"Brengsek!"
Johan meninju Arsa hingga laki-laki itu terjungkal ke lantai. Intan berteriak histeris sedangkan aku membekap mulut terkejut melihat betapa mengerikannya Johan.
Arsa mengusap sudut bibirnya yang pecah kemudian bangkit berdiri dan menatap Johan marah. Ditatap seperti itu, Johan telah mengambil tindakan selanjutnya dengan menendang perut Arsa.
"Brengsek! Lo pantas mati!"
Aku menahan tubuh Johan agar tidak menindas Arsa lebih jauh. Intan melakukan hal serupa pada Arsa menyebabkan mata kami bersinggungan. Aku orang pertama yang memalingkan wajah kemudian meneliti wajah Johan yang masih mengeras.
"Udah Jo, kita balik sekarang," ucapku.
"Bocah brengsek itu nggak baik buat lo, Mol!" balas Johan keras.
"Kenapa jadi gue?" tanyaku bingung. "Kamu harusnya bela Intan."
"Gue nggak sebodoh itu bela perempuan yang nggak pernah menghargai gue."
Johan melepaskan diri dariku dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Demi Tuhan sejak tadi kami masih berada di mall dan menjadi tontonan pengunjung lain. Aku mengejar Johan mengabaikan panggilan Arsa serta Intan.
Persetan dengan kedua orang itu!
Aku tidak peduli jika Arsa memiliki hubungan khusus dengan Arsa atau sebaliknya. Kehilangan keperawanan itu bukan berarti duniaku sepenuhnya milik Arsa.
"Jo!"
Aku memanggil Johan dengan suara lantang menyebabkan beberapa pengunjung menoleh. Sebagian menyingkir untuk memberiku jalan sehingga memudahkanku menyusul Johan. Begitu mendekat, aku langsung menahan lengan Johan dan memaksa laki-laki itu untuk berhenti melangkah.
"Lo nggak bisa pergi gitu aja dan ninggalin gue di sini, Jo," ucapku dengan napas tersengal. Ternyata berlari cukup menguras tenagaku.
Johan membalikkan tubuh lantas menghadap ke arahku. Tatapan matanya memperhatikan wajahku dan secara tiba-tiba Johan membawaku ke dalam pelukannya.
"Tinggalin bocah itu, Mol."
Aku tidak mampu membalas tatkala merasakan bibir Johan mendarat di bibirku. Lelaki itu menciumku di tempat umum seperti ini, tapi anehnya aku tidak keberatan justru menikmati ciuman itu.
Bibir Johan masuk semakin dalam membuatku tidak mampu berpikir jernih. Kedua telapak tangan Johan menangkup pipiku dan kemungkinan untuk menghindari tatapan orang-orang. Namun, postur seperti ini menyebabkan orang-orang bisa menebak bahwa kami sedang berciuman.
"Mol, gue mau lo," bisik Johan lirih.
***
Tubuhku dijatuhkan di sofa sedangkan bibir Johan terus melumat bibirku. Setelah ucapan tadi, aku memutuskan untuk mengambil keputusan bodoh. Lagipula aku sudah tidak perawan dan tidak ada yang perlu ditakutkan lagi.
Johan membawaku ke apartemennya dan mungkin kami akan bercinta di sofa ruang tamu. Aku sudah tidak ingin berpikir macam-macam selain membalas ciuman Johan dengan penuh gairah.
Rasanya seperti mimpi bahwa aku dan Johan melakukan hal seperti ini. Pakaianku sudah terlepas menyisakan bra serta celana dalam. Johan sendiri hanya memakai boxer membuatku dapat melihat jelas otot perutnya.
Dengan cekatan tangan laki-laki itu merayap menuju punggungku dan melepas kaitan bra dalam sekali sentakan. Aku mendesah ketika merasakan payudaraku diremas dengan lembut sedangkan bibir Johan melumat bibirku penuh gairah.
Tanganku yang bebas bergerak menuju perut laki-laki itu sambil memberikan usapan lembut. Perlahan, tanganku bergerak semakin ke bawah dan berhenti tepat di bagian sana. Aku ragu untuk meneruskan usapanku, tapi Johan menuntun tanganku menuju bagian bawah tubuhnya.
"Sentuh gue, Mol," bisik Johan dengan suara berat. "Terserah lo mau apain asal pelan-pelan."
Aku menahan napas saat menyentuh boxer Johan dan merasakan sesuatu mengeras di baliknya.
"Jo?" panggilku gugup.
Johan berhenti mencium telingaku dan beralih menatapku. "Kenapa Mol?"
"Lo udah—" Kalimatku tertahan begitu saja.
"Gue udah tegang dari tadi, Mol," ucap Johan lembut.
"Kita harusnya nggak ngelakuin ini, Jo," gumamku lirih.
"Gue mau lo."
Johan kembali membungkam bibirku kali ini dengan lumatan yang lebih kuat. Aku mendesah merasakan jarinya mengusap puncak payudaraku sesekali meremasnya lembut. Sebelah tangan Johan bergerak menuju celana dalamku dan menelusup masuk ke dalam sana.
"Jo," ucapku lirih.
Johan tidak merespons dan meraba bagian bawah tubuhku sebelum akhirnya jarinya menerobos masuk. Napasku terputus-putus merasakan dorongan yang berasal dari jarinya dengan irama perlahan.
