Rei sudah mencobanya sejak tadi. Tapi mau dicoba berapa kalipun, dia tetap tidak bisa menarik energi sihir apapun dari kubus itu.
"Ugh, nenek itu akan membunuhku." Gerutunya putus asa. Bagaimanapun status benda itu masih merupakan barang sewaan. Ditambah, karena Aria masih pingsan, dia bahkan belum bisa protes padanya.
"Darimana juga dia bisa berpikir ini bisa dipakai untuk mengurungnya?" Gumamnya sambil memandangi kubus itu lagi. Meski hampir tidak kelihatan karena warnanya yang gelap, Rei memang bisa lihat ada bayangan jamur yang samar di sana.
Tapi untungnya kubus itu tetap bekerja dengan baik. Karena seperti yang Aria harapkan, kutukan jamurnya mulai perlahan menghilang dari udara. Jadi selama Aria pingsan, keadaan para penduduk yang sakit justru mulai membaik.
Mereka masih kelihatan demam, tapi yang pasti sudah tidak sekarat. Memikirkan itu Rei jadi tidak yakin apa yang harus dia lakukan pada Aria nanti.
"Tapi kenapa kau datang?" Tanya Feny yang kemudian menghampiri Rei. "Kau pasti tidak percaya kak Aria bisa mengurusnya."
Melirik Feny dengan datar, Rei sebenarnya agak malas menjawabnya. Tapi sembari duduk, dia pun mulai cerita. "Dia mengirim surat padaku semalam, kalau katanya jamur itu terlihat lebih gemuk dari gambar yang kuberikan. Dan kalau jamurnya memiliki bintik-bintik hitam juga di tubuhnya." Katanya.
"Gemuknya tidak terlalu masalah. Tapi bintik hitam itu artinya monster itu juga punya kutukan sendiri, dan kemungkinan besar tingkatnya bisa naik jadi 3 atau 4. Jadi dia lebih berbahaya dari jamur yang biasa."
Lalu Rei kembali mengerutkan alisnya kesal sambil memandang Aria yang masih terbaring di kasur. "Aku sudah membalasnya dan bilang kalau sebaiknya dia menungguku saja sampai besok. Tapi sudah kuduga dia tidak menurut…"
Mendesah pelan, Feny pun mengangkat bahunya. "Yah, orang yang lumayan sekarat ada banyak. Jadi kurasa kak Aria tidak mau menunggu terlalu lama."
Tok Tok. Tapi kemudian ada seorang wanita tua yang masuk. Pintunya memang tidak ditutup--karena daritadi ada banyak anak-anak yang ingin menjenguk Aria--jadi wanita tua itu pun langsung masuk.
"Apa itu nona muda yang katanya menyelamatkan kami?" Tanyanya dengan suara lemah.
"Ya. Tapi dia masih perlu istirahat." Balas Rei. "Jadi anda bisa berterima kasih padanya nanti." Tambahnya.
Tapi ternyata wanita itu tetap berjalan mendekati kasur dan mulai memandanginya. "Dia tidak terlihat seperti petualang." Celetuknya dengan mata yang melebar.
"Karena anak-anak bilang dia bisa menggunakan sihir, kupikir dia seorang petualang. Bahkan tangannya kecil begini, ya ampun." Lanjutnya sambil mulai meremas-remas tangan Aria.
Rei sebenarnya merasa terganggu karena agak takut Aria terbangun duluan sebelum dia benar-benar pulih. Tapi karena wanita itu kelihatan seperti sedang mendoakannya, akhirnya Rei jadi tidak bisa melakukan apa-apa.
Meski akhirnya Aria jadi betulan terbangun. "Kak Aria!" Panggil Feny yang buru-buru ikut mendekat ke kasur. "Kak Aria! Akhirnya kakak bangun." Ulangnya sambil langsung melompat untuk memeluknya.
"Iya, iya, Aku sudah bangun." Balas Aria sambil berusaha duduk. Senyumnya sempat menghilang saat dia melihat sosok Rei, tapi perhatiannya langsung teralih lagi saat dia melihat wanita tua tadi.
