Sudah sangat lama sejak aku bertemu mantan murid privatku yang menyebalkan. Saat itu aku masih kuliah dan bocah itu masih setinggi bahuku, tapi mampu membuatku kesal setengah mati. Kini, setelah waktu berlalu menjelma menjadi seorang lelaki dewasa dan tentu saja masih menyebalkan.
"Mbak Molly kenapa bisa ada di sini?"
Aku mengabaikan pertanyaannya dan memilih meraih ponselku untuk menghubungi Johan. Aku tidak bisa diam saja menyadari pasangan kencanku adalah bocah menyebalkan yang dulu pernah membuatku hampir menangis.
Ponsel Johan tidak bisa dihubungi membuatku berulangkali menarik napas kasar. Aku tidak bisa berada di tempat ini bersama bocah menyebalkan yang sialnya sekarang menjadi tampan.
"Mbak belum nikah, ya?"
Belum sepuluh menit bocah itu berada di sini, telingaku sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi. Lagipula kemana sebenarnya Johan pergi? Tidak mungkin laki-laki itu menghabiskan waktu bersama Intan dan meninggalkan aku di sini sendirian.
"Mbak Molly?"
Raut wajah letih yang tadi ditunjukkan mendadak lenyap dan berulangkali bocah itu menggamit lenganku. Aku yang kesal langsung menepisnya kemudian bangkit dari kursiku.
Aku tidak bisa berada di sini atau kepalaku pecah dalam satu detik. Kebetulan sebuah taksi baru saja menurunkan penumpang dan aku dengan cepat memasuki taksi itu. Bocah menyebalkan itu masih mengejarku, tapi berhenti saat taksi yang aku tumpangi meninggalkan tempat itu.
Aku harus memberi pelajaran pada Johan yang menyusun kencan menyebalkan ini. Semisal bukan bocah gila itu yang aku temui, mungkin aku tidak sekesal sekarang.
***
Aku tidak menemukan keberadaan Johan di apartemennya. Selama setengah jam aku duduk di ruang tamu apartemennya dengan kekesalan yang memuncak. Begitu mendengar suara pintu terbuka, aku langsung bangkit dari sofa. Namun, sosok Intan yang baru memasuki apartemen memudarkan kekesalanku.
"Lho, Molly?"
Intan tampak terkejut, tapi segera menghampiriku kemudian memelukku singkat. Kebiasaan itu terjadi sejak pertama kali bertemu dan Johan menyebut perempuan itu sebagai pacarnya.
"Gue cari Johan," ucapku terus terang.
"Johan bukannya pergi sama kamu?" Intan balas bertanya.
Aku menggeleng. "Dia pergi pas teman kencanku datang. Lo bisa hubungi dia karena nomernya nggak aktif. Gue mau perhitungan sama dia karena atur kencan ini sama orang yang paling gue hindari."
Intan tampak berpikir kemudian mengeluarkan ponselnya. Seperti dugaan ponsel Johan tidak bisa dihubungi membuat kekesalanku kembali memuncak.
"Lo tahu tempat yang biasa dia datangi?" tanyaku tak sabar.
"Aku nggak tahu, tapi aku rasa dia lagi sama temannya. Kalau nggak salah malam dia ada janji ketemu teman sekolahnya dulu. Cuma waktunya bareng sama acara kencan buta kamu, Mol."
Aku semakin tidak percaya Johan meninggalkan aku dan memilih menemui temannya yang entah siapa itu. Seingatku dia tidak memiliki banyak teman ketika masih sekolah dan sering mengikuti kemana pun aku pergi.
"Gue tunggu di sini sampai dia balik," ucapku lalu kembali duduk di sofa.
"Gimana kencan kamu tadi?" Intan duduk di sampingku. "Lancar?"
Aku langsung membayangkan wajah menyebalkan bocah itu terutama ketika melihatku untuk pertama kalinya.
Setelah sepuluh tahun ini kami tidak bertemu.
Hebatnya aku masih mengingat wajahnya dengan baik karena sejak dulu aku tidak pernah melupakannya. Sosok bocah nakal yang sering menguji kesabaranku dan tidak bisa melakukan apa-apa terhadapnya.
Alasannya sederhana karena aku membutuhkan uang dan orangtua bocah itu memberikan apa yang aku inginkan.
Setelah sepuluh tahun berlalu aku masih mengingat wajahnya dengan baik. Alasannya mungkin saja kaena bocah itu membawa mimpi paling buruk dalam hidupku.
"Molly?"
Suara lembut Intan mengembalikan kesadaranku terlebih saat ini Johan sudah kembali ke apartemen. Aku menatap tajam laki-laki itu kemudian memberi isyarat untuk berbicara di luar.
Intan tidak boleh tahu tentang masalah malam ini.
