webnovel

Perfect (Crazy Ex-Husband)

zhaErza · 现代言情
分數不夠
6 Chs

2. Pulang

Sore hari menjelang, matahari mulai turun ke ufuk barat dan sinarnya yang oranye membuat pemandangan indah di cakrawala. Siera baru saja menghabiskan semangkuk kecil agar-agar yang adalah cemilan khusus dari rumah sakit, sesekali putri Selena itu bernyanyi lagu bintang kecil sambil memainkan rubik sederhana hadiah dari papanya ketika ulang tahun ke sepuluh beberapa bulan lalu.

Ketukan pintu terdengar, Selena yang sedang memandangi putrinya pun mengalihkan atensi. Menyibak tirai yang berada di pembatas ruangan untuk menghalau ada yang mengintip dari balik kaca, Selena lantas membuka pintu dan mendapati kakak lelaki dan pacarnya yang datang seperti janji mereka.

"Selena, apa kabar?" memeluk wanita itu, Karin sekarang langsung berlari ke arah gadis kecil yang menatap mereka dengan antusias.

"Bibi Karin!"

Langsung berkacak pinggang, wanita berambut kemerahan itu cemberut main-main.

"Sayang, panggil saja 'Karin', aku tidak setua itu, ok." Kembali tersenyum, Karin lantas memeluk Siera dan memberikannya sebuah kado.

"Wah, apa isinya?"

"Kau pasti akan suka, Princess."

Di depan pintu, Selena memeluk kakanya yang baru saja pulang dari luar kota, ia lantas mengajak Lucas masuk dan langsung mendatangi Siera.

"Paman, lihat Karin memberiku kado ini." Alis lelaki berambut cokelat itu naik satu, tidak menyangka wanita yang adalah partenrnya itu terus mengingatkan agar jangan memanggil dengan embel-embel bibi.

"Karin, usiamu sudah 33 dan cocok dipanggil bibi."

Sang wanita malah memutar bola mata malas, ia lantas sibuk membantu Siera yang kesulitan membuka kado dengan punggung tangan diinfus.

"Oh, ya. Seharusnya kau tak perlu membawa buah sebanyak ini, Lucas." Membuka lemari es, Selena menawari Lucas dan Karin kopi kemasan di dalam kaleng.

Di atas ranjang, Siera sekarang tengah semringah sambil berteriak senang, mendapatkan sebuah rumah-rumahan bongkar pasang dengan boneka kelinci sebagai penghuninya. Gadis itu berterima kasih kepada Karin dan memberi pujian bahwa wanita itu sangat baik hati. Menggelengkan kepala, Lucas lantas memakan apel yang disajikan untuknya.

"Hei, rambutmu sudah agak panjang, Lucas. Tidak mau aku potong?" Selena mendekati kakak lelakinya dan mengenggam rambut yang mulai bisa dijambak. Padahal Lucas adalah jenis orang yang suka kerapian, kenapa sekarang membiarkan rambutnya mulai panjang?

"Ada seorang wanita liar yang terlalu suka memainkan rambutku ketika tidur." Menyeringai kecil, tatapan mata beriris sama seperti Selena tengah mengarah kepada Karin yang kembali memutar bola matanya dan mendengkus.

"Sudahlah, jangan memulai, Lucas. Kau harus ingat ini di rumah sakit dan lagi aku tidak tahu kau jenis laki-laki yang suka didominasi?" cekikikan kecil, sekarang Selena malah menatap kakaknya yang terlihat ikut tersenyum misterius. Oh, sungguh Selena kadang sulit membayangkan sifat asli pria berusa 36 tahun ini, di sisinya terlalu perhatian dan lembut, tetapi Karin bilang dia berbeda saat bersama wanita itu.

"Apa dia tadi sudah datang?" tanya Lucas serius, laki-laki itu sekarang mengeluarkan raut begitu dingin.

Menghela napas, Selena hanya menganggukkan kepala.

"Lucas, aku ingin berbicara kepadamu sebentar."

Mengindahkan keinginan adik perempuan satu-satunya, ia lantas mengajak Selena untuk berbicara di luar ruang inap ini. Mereka duduk di bangku taman, yang terlihat begitu indah dengan sinar jingga di awan. Beberapa keluarga pasien juga ada yang berjalan-jalan, terlihat seorang anak yang cedera kaki berusaha untuk melatih melangkah lagi.

"Karin pasti sudah cerita tentang Siera yang terus menangis pagi tadi kepadamu, kan?"

"Hm, ya. Kami begitu cemas. Tapi, sekarang dia terlihat cukup pulih dan ceria."