"Oh? Nyonya Ferika? Anda sudah tidak apa-apa?" Tanyanya kaget. Soalnya terakhir dia melihatnya, wanita itu masih terbaring sakit sampai-sampai wajahnya jadi putih pucat dengan keringat dingin.
"Iya, ini semua berkatmu."
"Syukurlah kalau begitu. Apa orang dewasa yang lain juga sudah mulai membaik?" Tanyanya dan wanita itu langsung mengangguk dengan senang, sehingga Aria pun jadi mulai terharu sendiri dan meneteskan air mata bahagia.
Tapi karena suasana itu berlangsung agak lama, Rei yang tidak tahan pun akhirnya harus menyela. "Omong-omong, apa walikota di sini masih hidup? Apa Aku bisa bertemu dengannya?" Tanyanya.
"Kurasa masih." Balas wanita itu. "Tapi saat kulihat tadi, sepertinya tuan Gerand masih terbaring sakit." Lanjutnya.
"Memangnya untuk apa?" Tanya Aria.
"Apa lagi? Tentu saja untuk minta imbalanmu."
"...Apa kau harus memintanya sekarang?"
"Ya tidak sekarang. Tapi nanti kalau orangnya sudah bangun." Putus Rei.
=========================
Karena masih perlu merawat orang sakit yang tersisa, akhirnya Aria dan yang lain baru bisa bersiap pergi keesokan sorenya. Rei tadinya sudah berniat menyeret Aria pergi begitu dia berhasil mendapatkan emblem emasnya dari tuan walikota, tapi untungnya Aria berhasil mengulurnya sampai sekarang.
Aria berjalan mendekati kereta, tapi bibirnya masih terlihat tertekuk. "Tidak bisakah kita di sini lebih lama? Lagipula masih ada yang sakit--"
"Masuk." Potong Rei.
Mendesah panjang, Aria pun menoleh pada Helen dan Feny yang ada di sampingnya dulu. "Kalian naik duluan." Katanya dan mereka pun menurut.
Dan kali ini Rei yang mendesah panjang. "Haruskah kau membawanya?"
"Hanya mengantar Helen ke tempat kerabatnya bukan masalah besar kan? Lagipula tempatnya juga di ibukota." Balas Aria agak memohon. "Dia sudah tidak punya keluarga lagi di sini, kumohon."
"Tsk, kau tidak tahu saja keluarga Havan itu seperti apa." Gerutu Rei. "Ditambah, kita akan mampir ke kota Emor dulu, jadi kita tidak akan langsung ke kembali ibukota."
"Eh, tidak? Untuk apa?"
"Apalagi? Tentu saja--"
"Kak Aria!" Panggil anak-anak yang kembali lari mengerubunginya. "Kapan-kapan kakak akan datang lagi kan? Kakak harus janji datang lagi!"
Aria melirik tidak enak pada Rei yang semakin terlihat kesal, tapi pada akhirnya dia tetap merendahkan dirinya ke arah anak-anak itu. "Iya, iya. Kalau ada kesempatan, Aku pasti main lagi ke sini." Balas Aria sambil menenangkan beberapa anak yang menangis.
Tapi begitu dia menyadari kalau Cal berdiri jauh di belakang, Aria pun berjalan ke sana untuk mendekatinya juga. "Kau mau memasang wajah begitu terus sampai Aku pergi?" Kata Aria.
"Tidak bisakah kakak membawaku juga seperti Helen?" Balas Cal.
"...Anak-anak yang lain membutuhkanmu, jadi kau harus tetap di sini." Balas Aria berat hati. "Ditambah, kita kan tetap akan bertemu lagi saat kau dilantik jadi prajurit kerajaan." Lanjutnya, dan Aria pun mengacungkan kelingkingnya. "Janji?"
Meski bukannya ikut mengaitkan jarinya, Cal malah langsung lompat untuk memeluk Aria, yang setelahnya jadi diikuti anak-anak lain lagi.
Saking mengharukannya, Rei jadi harus menghentikannya. "Ehem! Ehem! Matahari sudah mulai tenggelam!" Gerutunya sehingga akhirnya Aria pun harus melepaskan pelukan-pelukan itu.