"Wah, jadi kalian berdua adalah penyihir?" Celetuk Feny yang spontan langsung membuka tirai kecil di pojokan geladak.
"Waa$@#?!--" Tapi Aria yang panik karena dia masih ganti baju buru-buru menutupi tubuhnya. Hanya saja karena anak di depannya seperti merasa tidak ada yang salah, dia pun memilih untuk menarik Feny masuk saja dan menutup tirainya kembali.
"Yaa, mm, laki-laki itu kelihatannya memang penyihir yang terpelajar, tapi Aku cuma suka mengadakan pertunjukan kecil." Katanya kemudian.
"Tapi dia menyuruh kakak masuk ke akademi sihir kan? Bukankah itu artinya kemampuan kakak lumayan?"
"...Kau mendengarnya?" Tanya balik Aria yang akhirnya sudah selesai mengganti bajunya.
Padahal baju lusuh Aria sebenarnya tidak kucel banget. Hanya saja baju yang Aria pakai tadi adalah pakaian yang sama dengan yang dipakainya semalam saat mereka sedang kejar-kejaran dengan kucing. Jadi bukan cuma kotor dan robek-robek, bajunya juga dinodai beberapa bercak darah. Dan ya, jahitan di sepatunya juga sudah tidak karuan. Tapi untungnya di kapal ini ada beberapa baju yang biasa mereka jual ke sana-sini.
"Apa kau tahu banyak tentang akademi sihir? Bisa beritahu Aku tidak?" Pinta Aria kemudian.
"Hm, kalau kakak memberikanku sesuatu akan kuberitahu." Balas anak itu dengan senyum lebarnya. Padahal dia harusnya tahu Aria tidak kelihatan punya uang, tapi entah kenapa dia seperti berharap banyak.
Tapi ternyata tidak perlu dipikir lagi, pandangan anak itu sebenarnya sudah terfokus pada jepitan di rambutnya. Bahkan Aria jadi sempat tertawa pelan karena merasa anak itu lucu. "Kau mau ini?" Tanyanya sambil melepas jepitan bulan di rambutnya.
Dan gadis itu pun langsung mengambil jepitan itu. "Aye!" Serunya yang langsung berusaha memasang itu di rambutnya. Tapi karena tipe rambutnya adalah tipe yang mengembang, jepitan cantik itu malah kelihatan seperti menggantung aneh di atas kepalanya.
"Sini, biar sekalian kurapikan rambutmu." Kata Aria sambil menarik Feny untuk duduk di salah satu tumpukan kotak.
Aria ingat mendapatkan jepitan itu dari seorang peternak miskin yang pernah dia temui di kota tetangga. Waktu itu Aria membantunya menyembuhkan beberapa kambing miliknya yang sakit. Tapi karena tidak bisa membayar banyak, akhirnya dia hanya memberikan satu karung tepung beserta jepitan itu. Aria ingat itu karena Leyna dan Mika sempat mengomelinya karena dia harusnya minta bayaran lebih.
Aria lumayan menyukai jepitan itu, karena memang itu satu-satunya jepitan yang dia punya. Tapi saat Feny kelihatan menginginkannya, Aria tidak pakai pikir dua kali untuk langsung memberikannya. Soalnya bukan cuma karena dia mengingatkannya pada Lily dan Mina, Aria juga tidak mau menolak permintaan seorang anak yang sudah kehilangan satu tangannya seperti itu.
Makanya saat melihat sikap Feny yang masih bisa ceria begitu, sebenarnya daritadi Aria sudah ingin menangis saking tersentuhnya.
"Bagaimana?" Tanya Aria kemudian setelah selesai.
Tapi bukannya menjawab, Feny malah sibuk melebarkan mulutnya sambil meraba-raba rambutnya yang diikat kepang 2 sempurna dan dihias dengan jepitan bulan tadi. "Wah, Aku kelihatan seperti bocah bangsawan sombong yang pernah kulihat di kota dulu!" Serunya.
