Aku menekan pelan perut salah satu siswaku setelah memerintahkannya menarik napas dan melakukan pernapasan perut. Setelah kurasa cukup, aku menghantamkan sebuah pukulan yang cukup keras padanya. Dan tentu saja dia bisa menahannya. Aku tahu seperti apa kemampuan siswa-siswaku.
Akupun berkeliling dan melakukan hal yang sama, begitu pun Dea yang memegang kendali untuk yang putri.
Kami memang selalu membagi tugas seperti ini.
Kini aku mengambil toya dan memegangnya erat-erat.
(Toya adalah tongkat yang biasa digunakan untuk latihan. Bisa terbuat dari rotan, atau pun kayu yang digunakan untuk tongkat pramuka.)
Setelah memberi aba-aba untuk kembali menarik napas, aku menghantamkan toya kepada setiap siswa yang sudah berada di tingkatan sabuk mendekati ujian akhir Perguruan Selendang Putih.
Toyaku hingga patah karena aku menghantamkannya cukup kuat, beruntung aku membawa beberapa.
Setelah semua pelatihan yang melelahkan, aku pun mengistirahatkan mereka, dan ikut beristirahat bersama Dea di belakang, saat Mas Doni memberikan wejangan-wejangan kepada mereka yang sudah mendekati ujian akhir.
Tak lama kemudian, beberapa orang pria datang menghampiri kami, dan menyapa kami dengan cukup ramah. Awalnya, aku dan Dea mengira bahwa mereka adalah anggota Selendang Putih dari rayon lain yang datang berkunjung. Karena itu biasa terjadi. Kami sesama anggota Selendang Putih suka bersilaturahmi meski tidak mengenal satu sama lain. Jadi, tentu saja aku dan Dea menyambut mereka dengan ramah.
"Aman, Mas?" tanya salah satu dari mereka untuk berbasa-basi.
"Kalau ndak ada kendala, bentar lagi bisalah mereka ikut ujian!" sahutku pelan.
Kami pun mengobrol ringan, hingga tiba-tiba salah satu dari mereka meminta izin untuk meminjam buku catatan senam-jurus milik kami.
"Buat apa Mas? Bukannya Mas bilang sudah ndak aktif melatih lagi?" tanya Dea tanpa tedeng aling-aling.
Bukannya apa. Buku catatan itu berisi informasi semua gerakan senam, jurus, kucian, dan pernapasan milik perguruan kami, jadi tentu saja kami tidak bisa asal meminjamkannya kepada orang lain, sekali pun kepada sesama anggota Selendang Putih.
"Buat diulas lagi aja Mbak, bukuku ada di kampung halaman di Jawa Timur sana. Jadi mau pinjam punya Mbak'e buat ditulis ulang. Biar sesekali bisa diulas lagi." sahutnya dengan santai.
"Memangnya Mas nggak hapal isinya?" tanya Dea lagi.
"Kan sudah lama ndak aktif ngelatih Mbak, udah agak-agak lupa!" jawab pria itu mash dengan sikap yang normal dan santai.
"Kalau Jurus Elang terbang, masih inget nggak Mas?" tanya Dea penuh selidik.
Aku hanya terdiam mendengarkan pertanyaan dari gadis itu.
Jika mereka salah menjawab, habislah mereka.
"Udah lupa-lupa inget Mbak, dulu sih hapal, sekarang sudah agak lupa!"
Bugh!
Pria yang menjawab barusan langsung terpental begitu Dea menendangnya.
Kedua temannya langsung ikut berdiri dan berjaga-jaga, jika saja Dea kembali memberikan serangan.
"Ada apa ini, kenapa tiba-tiba Mbak menyerang seperti itu?" seru salah seorang mereka.
Suasana langsung berubah tegang seketika.
Bodoh! Mereka sudah ketahuan!
"Nggak ada yang namanya Jurus Elang Terbang di Selendang Putih! Katakan tujuan kalian yang sebenarnya atau kujamin nggak akan bisa keluar kalian dari sini!" sentak Dea.
"Sabar, De! Udah malem, nggak usah teriak-teriak!" aku memperingatkan Dea.
"Ya habisnya mereka ini nipu kita, Chang!" sahut Dea kesal.
Tiba-tiba saja mereka mulai menyerang kami. Karena toh memang sudah ketahuan, jadi mereka tidak mau repot-repot berpura-pura lagi.
Aku langsung memberikan sikutan sekeras mungkin di sela-sela serangannya yang selalu bisa kuhindari. Lemah! Hanya karena sebuah sikutan, dia merengkuk kesakitan di tanah.
