Seorang perawat mendorong Ratri yang terbaring lemah di kereta dorong keluar dari ruang operasi menuju bangsal di lantai tiga. Mereka masuk ke ruang Dahlia nomor satu. Wibi mengikutinya sambil membawa barang-barang dan pakaian ganti untuk Ratri.
Di dalam sudah ada dua orang perawat perempuan sedang membersihkan dan menyiapkan tempat tidur untuk Ratri. Wibi kemudian meletakkan barang-barang di meja sedangkan pakaian Ratri dimasukkannya ke dalam loker di bawahnya. Para perawat itu kemudian mengangkat tubuh Ratri dari kereta dorong ke tempat tidurnya.
"Dipakai istirahat ya, Bu. Jangan banyak bergerak dulu," kata perawatnya.
Ratri tersenyum dan mengucapkan terima kasih padanya. Setelah para perawat selesai dengan tugasnya dan keluar ruangan, Wibi mendekati Ratri. Dia mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur Ratri. Wibi mengusap lembut kepala Ratri sambil tersenyum. Kemudian menggenggam dan mencium tangannya.
"Terima kasih ... kamu telah memberiku seorang anak lagi. Dia perempuan, Rat. Seperti tebakanku dulu. Cantik juga seperti kamu!"
"Ah, kamu bisa saja, Mas," jawab Ratri sambil tersenyum. Wibi memberikan sedikit kata-kata pujian pada istrinya untuk mengurangi rasa sakit pada luka bekas operasinya.
Tapi dia kembali teringat peristiwa yang baru saja dialami dengan bayinya. Wibi tampak sedikit gelisah dan bermaksud menceritakan pada Ratri. Tapi diurungkan niatnya itu karena tidak ingin hal itu menjadi beban pikiran Ratri.
"Ada apa, Mas? Kelihatannya gelisah. Apa ada masalah lagi dengan bayi kita?" Rupanya Ratri tahu juga kegelisahan yang sedang dirasakan Wibi.
"Eee ... tidak, Rat. Tidak apa-apa! Aku jemput Ayu besok saja, ya? Ini sudah terlalu malam." Wibi mencoba mencari alasan agar tidak mengecewakan istrinya. Ratri pun tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
Malam semakin larut suasana hening menyelimuti Ruang Dahlia di lantai tiga itu. Wibi menggelar sleeping bed di samping bawah tempat tidur Ratri. Desir lembut suara mesin pendingin ruangan di atas tempat tidur Ratri pun seperti meninabobokan Wibi. Tapi dia belum benar-benar tertidur ketika mendengar bunyi langkah-langkah kaki bersepatu di luar ruangan. Bunyi langkah itu semakin mendekati ruangan tempat dia dan Ratri berada. Tetapi tiba-tiba saja menghilang seperti berhenti di suatu tempat.
Saat itu kelopak mata Wibi sudah berat dan hampir tidak bisa ditahan lagi untuk terjaga. Tiba-tiba terdengar bunyi gagang pintu ruangan Dahlia digerakkan. Bunyi berderit pintu terbuka memecah keheningan malam. Sebentar kemudian terdengar lagi langkah-langkah kaki bersepatu mendekati tempat tidur Ratri.
Peristiwa itu menghilangkan sebagian rasa kantuk Wibi. Rasa penasaran membuat Wibi melihat dari bawah korden penyekat. Sepasang kaki putih bersih bersepatu hitam high heels terlihat oleh Wibi di balik korden penyekat tempat dia berbaring di lantai.
Mungkin dia perawat jaga yang sedang bertugas mengontrol setiap pasien, batin Wibi.
Tapi dia melewatkan beberapa tempat tidur di sebelah depan dan langsung menuju tempat tidur Ratri. Sejenak perawat itu diam di sana dan Wibi pun menunggu reaksi selanjutnya. Wibi melihat korden dibuka dan tampak seorang perawat perempuan berdiri di depannya.
"Aku mau itu ...." Terdengar suara dengan nada berat. Perawat itu menunjuk sebuah benda yang terletak di bawah dekat meja. Wibi bangun dari tidurnya dan memperhatikan benda yang ditunjuk oleh perawat itu.