***
"Gue nggak tahu kalau lo sama sekali nggak bertanggung jawab, Jo!"
Teriakanku menggema di sekitar lorong apartemen dan beruntung tidak ada siapa pun di sana kecuali kami berdua. Johan tampak gugup kemudian menyentuh bahuku sambil menatapku lekat. Ada desiran halus di hatiku melihat tatapannya, tapi segera kutepis perasaan itu mengingat Intan ada di apartemen Johan.
"Gue nggak bermaksud ninggalin lo di sana, Mol," ucap Johan serius. "Pasangan kencan lo kecelakaan dan dia teman sekolah gue dulu. Sorry, gue nggak sempat ngabarin lo karena situasinya lagi urgent. Terus gue balik ke restoran itu dan lo udah nggak di sana. Gue nggak bermaksud buat lo nunggu tanpa kabar begini, Mol."
Aku menyimpulkan sebenarnya pasangan kencanku bukan bocah menyebalkan itu, tapi teman sekolah Johan yang mengalami kecelakaan. Namun, anehnya bagaimana bocah menyebalkan itu bisa menghampiriku?
Salah meja atau memang memiliki janji kencan buta sepertiku?
"Gue minta maaf, Mol."
"Udahlah gue capek mau balik."
Aku mengibaskan tangan dan berniat kembali ke apartemen Johan untuk mengambil tas. Intan masih duduk di sofa ketika aku kembali ke apartemen dan terlihat serius menatap ponsel. Aku tidak mengganggunya dan meraih tasku yang tergeletak di meja.
Johan mengantarku pulang ke rumah dan selama perjalanan itu kami terdiam. Aku enggan membuka percakapan mengingat pertemuanku dengan bocah menyebalkan itu di restoran. Untuk mengusir kebosanan, aku mengeluarkan ponselku di tas. Namun, aku tidak menemukan benda itu di dalam tasku.
Apa aku meninggalkannya di restoran tadi?
"Cari apa, Mol?" tanya Johan melirikku sekilas.
Aku tidak menjawab dan sibuk mengeluarkan isi tasku. Aku bahkan tidak peduli mengenai isi tasku yang berisi barang-barang perempuan. Saat ini yang aku pedulikan adalah ponsel yang entah berada di mana.
"Ponsel gue hilang," ucapku panik.
Johan menghentikan mobilnya di tepi jalan kemudian ikut membongkar isi tasku. Ketika tangannya menangkap pembalut, secepat mungkin Johan melemparnya. Aku menyandarkan punggungku merasa ponsel itu sungguh tertinggal di restoran tadi.
Pasti aku melupakannya usai menghubungi Johan kemudian bocah menyebalkan itu terus merecokiku.
"Balik ke resto sekarang," ucapku lirih.
***
Restoran itu tampak sepi dan hampir tutup. Aku tidak menemukan ponselku dan para pekerja restoran tidak ada yang melihatnya. Tidak ada yang spesial dari ponsel itu, tapi aku telah menjaganya selama lima tahun terakhir.
Alasannya karena Johan yang memberiku ponsel itu sebagai hadiah ulang tahun.
Aku kembali masuk ke mobil Johan dan memasang sabuk pengaman. Rasanya malam ini seperti mimpi buruk karena aku kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupku.
"Ketemu nggak?" tanya Johan.
"Nggak," jawabku singkat.
"Lo lupa kali, Mol."
"Gue nggak lupa," ucapku lirih.
Di tengah situasi aku hampir menyerah dan menganggap ponsel itu hanya menjadi kenangan. Saat itu seseorang mengetuk jendela mobil Johan. Aku menurunkan kaca dan terkejut melihat bocah menyebalkan itu di sana.
"Mbak Molly pasti nyariin ini." Bocah itu menujukkan ponselku yang berada di tangannya. "Untungnya Mbak Molly balik ke sini. Kalau nggak udah saya buang ke selokan, lho."
Baru saja bertemu aku sudah terpancing emosi. Belum sempat aku membalas ucapannya, Johan lebih dulu menyambar ponselku dari tangan bocah menyebalkan itu.
"Siapa Mol?" tanya Johan penuh selidik.
"Cuma mantan murid privat," jawabku lirih.
"Mbak Molly lagi buka lowongan jodoh, ya?"
Johan menatapku dan bocah menyebalkan itu bergantian.
"Lo ngajar murid model beginian, kok gue nggak tahu, Mol?"
Aku tidak mungkin menjelaskan pada Johan tentang bocah menyebalkan yang menjadi mimpi burukku di usia dua puluh tahun.
"Masih buka nggak, Mbak?" tanya bocah menyebalkan itu. "Soalnya saya tertarik jadi suami Mbak Molly."
***