Tidak yakin dengan komentar itu, Aria merasa perlu menanyakannya ulang. "Kau suka?"
"Suka!"
"Untung kalau begitu." Sahut Aria yang lega. "Kalau begitu, sekarang kau mau cerita tentang akademi sihir?"
"Yah, Aku tidak tahu banyak tentang akademinya. Tapi yang pasti Aku pernah nonton ujiannya." Katanya. "Padahal tadinya kupikir itu festival karena semua orang di kota heboh sekali. Tapi ayah bilang itu ujian utama yang diadakan akademi itu." Lanjutnya.
Aria sendiri pernah mendengar gosip itu. Tapi kalau dari cerita Feny, kelihatannya acara itu lebih meriah dari yang dulunya dia bayangkan.
Lalu pada tahun itu, temanya adalah balapan. Feny mengatakan kalau mereka disuruh keliling dunia, tapi Aria pikir mungkin maksudnya adalah keliling kerajaan sambil melewati daerah-daerah khusus yang sudah ditetapkan. Yah, ceritanya belepotan, tapi pokoknya begitu.
Tapi satu yang mengkhawatirkan adalah saat dia mulai cerita kalau ada beberapa orang yang jadi batu karena tenggelam di sebuah kolam. "Padahal ayah bertaruh untuk laki-laki botak itu, tapi sayang dia juga jadi batu. Hh, kami jadi rugi deh." Ceritanya sedih.
Aria masih memproses informasi yang sangat menyedihkan dan menakutkan itu. Tapi saat dia sudah akan bertanya lebih, Rei malah muncul memasuki ruangan kecil itu. "Hei, kalau sudah, cepat ke atas." Panggilnya yang langsung berbalik lagi.
Aria spontan mendesah pelan seakan kembali ditarik ke kenyataan. Sehingga Feny yang melihat itu langsung menunjuk sebuah kotak. "Omong-omong botol racunnya ada di situ. Harganya tidak mahal kok--"
"Iya, iya." Sela Aria buru-buru. "Bagaimana kalau kau tunjukan pada ayahmu juga rambut barumu." Katanya kemudian.
Tapi saat mereka pergi, Feny anehnya malah kelihatan agak malu sampai dia bersembunyi di belakang punggung Aria. Meski untungnya sang ayah malah langsung berseru. "Wah Feny! Rambutmu!" Katanya. "Kau kelihatan seperti bocah bangsawan yang cerewet waktu itu." Tambahnya senang.
"Oh? Benar kan?" Balas Feny yang akhirnya lompat keluar sama senangnya. "Kakak ini yang merapikannya." Tambahnya sambil mulai berputar-putar pamer seakan bajunya juga baru--yang sebenarnya tidak.
Aria yang senang ikutan tertawa melihatnya, tapi Rei yang tidak tertarik pun lebih memilih untuk langsung memanggil Aria. "Ke sini sebentar." Katanya.
Dan begitu dia mendekat, mata Aria langsung tertuju pada kotak yang ada di dekat Rei. Terlihat sebuah belati hitam di dalamnya. "...Itu apa?"
"Namanya Belati Ved. Kalau kau menusukkan ini ke penyihir lain, kau akan bisa mencuri sihir mereka." Jelasnya, tapi Aria cuma diam seakan tidak mau mencerna penjelasan itu.
Jadi Rei menambahkan, "...Atau kalau tidak mau menusuk, mungkin disayat juga cukup--Ya ampun, jangan protes! Pak tua itu cuma punya ini, jadi pegang saja dulu untuk sementara sampai kita bisa cari artefak lain."
Aria masih memandangi belati itu dengan penuh keraguan. Tapi semakin diperhatikan, Aria malah merasa seperti ada suara aneh dari belati itu. "A-Aku seperti mendengarnya berbisik." Adunya.
"Hanya perasaanmu."