Hari demi hari berlalu begitu saja. Nastya sudah mulai bisa menerima kepergian ibunya dengan lapang dada. Tidak lagi melamun dan menangis. Karena ia sadar ... takdir hidup dan mati, tidak ada satu orang pun yang bisa menolaknya.
Hari ini, Nastya akan bertemu dengan orang yang berminat membeli rumah peninggalan kedua orang tuanya. Walau awalnya ia enggan untuk menjualnya, tapi Rastya ... dia ingin segera menjual rumah itu dan uang penjualannya ingin segera dibagi dua. Rastya membutuhkan banyak uang, entah untuk apa.
Di sebuah restoran yang ada di kota itu, Nastya, Rastya, dan seorang pria paruh baya duduk bersama sambil berbincang untuk membicarakan masalah rumah.
Kemarin, orang itu sudah melihat-lihat rumah mereka yang memiliki dua lantai dengan bangunan dan halaman yang sangat luas di kota H. Bukan rumah biasa yang mereka miliki, tapi benar-benar rumah yang cukup mewah dan besar. Karena dulu, ayahnya seorang pebisnis yang cukup sukses.
"Jadi, apa harga itu masih bisa diturunkan?" tanya pria itu. "Jika bisa turun sedikit saja, aku akan segera membayarnya."
"Tidak!" tolak Rastya dengan tegas. "Tiga puluh dua miliar! Itu harga mati yang kami berikan. Sudah tidak bisa diganggu gugat lagi."
Nastya menendang kaki Rastya yang duduk di sampingnya, memberi kode dengan kedipan mata.
"Ssstt, diamlah!" bisik Rastya sangat pelan. "Yang penting kau dapat bagian setengah dari harga penjualan rumah."
"Bagaimana?" tanya Rastya pada pria itu. "Tidak cocok, juga tidak apa-apa. Masih banyak orang yang tertarik dengan rumah kami. Bukan hanya kau saja," ucapnya dengan sombong.
"Ah, tidak! Aku sangat suka dengan rumah kalian. Hanya saja, jika harganya masih bisa dikurangi, itu akan lebih baik," jawabnya dengan sedikit bercanda.
"Baiklah! Aku permisi sebentar," ucap pria itu sambil bangkit berdiri. "Aku akan menanyakan masalah uang pada orangku agar pembayaran bisa diselesaikan hari ini juga."
"Oh, silahkan!" balas Rastya dengan senang hati.
Pria itu segera pergi menjauh, memegang ponselnya lalu menghubungi seseorang.
Terdengar ia berkata pada orang yang ada di seberang telepon, "Maaf, Tuan! Harganya tidak bisa ditawar lagi. Apa tidak masalah?"
"...."
"Oh, baiklah! Ya ... saya mengerti!"
Klik!
Sambungan ditutup.
Pria itu segera kembali ke meja makan.
"Oke, deal dengan harga tiga puluh dua miliar!"
"Bisa kita lakukan transaksinya sekarang?" tanyanya pada Rastya.
"Yah, tentu saja! Lebih cepat itu akan lebih baik!" jawab Rastya dengan bersemangat.
Akhirnya, rumah peninggalan orang tua mereka dijual. Rastya mendapatkan setengah dari harga penjualan rumah, begitu juga dengan Nastya.
*
Malam hari, di sebuah klub malam yang ada di kota itu, Nastya duduk di salah satu meja sambil menunggu kedatangan Alika dan Giovani. Ia sengaja mengajak mereka malam ini untuk merayakan keberhasilannya menjual rumah.
Lebih tepatnya, ia ingin menghilangkan rasa sedihnya karena harus melepas rumah yang selama ini ia tinggali bersama dengan kedua orang tuanya. Jika rumah itu tidak dijual, Rastya mengancam akan pergi sejauh mungkin dan meninggalkan Nastya.
Nastya tidak ingin itu terjadi.
Walau bagaimanapun, Rastya adalah satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki, saat ini. Ia tidak ingin Rastya menjauhinya, tidak ingin membuat ayah dan ibunya—di Surga—sedih melihat kakak beradik ini saling bermusuhan.
Nastya duduk di kursi dengan menegakkan punggung. Ia memegang gelas, menggoyangkannya, lalu meneguk minuman itu dengan satu gerakan tangan.
Baru habis dua gelas red wine, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah samping, "Nanas!"
Nastya segera menoleh, melihat Alika dan Giovani berjalan ke arahnya.
"Maaf, membuatmu menunggu!" ucap Alika, ketika mereka sudah ada di hadapan Nastya. "Malam minggu seperti ini, jalanan cukup padat. Kau tidak marah, kan?"
"Tidak apa-apa! Duduklah!" jawab Nastya dengan santai.
Lalu mereka berdua duduk di kursi kosong yang ada di sana.
"Tumben, kau mengajak kami pergi ke klub malam! Apa suasana hatimu sedang buruk?" tanya Giovani merasa curiga.
Biasanya, Nastya selalu susah untuk diajak bersenang-senang ke klub malam. Harus dibujuk sedemikian rupa, barulah dia bersedia.
Tapi sekarang ... Nastya yang terlebih dulu mengajak mereka untuk bersenang-senang.
"Tidak!" Nastya menggelengkan kepala. Meneguk satu gelas lagi, lalu menjawab, "Justru karena suasana hatiku sedang bahagia, jadi mengajak kalian untuk berpesta!"