Menganggukkan kepala, Selena sekarang menatap hampa para nenek dan kakek yang sedang berbicara kepada cucu-cucu mereka. Selena agak ragu menceritakan hal ini sebenarnya, bagaimana pun ia tahu kakaknya itu tidak pernah merestui hubungannya dengan Andrew dahulu, tetapi mau bagaimana lagi, Selena terlalu mengasihi Andrew karena mereka dahulu adalah sahabat lama, dan teman pertama Selena.

Kuku-kuku jari lentik tersebut saling berkaitan, menatapnya, Lucas tahu sang adik sedang dilanda kebimbangan.

"Kalau kau belum siap, tidak perlu memaksakan diri untuk menceritakan semua ini, Selena."

Menjatuhkan kepala di bahu lebar kakaknya, Selena memeluk sebelah lengan Lucas dan meremasnya pelan seperti kebiasaannya ketika sedang kebingungan.

"Aku lelah, Lucas. Tapi, aku tidak tahu siapa yang harus disalahkan dengan segala yang terjadi ini."

Rahang Lucas mengeras, ia tahu jika telah berhubungan dengan bungsu Clay, pasti adiknya akan sengsara. Padahal sejak dahulu sudah ia jelaskan bahwa Andrew kini berubah, bukan lagi anak lelaki yang murni, sebab ketika remaja dan mereka bertemu kembali setelah sekian lama, ia sadar bahwa Andrew telah cacat.

"Lakukan apa pun yang menurutmu tepat, Selena." Tersenyum tulus, Lucas hanya berharap adiknya berpikir masak-masak sebelum mengambil keputusan.

"Hm, terima kasih banyak, Kak."

Mengacak rambut Selena, wanita itu lantas mencoba menghindar hingga pergelangan tangan Lucas ditanggap sang adik.

"Hey, di mana cincin pemberian Jhonatan? Bukankah kau telah menerima lamarannya?"

"Ah, aku menyimpannya. Belum, aku belum memutuskan, tetapi aku menerima pemberian Jhon karena menghargai perasaannya."

Menghela napas, Lucas mendongakkan kepala, menatap langit senja yang sebentar lagi akan berubah menjad gelap. Sejak dahulu, Selena memang terlalu baik. Itu sebabnya lah laki-laki seperti Andrew terus bisa memasuki kehidupan adiknya walau telah lima tahun bercerai. Padahal seharusnya sejak dahulu Selena pindah dari kota ini ketika telah menjadi mantan istri pria itu.

"Baiklah, ayo kita kembali. Siera pasti telah menunggu."

.

.

.

Esok pagi jam sepuluh, seperti ketentuan yang telah dijelaskan Dokter Crisie, Selena telah diperbolehkan pulang. Andrew juga berada di sana dan membantu membereskan barang-barang gadis kecilnya, matanya yang emerald menatap sebuah rumah bongkar pasang dan menebak pasti itu hadiah dari Lucas atau Karin.

Mereka mengucapkan terima kasih kepada beberapa perawat yang berada di ruangan, setelahnya Siera meminta agar sang papa menggendongnya. Tentu saja Andrew mengabulkan kenginan gadis kecil itu.

"Apa tanganmu masih sakit? Kau sungguh pemberani dan hebat, Siera."

"Hm, sakit, Pa. Tapi, kalau ada papa dan mama jadi berkurang." Kemudian anaknya itu tersenyum sampai gignya nampak.

"Selena, kau ingin ke mana?"

"Aku mau membayar administrasi dan menebus obat di apotek."

"Ah, untuk administrasi sudah aku selesaikan. Masalah obat, sebaiknya nanti aku suruh Oliver yang menangani. Kita sebaiknya pulang saja, kau terlihat lelah."

"Benar, Ma. Nanti malah kena flu kalau kelelahan seperti kata Miss Angela."

"Miss Angela?"

"Guru kesehatan di sekolah, Pa. Miss Angela yang tahu pertama kali aku sedang sakit."

Mereka lantas menuju parkiran dan Selena membukakan pintu agar Andrew lebih mudah memasukkan Siera, setelahnya ia ikut duduk di jok samping dan menatap kembali Siera yang ada di jok belakang.

"Ok?"

"Siap, Pa."

Mereka lantas melaju, menuju rumah yang menjadi saksi bisu di mana pasangan suami istri beserta anak tercinta sempat menghabiskan waktu. Perjalanan memakan waktu dua puluh menit, melewati sebuah gereja yang ada di pinggir kota dan sungai nan indah, beberapa kilo kemudian sampailah mereka ke sebuah pekarangan yang dikelilingi pohon ekk. Di bagian samping terlihat sebuah labirin setinggi pinggang orang dewasa yang terbuat dari tanaman pagar. Sebuah kebun bunga dan juga batu-batu yang sengaja disusun di dekat kolam ikan.

