webnovel

Bab 4.2 - Pengkhianatan

Wujud serigala yang sebenarnya akan muncul dan sepertinya aku akan kesulitan mengurusnya.

Aku mencoba menguatkan kuda-kuda, menatap lurus ke arah Xavi yang akan menjadi serigala.

Otot-ototnya mengeras, bulu yang berwarna abu-abu secara perlahan mulai tumbuh, kemudian gigi taringnya panjang keluar dari mulutnya.

Xavi menggeram duduk diatas kursi. Ikatan dari tali mulai terlepas, tapi tidak dengan kekuatanku yang masih mengikat erat dengannya.

Aku mengernyit. Mataku berusaha untuk tetap menstabilkan kekuatan dan mungkin saja aura emas yang muncul di mata semakin pekat dan pekat.

"GRAAAA!!!"

Xavi mengamuk; menghamburkan benda-benda yang ada di sekitarnya. Kilatan-kilatan bermunculan di sekitarku, menghancurkan benda di sekitar, lalu tak sedikit yang telah menjadi abu.

"Elemen petir …," gumamku disaat melihat kilatan muncul di depan mata.

Dia menatapku. Mata serigala yang sepenuhnya telah berubah menjadi kuning sempurna. Menyala dan penuh amarah.

Xavi yang telah menjadi werewolf seutuhnya itu tidak akan membiarkanku hidup. Dia geram, kesadarannya menghilang karena kesabarannya habis.

Dia memberontak mengeluarkan kekuatan sepenuhnya, padahal kekuatan yang melampaui batas bisa menghancurkan tubuhnya.

"Kh-!"

Aku berdecak ketika dia memberontak pada kekuatanku. Angin yang bermunculan akibat gelombang kekuatannya mengenaiku, hingga membuat kedua tanganku spontan menyilang di depan wajah.

Mataku kembali melihat Xavi, tapi hal yang membuat mataku bulat sempurna … werewolf murni itu sudah tidak ada di kursinya.

'Penguncian Rantai Jiwanya putus!'

Spontan, mataku mengedar ke penjuru ruangan. Namun, tak disangka werewolf itu telah berdiri tepat di belakangku.

Dia mengaum layaknya monster, menggerakkan tangan kanannya yang telah menegang, mencoba mencakar ku dengan penuh emosi. Cepat-cepat aku berbalik dan melompat jauh darinya untuk menghindari serangan brutal tersebut.

Lagi-lagi Xavi mengaum, dia mulai brutal dengan cara menghancurkan benda-benda yang menghalangi jalannya. Aku kembali melompat, perkiraan jarak 4 meter karena rumah yang sempit ini, lalu menangkis serangannya.

Namun, karena tubuhnya lebih besar dariku, serta kekuatan serangannya menghasilkan gelombang, aku pun terhempas ke luar dari rumah.

Prang!

Bunyi kaca pecah terdengar jelas saat aku menghantamnya. Untung saja pijakanku kuat membuat keseimbanganku tidak goyah.

Tanpa ada rasa ampun, Xavi kembali menyerangku. Membabi buta dengan cakarnya yang besar dan tajam.

"TAK AKAN KUBIARKAN KAU HIDUP!!!" hardiknya.

Aku menggertakkan gigi ketika dia menghantam tanah secara berkali-kali. Dia menyerangku dan aku melompat menghindarinya. Berkali-kali mendengar tanah dihantam cukup keras.

"KAU HANCURKAN SEMUA TUJUANKU, KAU BUNUH SEMUANYA, DAN SEKARANG– TAK AKAN KU MAAFKAN KAU, AARON!!!"

Tidak berhenti berteriak, aku pun mendesis. Suaranya begitu nyaring untuk pendengaranku yang sensitif.

Tak ada henti-hentinya dia menyerang, bahkan serangannya tidak beraturan. Celah ada dimana-dimana, tapi entah mengapa aku merasa ingin menikmatinya dulu.

Ku tatap matanya, kesadarannya menghilang ketika warna matanya menjadi kuning dan instingnya seperti binatang.

Apa ini kelemahan dari werewolf? Tentu saja, naluri kebinatangannya menjadi besar ketika dia telah mencapai batas.

Aku mendarat dengan sempurna ke atas tiang listrik, lalu menatap dari atas sini, sambil melempar senyum pada Xavi dan berkata,

"Kekuatanmu sudah mencapai batas," ucapku.

Xavi tak lagi menyerang. Tiang listrik tempatku berdiri cukup tinggi untuk dicapainya, tapi dia bisa saja merobohkannya dengan mudah.

Dari bawah sana, Xavi menengadah. Menatap sengit padaku.

Aku kembali melanjutkan ucapan yang sempat terhenti.

"Setelah ini kau akan mati dimakan kekuatanmu. Apa kau tidak sadar itu?" tanyaku.

Alih-alih menjawab, werewolf itu menyerang tiang listrik tempatku berdiri. Aku melompat, menghindari tiang listrik yang bengkok karena tinjuannya.

"Dia sama sekali tidak mendengar," gumamku dan mendarat di tiang lainnya. "Wajar saja, otaknya sudah dimakan kekuatan."

Xavi celingak-celinguk setelah asap mengepal tadi perlahan menghilang. Dia geram, kehilangan musuh yang paling ingin dibunuhnya.