Dea sendiri menendangi pria satunya meski ia sudah terlihat tak berdaya. Satu lagi berusaha lari, namun aku berhasil mengejarnya, dan memberinya sambutan ramah yang membuat ulu hatinya berdenyut nyeri.
Kami membiarkan mereka berguling-guling menahan sakit di tanah.
"Tujuan kalian sebenarnya apa?!" sentak Dea kesal.
"Biar tahu jurus rahasia kalian, biar kuat Mbak!" ucap salah seorang dari mereka dengan suara parau.
Aku hanya duduk di samping Dea sambil memijit pelan kepalaku yang berdenyut nyeri. Sepertinya aku kurang tidur.
"Kalian dari perguruan mana?" tanya Dea mencoba menahan emosinya.
Tidak ada satu pun dari mereka yang berani membuka mulut mendengar ucapan Dea.
"Jawab, atau kuhabisi aja kalian di sini? Kalian tahu bukan, sah-sah saja bagi kami menghabisi penyusup kayak kalian?!" ancam Dea.
Tidak! Tidak perlu khawatir, karena Dea pasti hanya menggertak. Menghabisi binatang kecil saja ia tidak tega, apalagi menghabisi orang.
"Selendang Kuning Mbak!" jawab mereka pada akhirnya.
"Pilih, aku serahin kalian ke Mas Wawan, atau kuserahin kalian sama anak-anak Selendang Putih yang lainnya? Pilih!" seru Dea sambil tersenyum miring.
Keduanya adalah pilihan buruk. Mas Wawan adalah salah satu anggota Selendang Kuning yang cukup terkenal di antara para pendekar. Ia paling benci jika ada anggota perguruannya yang melakukan sesuatu seperti ini, karena itu sama saja mempermalukan nama perguruannya.
Dan berada di tangan anggota Selendang Putih yang lain sama saja dengan bunuh diri. Tidak banyak anggota dari perguruan kami yang cukup sabar sepertiku dan Dea.
"Padahal buku besar Selendang Kuning juga menyimpan berbagai macam jurus yang mematikan, 'kan? Kenapa repot-repot mau nyuri buku orang? Emang kalian nggak percaya sama ajaran perguruan kalian sendiri? Kalau ngerasa lemah, pengen kuat, ya berusaha mengasah apa yang kalian punya!" seruku kesal.
Seharusnya aku bisa beristirahat sejenak setelah melatih. Sialan memang.
"Betul itu, lagian kalian buka buku kami pun belum tentu bisa mempelajarinya! Bego kok dipelihara!" imbuh Dea dengan kesal.
Mereka bertiga hanya terdiam sambil menahan sakit.
"Ya udah deh, sekarang pilih, mau yang mana? Sama anggota kami yang lain, atau balik ke sodaramu sendiri, si Mas Wawan itu?" tanya Dea sekali lagi.
Setelah cukup lama menunggu, Dea menjadi benar-benar kesal karena mereka hanya terdiam membisu.
"Lama! Serahin ajalah sama Mas Wawan, aku capek, mau cepet pulang aja!" seruku pelan.
Dea menoleh ke arahku lalu mengangguk pelan. Ia pun mengambil handphone dari dalam tasnya, dan segera menghubungi seseorang.
"Mas, bisa ke rayonku sekarang? Ada orang dalammu yang nyasar ke sini! Mana mau ngambil buku kami! Tolong Mas dikondisikan anggotanya!" ucap Dea begitu telepon tersambung.
Tak lama setelahnya, Dea mengakhiri teleponnya, lalu duduk di sampingku.
"Mas Wawan sama anggota mereka yang lain mau otewe ke sini Chang! Tunggu aja!" ucap Dea pelan.
Ah, terserahlah. Yang penting aku bisa segera pulang ke rumah dan meluruskan kaki-kakiku yang mulai terasa pegal.
Tak lama kami menunggu, Mas Wawan datang bersama dengan tiga orang lainnya. Dari raut wajahnya, aku bisa tahu kalau ia sangat kesal.
"Sabar Mas, kalau mau mendisiplinkan mereka, jangan di sini! Bawa aja bawa!" seru Dea sebelum Mas Wawan mengamuk di sini.
"Nggih Mas, Mbak, mohon maaf yang sebesar-besarnya." seru Mas Wawan sambil melirik ke arah tiga pria itu.
(Nggih adalah bahasa Jawa dari Iya.)