Bibir Johan telah berpindah menuju puncak payudaraku dan menghisapnya lembut. Aku mendesah ketika lidah Johan serta jarinya bergerak seirama. Tubuhku menegang merasakan setiap sentuhan serta lidahnya bergerak liar. Jarinya ikut bergerak semakin cepat meyesuaikan setiap desahanku yang semakin keras.
Tanganku yang sejak tadi berada di bagian luar boxer-nya, perlahan menelusup masuk dan menyentuh bagian bawah tubuh Johan yang mengeras. Terdengar erangan pelan tatkala aku mengusap miliknya naik turun.
Lumatan di puncal payudaraku semakin liar begitu pula jarinya yang terus bergerak. Tubuhku mendapat serangan dari berbagai arah membuatku semakin bergairah. Terlebih ketika bibir Johan semakin turun menuju bagian bawah tubuhku.
Aku berhenti menyentuh Johan saat merasakan bibir laki-laki itu mendarat di bagian bawah tubuhku. Punggungku melengkung merasakan lidahnya bergerak seolah mencari sesuatu yang berharga. Celana dalamku sudah terlepas dan pahaku terbuka lebar tepat di depan wajah Johan yang berada di bagian bawah tubuhku.
Aku meremas rambut Johan disertai desahan yang cukup keras. Berikutnya aku merasakan tubuh bagian bawahku mengeluarkan sesuatu. Johan menjauhkan wajahnya dari sana kemudian tersenyum lembut.
"Lo udah orgasme," ucapnya.
"Lo gila," balasku dengan wajah memanas.
Johan mengusap pipiku dengan bibir tidak berhenti tersenyum. Aku menatapnya intens untuk memastikan bahwa laki-laki itu memang nyata.
"Gue nggak mau lo berhubungan sama bocah itu."
"Gue nggak punya hubungan apa-apa sama Arsa."
"Serius?" Johan tampak berbinar seperti mendapatkan undian berhadiah.
Aku mengangguk. "Iya."
"Kalau gitu malam ini lo milik gue."
Johan melempar boxer-nya ke lantai membuatku terbelalak kaget. Sekarang kami berdua tidak mengenakan apa-apa dengan posisi tubuh menempel satu sama lain.
Johan berada di atas sedangkan aku berada di bawah. Pahaku juga masih terbuka lebar seolah memberi kode agar Johan melakukannya detik itu juga.
"Gue mau lo, Molly."
Bibirku dibungkam dengan lumatan keras sesekali lidah Johan menelusup masuk. Menyusuri rongga mulutku dan sesekali menghisap bibir bagian bawahku.
Tangan Johan bergerak menuju pahaku dan berhenti tepat di sana. Aku menahan napas ketika merasakan miliknya yang mengeras sempurna membelai bagian bawah tubuhku. Johan tidak langsung menerobos masuk dan sengaja menggoda dengan cara menggeseknya perlahan.
Aku menatap laki-laki itu dengan pandangan berkabut. Gairahku kembali memuncak setelah mengalami orgasme, tapi Johan sengaja menggodaku.
"Mol," panggil Johan pelan.
Aku hanya bergumam sebagai jawaban.
"Lo masih perawan, 'kan?"
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu dan berniat mendorong tubuh Johan. Namun, bahuku sudah lebih dulu ditahan membuatku tidak bisa bergerak selain berbaring di bawah tubuh laki-laki itu.
"Gue cuma nanya," ucapnya lagi.
Aku menggeleng. "Nggak Jo."
"Sama siapa?" tanya Johan sedikit terkejut.
Aku bungkam menyebabkan Johan bisa menebak isi kepalaku. Bertahun-tahun bersahabat, Johan tahu bahwa aku jenis orang yang mudah ditebak.
"Brengsek!" umpat Johan keras.
Aku terkejut melihat Johan yang tampak marah. Namun, berikutnya laki-laki itu kembali mencium bibirku serta membuka pahaku lebih lebar. Aku menjerit pelan saat merasakan miliknya menerobos masuk dengan dorongan yang sedikit kasar.
Johan menjadikan lengannya sebagai bantalan kepalaku, lantas pinggulnya bergerak perlahan dengan bibir terus melumat bibirku. Dorongan itu semakin terasa membuatku berulangkali mendesah. Johan tidak berhenti menggerakkan pinggulnya naik turun dengan tempo yang semakin cepat.
"Jo," ucapku lirih.
Johan menatapku sekilas dan menambah gerakannya lebih cepat. Entah kapan pastinya, aku merasakan sesuatu yang hangat masuk ke dalam tubuhku dan detik berikutnya Johan jatuh di atas tubuhku.
Tubuh kami masih saling melekat dengan deru napas memburu. Johan mencium keningku sekilas lalu menggeser tubuhnya agar sofa ini cukup untuk berbaring bagi kami berdua.
"Setelah malam ini, jangan harap gue bakal lepasin lo sama bocah itu," ucap Johan terdengar seperti ancaman.
"Gue selalu suka lo, Johan," gumamku lirih. "Bukan Arsa."
Johan memelukku erat lantas berbisik lirih, "Gue juga, Mol. Orang yang gue sukai bukan Intan, tapi lo."
***