Begitu mereka naik ke kereta pinjaman dari Loir, Aria tadinya sudah akan mengutarakan semua rasa penasarannya tentang banyak hal. Tapi karena laki-laki di depannya malah langsung menutup matanya, Aria jadi terpaksa menyimpan semua pertanyaannya dulu sampai orangnya bangun. Sepertinya dia lebih lelah dari kelihatannya.
Dan karena Feny dan ayahnya naik di kereta yang satu lagi, mereka juga cuma berdua di situ. Jadi daripada tidak melakukan apa-apa, Aria pun mengisi waktunya untuk menyingkap tirai di pintu kereta dan melihat pemandangan di luar. Dan betapa takjubnya dia saat melihat kalau keadaan di luar masih terlihat terang meski hari sudah gelap.
Padahal kalau di kotanya, pemandangan seperti itu hanya akan terlihat kalau mereka sedang mengadakan festival atau semacamnya. Tapi meski tidak ada kegiatan khusus, semua jalan di ibukota tetap dipenuhi dengan lentera di mana-mana.
Terutama saat matanya menangkap ada orang-orang yang melakukan pertunjukkan sihir jalanan, Aria bahkan hampir ingin mengeluarkan kepalanya keluar pintu.
"Itu bukan sihir, kalau kau penasaran." Celetuk Rei yang seketika mengagetkan Aria. "Sekilas memang mirip, tapi sebenarnya mereka hanya menggunakan bubuk kimia dan semacamnya."
"...Yah, menggunakan bubuk kimia juga bukannya mudah." Balas Aria. Soalnya dia ingat Leyna dan Aran pernah ingin mencobanya dan mereka hampir meledakkan alun-alun kota.
"Mungkin, tapi kau tidak butuh bakat khusus untuk itu. Tidak seperti sihir sungguhan."
"Kalau hasilnya sama kurasa tidak masalah."
"..." Sembari melipat bibirnya dengan masam, Rei jadi sadar kalau dia dan Aria tidak pernah satu pemikiran sampai sekarang, bahkan untuk topik yang tidak penting begini?!
Belum lagi cara bicaranya yang sudah tidak formal! Kalau di awal saja sudah kacau begini, dia jadi gelisah bagaimana nantinya memastikan Aria untuk mengikuti semua rencananya.
'Dia masih dendam padaku atau apa?'
"Omong-omong…" Potong Rei akhirnya. "Aku ingat temanmu mengatakan sesuatu tentang kau punya keluarga di sini. Apa itu benar?"
"..." Mendengar pertanyaan yang tidak disangka, Aria langsung membeku. Padahal tadinya dia yang harus tanya ini-itu, tapi sekarang malah Rei duluan yang melemparkan pertanyaan sulit.
"...Leyna yang mengatakannya?" Tanya Aria balik meski Rei cuma mengangkat bahunya. "Mm, itu, Aku juga tidak tahu…" Sahut Aria kikuk. Dia jelas kelihatan tidak nyaman, jadi Rei pun memutuskan untuk membiarkannya dulu.
Dan untungnya mereka juga sudah sampai.
"Tuan Rei?!" Celetuk pengawal yang berjaga di depan kediaman Kransfein, tidak menyangka akan melihat wajah majikannya dari kereta itu. "Anda sudah kembali?" Tanyanya, meski Rei sudah terlalu lelah untuk menjawabnya.
"Hei, cepat buka gerbangnya!" Perintahnya pada anak buahnya yang lain.
Karena halamannya yang luas, mereka tetap butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya sampai di mansion utama. Tapi di sana, seluruh pelayannya sudah kelihatan kalang kabut sendiri untuk menyambut tuan rumah mereka yang tiba-tiba pulang.
"Tuan Rei!" Panggil seorang pria tua dengan janggut putih dan jas hitam rapi. "Anda seharusnya mengirim surat dulu pada saya sebelum pulang. Kapan anda sampai?"
"Ya, maaf. Aku agak buru-buru, jadinya lupa." Balasnya datar. "Mereka semua tamuku. Perlakukan mereka dengan baik." Tambahnya yang langsung berjalan masuk, selagi 3 tamu yang disebut itu masih--yang satu kikuk, yang satu takjub, dan yang satu lagi norak.
Aria sempat merasa kalau mansion itu sedikit lebih besar dibandingkan kediaman Malven. Tapi bukan hanya itu, suasana di dalamnya juga ternyata agak sedikit berbeda dari yang dia bayangkan, di mana seluruh interiornya dipenuhi dengan aksen bunga dan lukisan-lukisan pemandangan. Bahkan warna dindingnya juga kebanyakan merupakan warna cerah.
Entah karena apa, Aria sebenarnya sudah berpikir akan melihat rumah yang berwarna hitam. Jadi dia sebenarnya agak kaget.
"Bersihkan mereka dan siapkan makan malam juga." Tambah Rei pada salah satu pelayan wanita sebelum akhirnya dia melenggang sendirian naik tangga ke lantai 2.
"Baik." Balas para pelayan.