Itu kendil ari-ari! Untuk apa dia menginginkan itu? tanya Wibi dalam hati.
"Aku mau itu!" Suara berat itu terdengar lagi.
Wibi memperhatikan perawat perempuan itu dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Wajahnya terlihat samar-samar padahal cahaya lampu di ruangan itu cukup terang.
"Itu ari-ari anakku. Untuk apa kamu minta?" tanya Wibi.
"Aku mau itu! Untuk aku jadikan temanku," jawab perawat itu dengan wajah lurus ke depan dan tanpa ekspresi.
"Teman ...? Ada yang tidak wajar dengan permintaanmu itu. Siapa kamu sebenarnya?" tanya Wibi lagi. Tapi perawat itu tidak menjawab.
Tiba-tiba saja perawat itu bergerak melayang melewati Wibi dan berdiri di samping meja. Dia menoleh sejenak ke arah Wibi kemudian membungkuk untuk mengambil kendil berisi ari-ari. Wibi terkejut dibuatnya. Kini terlihat muka rata dan pucat perawat itu. Darah Wibi pun bagai berhenti mengalir saat menatapnya.
"Tidak ...! Jangan kau bawa ari-ari anakku!" Wibi berteriak dan berusaha untuk merebut kembali kendil itu. Tetapi tubuhnya tidak bisa digerakkan dan teriakannya seperti tidak terdengar walaupun oleh dirinya sendiri. Perlahan-lahan perawat itu bergerak melayang pergi melewati Wibi kembali tanpa menoleh sedikit pun sambil membawa kendil berisi ari-ari dalam dekapannya.
"Jangan ...!" teriak Wibi kuat-kuat. Kali ini dia bisa mendengar teriakannya sendiri dan terbangun dari tidurnya. Wibi bangun dan duduk termangu. Peluh membasahi kening dan nafasnya terasa memburu. Spontan Wibi menengok ke belakang. Kendil itu masih di sana.
Siapakah perawat itu? Dia menginginkan ari-ari anakku menjadi temannya. Dia menganggap ari-ari itu sebagai makhluk bernyawa seperti dalam kepercayaan Jawa, kata Wibi dalam hati.
Ari-Ari atau Adi Ari-Ari, dipercaya sebagai adik dari bayi yang baru lahir. Yang sebelumnya telah lahir dahulu adalah Kakang Kawah atau air ketuban yang dianggap sebagai kakak dari si jabang bayi.
Mungkin dia lelembut lain yang mengikuti anakku, seperti kata Simbok! Atau bisa jadi dia Kakang Kawah yang akan mengajak dan melindungi Adi Ari-Ari dan jabang bayi dari gangguan lelembut itu sendiri, pikir Wibi.
Seperti yang pernah Wibi baca dalam buku Primbon, Kakang Kawah dan Adi Ari-Ari bertugas melindungi si jabang bayi dari mara bahaya.
Tapi ke mana mereka berdua pergi? Dan apakah tidak ada yang akan menjaga anakku kelak? Wibi belum menemukan arti dari mimpinya semalam.
***
Setelah tiga hari di rumah sakit, Ratri diperbolehkan pulang.
"O ya, bagaimana kabar Simbok, Mas?" tanya Ratri saat menunggu waktu untuk pulang ke rumah.
"Simbok kelihatannya baik-baik saja. Setelah kejadian di kebun kosong, Simbok lebih banyak diamnya. Tapi sepertinya Simbok sedang gelisah, mungkin mengharapkan kamu cepat pulang ke rumah."
"Apa Simbok juga membuat bancakan untuk kelahiran anak kedua kita, Mas?"
"Aku tidak tahu, Rat. Kenapa? Kamu khawatir anakmu akan diganggu lelembut lagi setelah kejadian itu?"
"Eee ... iya, Mas. Aku masih khawatir ..."
Sore itu diiringi hujan gerimis Ratri meninggalkan rumah sakit untuk pulang ke rumah. Dan menjelang Magrib mereka baru tiba di rumah. Ratri tertegun sejenak ketika melangkahkan kaki memasuki rumahnya.
"Ada apa, Rat? Ada yang mengganggu pikiranmu lagi?"