"Kami pulang!" seru Siera lantang, gadis kecil itu masih berada di gendongan papanya dan menggandeng telapak tangan mamanya.

Pukul sebelas lewat, sekitar satu jam setengah dari sekarang Siera akan meminum obatnya. Pelayan tadi sudah ia kabarkan untuk membuat sup dan bubur untuk santap siang si gadis kecil, juga steak domba dengan saus asam manis ditambah kentang, brokoli, wortel, jamur dan potongan jagung yang dipanggang.

Bibi pelayan kemudian mengetuk pintu, membawa senampan makan siang untuk Siera yang masih duduk di atas ranjang dengan pungung bersandar di dada papanya.

"Nah, sebaiknya kau sekarang makan, Siera. Sini bonekamu, Papa yang pegang."

Dia mengangguk, memberikan boneka kelinci kecil yang adalah penghuni rumah bongkar pasang hadiah dari Karin. Membuka mulut ketika Selena memberikan sup hangat, Siera sekarang memakan dengan ekspresi riang, bahkan terkadang memainkan tangan Andrew yang berada di sampingnya.

Tanpa sadar, Selena yang menyaksikan hal ini pun merasa dadanya berdesir, sebenarnya ia begitu tak sampai hati memisahkan Siera dan ayahnya. Namun, ia tahu Andrew sering di luar batas jika mereka terlalu dekat. Laki-laki itu tidak segan-segan membalas dan menghabisi siapa saja yang dianggap penggangu dihidupnya. Bahkan Selena ingat, saat mereka berada taman umum yang hanya berjarak beberapa ratus meter dekat rumah, dengan kejam Andrew mendorong anak kecil yang tidak sengaja membuat Siera terjatuh karena tertubruk tubuh. Setelah itu, Andrew nyaris mencekik dan mengacam akan memotong kaki si anak karena tidak dipakai dengan benar.

Tentu saja Selena langsung menyuruh anak laki-laki itu pergi, menarik Andrew untuk langsung pulang ke rumah karena telah melanggar janji untuk tidak sembarangan menghakimi seseorang tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Ma?"

Lamunan Selena hilang sekejap mata, ia tersentak kecil, kemudian menyahuti sang putri sambil tersenyum.

"Ah, maaf. Kau mau air, ya. Nah, sekarang adalah waktunya meminum obat. Lihat, ini rasa stawberi kesukaanmu."

"Aku tidak minum obat, Ma. Tidak mau, aku kan sudah sehat. Sudah tidak di rumah sakit lagi." Selena menggelengkan kepalanya, menutup mulutnya rapat hingga membuat Andrew tersenyum.

"Ayolah, Princess. Ini hanya satu sendok saja, rasa strawberi kesukaanmu. Kalau rasanya tidak enak, Papa janji akan kena hukumanmu."

Memandak sang papa dengan tatapan menyelidiki, Siera kemudian menggerakkan jari kelingkingnya, meminta Andrew untuk menyatukan sebagai tanda mereka telah berjanji. Laki-laki dewasa itu tentu saja tidak memahami apa maksud yang ingin diutarakan Siera, hingga dia masih terdiam dan memandangi Selena.

Menghela napas, Selena pun mengucapkan agar kelingking Andrew mengait kelingking anaknya.

"Nah, Siera. Papamu telah berjanji, jadi minum obatmu sekarang, Ok."

Dengan wajah masam, gadis kecil itu membuka mulut ragu-ragu, sambil memejamkan mata ia menerima satu sendok obat dan menelannya seperti itu adalah sebuah bola golf. Setelah merasakan bahwa yang ditelan benar seperti yang dijelaskan sang mama, Siera pun tersenyum sampai giginya terlihat, bahkan akhirnya tertawa kecil.

"Satu lagi boleh, ya, Ma?"

"Hei, ini bukan permen, Sayang. Baiklah, sekarang kau harus istirahat. Nanti kami kembali lagi untuk melihat apakah kau sudah tidur atau belum. Andrew, biarkan Siera berbaring, pelayan telah menyiapkan makan siang juga untuk kita."

Menidurkan tubuh putrinya, lelaki itu lalu menyelimuti dan memberikan kecupan di kepala.

"Semoga lekas sembuh, Sayang."

Keluar dari kamar, eksperis Selena seketika berubah menjadi dingin. Wanita itu memijat dahinya beberapa kali dan berjalan lebih dahulu di depan menuju ruang makan.

.

.

.

Bersambung