Tubuhku terdorong ke belakang hingga merapat ke dinding. Sementara tangan Arsa menahan kedua kakiku melingkar di pinggangnya.
Ini sedikit gila karena kami akan bercinta di toilet bar yang sempit. Beruntung tidak ada yang masuk ke dalam toilet itu membuatku tidak perlu meredam suara.
"Mbak, saya nggak bawa kondom," ucap Arsa di sela ciumannya.
Gairahku yang terpancing sejak tadi membuatku kehilangan akal sehat.
"Nggak usah pakai kondom langsung aja," balasku kemudian kembali melumat bibirnya.
Selagi Arsa sibuk membuka risleting celananya, aku menurunkan kakiku dari pinggangnya. Saat ini tubuh kami sangat dekat hingga hembusan napasnya terdengar begitu jelas.
Detak jantung Arsa cepat sekali membuatku berulangkali menelan ludah.
Apa yang aku lakukan?
Arsa dulu mantan murid privat yang manis, meski sering membuatku sakit kepala akibat kenakalannya. Seharusnya aku tidak melakukan hal seperti ini pada Arsa.
Sebelum Arsa membuka celananya, aku segera mendorong tubuhnya dan membuka pintu toilet.
Beberapa orang yang mengantri terkejut saat melihatku berdua dengan Arsa. Namun, aku tidak peduli mengingat bar ini bukan tempat yang suci.
Aku melangkah cepat meninggalkan tempat itu sambil berkali-kali menghubungi Johan.
Alih-alih pulang ke rumah, aku justru berdiri di depan unit apartemen Johan. Kakiku seolah tersangkut beban berat sekadar melangkah menuju pintu.
Apa yang aku lakukan di sini?
Johan tidak ada di apartemennya dan Intan tidak tinggal di sini. Yang bisa aku lakukan hanya berdiri dalam diam sambil menghubungi nomor Johan yang tidak aktif.
***
"Molly?"
Aku terbangun merasakan guncangan pelan di bahuku. Intan mengulurkan tangan sambil menatapku cemas.
Aku menerima uluran tangannya lalu Intan membantuku berdiri. Entah sejak kapan aku tertidur di tempat itu. Rasanya memalukan tertidur di depan unit apartemen tunangan orang lain.
"Kamu cari Johan?" tanya Intan saat kami sudah berada di dapur.
Aroma kopi yang khas serta sepotong pai susu buatan Intan tersaji di meja makan. Aku menatap uap kopi itu dengan pikiran kosong. Hingga guncangan di bahu menyadarkan aku dari lamunan.
"Minggu depan Johan pulang," ucap Intan lembut.
"Gue bingung," ucapku lirih.
"Bingung kenapa?"
Aku mengusap permukaan cangkir kopi sambil tersenyum tipis. Intan tidak boleh tahu mengenai aku yang bimbang pada Johan.
Bimbang pada ajakan Arsa untuk menikah. Seandainya perasaanku untuk Johan tidak sedalam itu, aku tidak pernah ragu menolak tawaran Arsa.
Lagipula tujuanku membuka lowongan jodoh adalah mencari calon suami. Sayangnya, orang yang aku inginkan tidak pernah mengerti tentang perasaanku.
"Cerita sama aku bagian yang buat kamu bingung, Molly."
Aku menatap Intan sekilas kemudian menggeleng pelan.
"Ini nggak ada hubungannya sama lo," ucapku lirih.
"Nggak ada hubungannya, tapi Johan tunanganku. Dan kamu sahabat Johan, udah semestinya aku bantu kamu, Molly."
Intan seolah memperjelas statusnya sebagai tunangan Johan. Aku tidak bisa terus berada di sini dan mendengar betapa kuatnya hubungan mereka.
"Gue pulang sekarang," ucapku lalu bangkit dari kursi.
Sayang sekali aku belum sempat mencicipi pai susu yang terlihat lezat itu.
Tiba di rumah ternyata Arsa sudah menungguku. Melihat keberadaannya di sana, aku menghentikan langkah tepat di depannya.
"Ngpain lo di rumah gue?" tanyaku sedikit ketus.
"Mbak Molly."
Aku menghindari Arsa yang berusaha mendekatiku. Kejadian semalam membuatku enggan menghadapi Arsa. Suasana hatiku juga sedang tidak baik.
"Mbak Molly, kenapa hindari saya?"
Aku menepis tangan Arsa.
"Gue sibuk mending lo pulang aja."
"Mbak Molly kesal akibat kejadian semalam?"