"Ee ..., tidak, Mas. Cuma, bau wangi bunga ini, membuat perasaanku tidak enak."
"Bau wangi bunga? Kok aku tidak merasakannya?" Wibi memperhatikan Ratri. Wajahnya tampak gelisah.
Bau wangi bunga kantil kembali menyeruak hidung Ratri ketika dia melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Dan hanya Ratri yang dapat mencium baunya. Seketika bulu kuduknya berdiri dan ingatannya kembali pada sesajen untuk baurekso.
Rupanya Mbok Sum telah menyiapkan sambutan selamat datang untuk Ratri. Pikiran Ratri pun kembali di pengaruhi aroma mistis bunga kantil. Pandangan matanya menyapu ke setiap sudut rumah sambil mendekap erat anaknya. Kekhawatiran itu kembali mencengkeram hatinya.
Aku tidak ingin lelembut itu mengganggu anakku lagi! Sesajen itu ... aku harus menuruti kata-kata Simbok! kata Ratri dalam hati.
Sementara itu Bi Warsi menyambut kedatangan mereka di ruang depan. "Selamat datang, Den. Kamar sudah saya siapkan," kata Bi Warsi sambil mengambil barang bawaan Wibi kemudian dibawanya ke belakang.
"Hore ... adikku sudah pulang!" teriak Ayu keluar dari kamarnya, "Ibu siapa nama adikku nantinya?"
"Kita malah tidak sempat mempersiapkan nama untuk anak kedua kita, Mas." Ratri memandang Wibi sambil tersenyum. Tapi kegelisahan itu masih membayang di wajah manisnya.
"O iya, nanti kita cari nama yang baik untuk adikmu, Ayu," kata Wibi.
Ayu segera menghampiri adik dalam gendongan ibunya. Sementara Bi Warsi kembali sambil membawa dua gelas teh hangat untuk Wibi dan Ratri.
"Minumannya, Den. Diminum dulu selagi masih hangat," kata Bi Warsi mendekati Ratri.
"Terima kasih, Bi."
"Selamat datang Ndoro, eee ... Ndoro ... eee ... Ndoro Alit!" kata Bi Warsi sambil menggendong bayi Ratri.
"Kok Ndoro Alit? Siapa Ndoro Alit, Bi?" tanya Ayu keheranan.
"Eee, maaf! Bi Warsi belum tahu nama adik Ndoro Ayu ini. Jadi saya panggil saja Ndoro Alit karena memang dia masih kecil," jawab Bi Warsi tersenyum diiringi tawa kecil Ayu dan Ratri.
"Ndoro Alit ... Alit. Hmm ... nama yang bagus. Untuk sementara kita panggil anak kita dengan nama Alit," kata Wibi menambahi. Ratri dan Ayu pun mengangguk menyetujuinya.
"O ya, Bi. Simbok mana? Kok tidak kelihatan?" tanya Ratri.
"Beberapa hari ini Simbok lebih banyak tinggal di rumah belakang, Den."
"Apa Simbok tidak tahu kalau kami pulang hari ini, Bi?"
"Sudah, malah Ndoro Sumi berencana membuat bancakan sepasaran bayi nantinya." Ratri tersenyum mendengar rencana itu. Tapi Wibi segera mengingatkannya.
"Hati-hati pada Simbok, Rat. Aku tidak ingin kejadian itu terulang kembali."
"Iya, Den Ratri. Lebih baik menghindari Ndoro Sum. Biarkan beliau tetap di rumah belakang dan mengadakan bancakan di sana," kata Bi Warsi menambahi. Ratri hanya diam dengan pandangan menerawang. Dalam hati dia sangat mengharapkan kedatangan Mbok Sum.
Berita kelahiran anak kedua Ratri pun cepat menyebar ke seluruh kampung. Hari berikutnya para tetangga berdatangan untuk menengok dan memberi ucapan selamat. Hingga hari kelima setelah kelahiran Alit, Mbok Sum belum juga mengunjungi Ratri. Tapi sesuai dengan janjinya, sore itu di rumah belakang, Mbok Sum pun membuatkan bancakan sepasaran bayi untuk Alit.
*****