Namun, Xavi cepat mendapatkan tempatku berdiri. Tubuhnya berbalik, kepalanya menengadah. Mulutnya terbuka sambil–

Tunggu.

Aku melupakan sesuatu. Elemennya ialah petir, dan sekarang dia sedang mengumpulkan elemen untuk mengeluarkan serangan petirnya melalui mulut itu.

Mataku melebar saat aku tak sadar melihat partikel elemen yang menyatu dengan cepat dan hebatnya, aku berdiri di tiang listrik.

'Sial!' pikirku.

Kembali, kakiku melompat menghindari serangannya. Akan tetapi elemen petirnya telah melesat menyerang bahu kiriku.

Mendesis ketika melihat lengan jas hitam yang kukenakan ikut terbakar, segera aku menyentuhnya dengan tangan kosong.

Kini, mataku menatap Xavi ke bawah. Tapi, werewolf murni itu tidak ada di bawah sana, hanya asap mengepul yang menandakan dia berpindah tempat cukup cepat.

Tidak kusadari bahwa Xavi melesat ke atas– tepatnya di belakangku sambil geraman yang besar terdengar penuh dendam.

Dia menyerangku yang masih melayang, tapi segera aku menangkis serangannya meski harus kembali terluka dan merobek lengan jas hitam ku yang bagian kanan.

Pada akhirnya, aku mendarat ke atas tanah. Darah segar mengalir membuat jasnya ikut basah dan berbau amis.

Tak ada hentinya darah keluar dari lenganku membuatku segera menatap Xavi yang juga mendarat tepat di depan sana.

Kutatap tidak suka pada Xavi karena telah membuat darahku keluar secara sia-sia.

"Hanya segini?" tanyaku.

Namun, tak kudengar jawaban dari mulutnya yang terus-menerus menggeram. Kerjaannya cuma menggeram, huh?

"Dasar," rutukku.

Aku mengibaskan tangan kananku, membuang darah yang mengalir, lalu mengotori tanah.

"Apa maumu?" tanyanya.

Ketika kaki hendak melangkah untuk menyerangnya, dia bersuara dengan parau. Ternyata, werewolf murni di depanku ini masih bisa mengendalikan pikirannya.

"Kenapa kau membunuh kelompokku? Bahkan, kau juga berani membunuh yang satu ras denganmu," ucapnya.

Aku memiringkan kepala, mengangkat kedua alis tipis putihku.

"Itu bukan kemauanku terlahir seperti ini," jawabku, asal.

"Kau–!"

"Ku beri kau kesempatan untuk bertanya selagi aku berbaik hati."

Sayangnya, kesempatan itu tidak digunakannya dengan baik. Xavi justru memilih untuk geram, bahkan sorot mata tajamnya seakan bisa menyabik tubuhku.

Haha. Sayang sekali, butuh beratus-ratus tahun agar bisa membuat tubuhku merinding.

"Persetan! Kau sialan! Apa-apaan kau itu!? Kau sedang meremehkanku, hah?!"

Brak!

Tanah bergetar setiap kali dia melompat dan kali ini, Xavi melompat menyerang dengan tangan kanan yang memiliki kuku lebih tajam.

Melihatnya yang tidak berpikir jernih itu membuatku membuang napas dengan kasar.

"Sayang sekali, padahal sangat jarang aku memberikan kesempatan," gumamku.

Tak.

"Berlutut."

Suara jentik jari terdengar di keheningan malam ini. Tanganku terangkat dengan jari yang baru saja menjentik angin, kemudian makhluk berbadan besar itu berhenti dengan gaya menyerang.

Dia seperti patung, tapi geraman tak pernah hilang dari mulutnya.

"Kau tidak bisa menghentikan kebiasaan burukmu itu?"

Akhirnya, aku mengeluh di depannya. Tentu saja, telingaku menjadi tidak nyaman dengan suara itu.

Kakiku melangkah dengan santai menuju tempat Xavi berdiri dengan gaya menyerangnya.

"Kau lupa siapa aku sebenarnya?" tanyaku.

"A– aku tidak melupakannya. Kau–" Dia kesulitan berbicara.

Aku tersenyum. Menyentuh bahu kirinya yang berbulu.

"Bagaimana rasanya menyerangku? Dari tadi aku memberikanmu kesempatan untuk menyerang," tanyaku.

Keningnya mengernyit. Syukurlah, dia menghentikan geraman.

"Kau … menghindarinya …."

"Ya ya, anggap saja begitu. Tapi sayangnya kau tidak melukaiku secara fatal."

Kuangkat lengan kananku yang tadinya berdarah untuk menunjukkannya pada Xavi. Werewolf itu melebarkan mata, napasnya dapat kudengar sempat terhenti, dan sekarang tubuhnya gemetar.

Sudut bibirku terangkat setelah melihat wajah penuh ketakutan tersebut.

"Ada apa? Sekarang, kau ketakutan setelah melihat darahnya berhenti dalam sekejap?" tanyaku.

Lagi-lagi dia tidak menjawab. Aku rasa, sudah terlalu banyak aku berbicara, tapi makhluk murni ini sama sekali tidak menjawab.

Pada akhirnya, aku menurunkan lengan kananku.

"Sekarang, giliranku. Sebisanya kau menghindari serangan setelah ini."