Arsa mendorong tubuhku menuju dinding membuatku tidak bisa melepaskan diri dengan mudah. Tenagaku yang lemah ini tidak sebanding dengan tenaganya yang masih bugar.
"Mbak Molly, jawab pertanyaan saya," ucap Arsa dengan suara berat.
Aku menatap wajahnya yang saat ini bersinar redup. Berbeda jauh ketika Arsa melihatku datang.
"Lepasin gue!" sentakku kesal.
"Saya nggak akan lepasin, Mbak," ucap Arsa tegas.
"Gue belum mandi!"
"Mbak tetap wangi kok."
"Lepasin gue brengsek!"
"Saya lepasin asal Mbak janji satu hal," ucap Arsa sambil berbisik lirih di telingaku.
"Janji apaan?"
"Temani saya ke rumah orang tua saya."
***
Arsa mungkin sudah gila dengan mengajakku ke rumah orang tuanya. Namun, di pertengahan jalan bocah itu justru memutar mobilnya ke tempat berbeda.
Begitu tiba di sebuah villa, aku langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.
"Mau lo tu apa sih?! Kenapa lo bawa gue ke sini? Lo tahu nggak kalau gue belum mandi!"
"Mbak tahu alasan saya datang kemari?"
Aku menggeleng. "Lo mau apa?"
"Saya mau lamar Mbak di sini."
Arsa pasti sudah gila begitu pula denganku yang tidak langsung mencakar wajahnya. Alih-alih melakukan itu aku justru menatapnya bingung. Otakku seakan macet melihat betapa seriusnya wajah bocah menyebalkan itu.
"Saya serius dengan tawaran saya hari itu, Mbak." Arsa mengulangi ucapannya dengan nada lebih lembut.
"Gue nggak bisa," tolakku cepat.
"Saya akan nunggu sampai mbak siap nikah sama saya."
Menikah bukan perkara yang mudah seandainya Arsa tahu bagian mana yang membuatku ragu. Namun, percuma saja aku tidak bisa menjelaskan tentang keempat pernikahanku yang gagal.
Selain Johan aku tidak bisa menceritakan hal memalukan ini pada orang lain.
Lagi-lagi aku teringat dengan Johan. Padahal, Arsa sedang bersamaku dan menawarkan pernikahan yang kelihatannya sangat indah.
"Gue nggak bisa nikah sama lo," ucapku lirih.
"Karena bukan saya orang yang mbak mau?" tebak Arsa tepat sasaran.
Aku mengangguk. "Gue nggak mau buang waktu buat hal yang nggak bisa buat gue bahagia."
"Tahu dari mana kalau saya tidak bisa membuat mbak bahagia?"
Aku menatap Arsa sekilas kemudian membuang tatapan ke samping. Melihat berbagai jenis tanaman hias yang tumbuh subur di halaman villa itu. Aku tidak suka berada dalam posisi terpojok terlebih Arsa tampak jelas menginginkanku.
"Gue udah pernah hidup nggak bahagia dan itu bukan cuma sekali," jawabku lirih.
"Saya bukan mereka yang nggak buat Mbak bahagia."
Aku membuka pintu mobil kemudian menghirup udara dalam-dalam. Suasana di villa itu sangat tenang bahkan aku bisa merasakan semilir angin. Tempat seperti ini sangat cocok untuk mengobati suasana hati yang buruk.
"Mbak nggak perlu jawab sekarang karena saya akan menunggu sampai mbak siap menikah dengan saya."
Arsa menepuk pundakku sekilas kemudian melangkah menuju villa. Aku tidak langsung mengikutinya melainkan menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Jika aku menerima tawaran Arsa artinya aku benar-benar menyerah pada Johan. Sama seperti halnya dulu menikah dengan orang lain dan pernikahan itu tidak berjalan bahagia karena tidak ada cinta di dalamnya.
Apa aku harus menerimanya?
Aku menggeleng pelan kemudian melangkah mengikuti Arsa yang sudah masuk ke dalam villa. Di sana aku tercengang melihat beberapa pasang melihat ke arahku.
"Nek, kenalin ini calon istri Arsa."
Arsa mengenalkan neneknya yang duduk di kursi roda. Dari wajahnya yang tengil aku menebak akan ada drama berikutnya.
"Kami mau nikah bulan depan. Iya kan, Mbak?"
Saat ini aku hanya bisa mengangguk karena posisiku tidak tepat untuk menolak. Arsa memang suka mencari masalah dengan orangtua.
***