"Aku baru saja mendapatkan uang enam belas miliar di rekeningku! Kita harus merayakannya," ucapnya lagi dengan tertawa.
Mulutnya tertawa lebar, tapi ... hatinya terasa sakit.
Ia terdiam sebentar, lalu melambaikan tangan pada pelayan. Memesan beberapa botol minum, dan beberapa hidangan untuk mereka makan.
"Ayolah! Jangan memasang wajah aneh seperti itu!" Nastya mencolek hidung Alika dan Giovani. "Malam ini kita harus kenyang dan bahagia. Jangan menekuk wajah seperti itu."
"Nas, aku kira, kau masih marah pada kami, karena jebakan kami malam itu!" Tiba-tiba Alika membahas hal itu lagi. Membuat suasana sedikit canggung.
"Aku minta maaf, sudah mengurungmu di ruangan itu. Aku lupa, malah pulang tanpa membuka kunci pintu terlebih dahulu," tambah Giovani penuh penyesalan.
Nastya tahu, mereka semua disuruh oleh Narendra untuk melakukan semua itu. Bukan sungguh-sungguh ingin mengurungnya di ruangan itu hingga keesokan harinya.
"Sudahlah! Aku tahu, kalian diminta oleh Narendra untuk melakukan hal itu, kan?" ucap Nastya. "Aku sudah melupakannya. Sekarang, ayo kita bersenang-senang. Jangan mengingat hal-hal yang tidak enak lagi!"
Membahas tentang Narendra, suasana hatinya tiba-tiba menjadi buruk. Ia menuangkan minuman ke dalam gelas, dengan segera meneguknya.
Nastya masih ingat dengan jelas, terakhir kali bertemu dengan pria itu ... di pinggir jalan di depan hotel Raja. Narendra meninggalkan dirinya hanya demi Ralin. Karena marah dan kesal, Nastya pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Di dalam rumah, ia tidak melihat Narendra lagi. Hingga keesokan harinya, pelayan di rumahnya mengatakan bahwa Narendra dan ayahnya pergi ke rumah sakit. Di rumah sakit pun, pria itu sungguh tidak ada. Hanya ada Hindra yang menemani Nastya di rumah sakit hingga ke pemakaman.
Sampai detik ini, Nastya tidak pernah melihat keberadaan pria itu lagi.
"Aishhhh, sial!" makinya tiba-tiba.
'Mengapa aku jadi mengingat bajingan itu lagi?' gumamnya dalam hati.
Harusnya, dirinya senang, Narendra sudah tidak ada di dunianya lagi. Tidak ada lagi pria yang mengganggunya di malam hari, dan tidak ada lagi pria yang akan mengatur ini dan itu lagi.
Tapi, mengapa hatinya merasa sakit mengetahui Narendra tidak ada di sisinya, apalagi ketika ibunya meninggal?
"Nanas! Kau kenapa?" Tiba-tiba Alika menyadarkan Nastya. "Apa kau menangis?" Ada air mata di ujung mata wanita itu. Alika bisa melihatnya.
"Ah, tidak!" Nastya segera menyeka matanya. "Mana mungkin aku menangis? Haha!"
"Eh, ayo kita makan dulu!" Ia melihat pelayan membawa nampan berjalan ke arahnya. "Itu, makanan kita sudah datang."
Lalu, pelayan itu menyajikan semua makanannya di atas meja. Tidak lupa dengan lima botol minuman dengan dua jenis yang berbeda.
"Waw ... Nanas! Kau sungguh ingin kita berpesta?" ucap takjub Alika melihat semua hidangan di meja.
"Kau memesan semua hidangan termahal di klub ini. Apa kau sungguh baru dapat durian runtuh? Dapat lotre dari mana, kau?" canda Alika, dengan mata yang membulat sempurna. Air liurnya hampir saja menetes melihat semua makanan lezat ada di hadapannya.
"Aku menang lotre dari mana, itu tidaklah penting! Pokoknya malam ini, kita harus kenyang dan bahagia!" lagi-lagi Nastya mengatakan hal itu. "Ayo makan!"
"Baiklah! Ayo kita habiskaaaannn!" teriak Giovani dengan mengacungkan garpu dan sendok ke atas, menyantap semua makanannya.
Malam ini, mereka awali dengan menyantap hidangan makanan. Dari mulai hidangan laut, hingga cuci mulut yang sangat enak.
"Nas, makanan mahal ini memang sangat enak. Mengapa tidak setiap hari saja kau mentraktir kami seperti ini. Benar, kan, Gio?" ucap Alika dengan makanan di mulutnya. Ia menyenggol Giovani dengan siku tangannya.
"Ah, ya, kau benar!" Giovani terkejut, ia menyimpan ponselnya dengan segera. Lanjut menyantap makanannya.
"Kau sedang berkirim pesan dengan siapa?" tanya Nastya, dengan curiga. Dari tadi, gelagat Giovani sedikit aneh. Memegang ponsel dengan sembunyi-sembunyi. 'Pasti ada yang dia sembunyikan!"
"Ah, tidak! Aku hanya mengirim pesan pada kekasihku! Haha ... ya, kekasih!" jawabnya dengan gugup. Tawanya sedikit dipaksakan. Membuat Nastya dan Alika membulatkan mata.
"Hey, sejak kapan jomblo sepertimu punya kekasih? Hah?" ejek Alika dengan tatapan tajam. "Paling-paling kekasih khayalan!"
"Iya, kan?"
Hahaha ....