ucap Johan penuh penekanan.
"Lo nggak lihat gue sesibuk apa?"
Aku tidak bisa menahan suaraku tetap normal. Johan perlu diberi pelajaran agar sekali-kali bisa menghargai orang lain.
"Gue tahu lo nggak sesibuk itu."
Johan lebih menyebalkan dari yang aku kenal puluhan tahun lalu.
"Lima menit setelah itu terserah lo mau apa," ucap Johan lalu keluar dari ruanganku.
Kafe menjadi pilihan Johan untuk membicarakan masalah ini. Aku mendengus ketika melihat cincin pertunangan masih tersemat di jari manis laki-laki itu.
"Gue minta maaf soal kejadian itu," ucap Johan membuka pecakapan.
Aku mengaduk minumanku demi menghindari tatapan Johan. Puluhan tahun bersahabat, akhirnya aku memahami Johan.
Laki-laki itu tidak pernah mencintaiku.
***
"Gue masih ingat waktu lo pergi tanpa ngasih kabar," ucap Johan sambil menyesap kopinya.
"Gue nggak mau ganggu waktu lo sama Intan," balasku acuh.
"Lo selalu ngambil keputusan sendiri nggak peduli sama pendapat gue."
Aku menatap Johan tajam, seharusnya yang berkata seperti itu bukan laki-laki itu. Puluhan tahun bersahabat baru kali ini aku mendengar Johan berkata seperti itu.
"Apa selama ini lo pernah ngasih pendapat?" tanyaku sinis.
Johan meletakkan cangkir kopinya dan balas menatapku tajam. Atmosfer di antara kami menjadi mencekam seolah masing-masing akan meledakkan kepala dengan emosi.
"Lo udah nikah empat kali dan selama itu apa lo pernah minta pendapat gue?" tanya Johan.
Aku bungkam.
Johan menyerangku dengan telak, tapi saat itu tidak pernah mengatakan apa-apa. Seandainya dulu Johan mengatakan kalimat yang sama. Aku tidak akan menyandang status janda sebanyak empat kali.
"Lo selalu ngambil pendapat sepihak tanpa melibatkan pihak lain yang sebenarnya peduli sama lo, Mol. Kalau sejauh itu lo nganggap gue nggak peduli sama urusan pribadi lo, penilaian itu salah besar. Gue selalu peduli tentang pilihan-pilihan lo yang brengsek. Gue juga peduli saat lo kecewa atas pernikahan yang gagal. Gue juga peduli saat lo bimbang sama pilihan lo, tapi satu hal yang nggak bisa gue lakuin adalah nunjukkin sikap itu secara terang-terangan."
Johan bangkit dari duduknya dan meletakkan uang di meja. Percakapan ini sama saja menghancurkan hatiku yang sejak awal sudah rusak.
***
Malam harinya Arsa sudah menungguku di depan pintu. Kebiasaan laki-laki itu tidak pernah berubah dan itu membuatku sedikit kesal.
Wajah letih serta kemejanya yang kusut tidak menyurutkan keinginan laki-laki itu untuk menemuiku. Padahal, aku selalu mengacuhkan keberadaannya supaya emosiku terjaga dengan baik.
Johan masih menjadi penyebab utama kegalauanku, tapi Arsa mampu menghilangkan perasaan itu.
"Mbak Molly baru pulang?"
Aku melewatinya dan memilih membuka pintu. Arsa mengikutiku ke dalam rumah setelah melempar tas kerjanya ke sofa ruang tamu. Sikap laki-laki itu sudah seperti penghuni rumah sejati. Aku saja jarang melakukan hal itu, tapi mengabaikan sikap menyebalkan Arsa.
Aku pergi ke dapur, Arsa juga ikut ke dapur. Begitu aku masuk ke dalam kamar, laki-laki itu juga menyusulku ke dalam. Aku membanting pintu kamar mandi dan nyaris menghantam hidungnya.
Emosiku mendadak tidak terkendali saat mengingat Johan.
"Gue kenapa, sih?" gumamku pelan.
Aku menatap wajahku di cermin wastafel kemudian tersenyum miris. Untuk apa aku memikirkan Johan?
Hubungan ini hanya murni persahabatan saja.
Aku keluar dari kamar mandi dan menemukan Arsa sedang duduk di ranjangku. Laki-laki itu juga sudah membuka kemejanya dan menyisakan kaos oblong saja. Sikapnya itu mencerminkan seorang lelaki yang membutuhkan perhatian.
"Kenapa lo suka ganggu hidup gue?" tanyaku dengan tangan terlipat.
Arsa menatapku serius kemudian menghampiriku.
"Karena saya serius sama, Mbak," jawabnya tanpa ragu.
"Apa yang lo janjiin dari hubungan ini?"
Arsa tidak langsung menjawab melainkan menggenggam tanganku lembut. Aku sering melihat perbuatan seperti ini dari keempat mantan suamiku yang brengsek, tapi Arsa terlihat berbeda.
Aku bisa melihat keseriusan di matanya. Hanya saja itu belum membuatku yakin karena perasaanku masih untuk Johan.
"Mbak bisa mengenal saya lebih dalam supaya yakin sama omongan saya," ucap Arsa.
"Lo bisa ngomong gini karena belum tahu gue kayak apa."
Aku melepaskan tangan Arsa dengan kasar kemudian membanting pintu kamar dengan keras. Aku tidak suka mendengar laki-laki, mengatakan kalimat manis dan berujung perpisahan.
Mengenal Arsa lebih dalam?
Yang benar saja!
***