Drrrt... drrrt... drrrt.
Ponsel Danu bergetar, tapi di abaikan olehnya. Setelah tau kalau yang menelpon adalah Mira.
"Pasti dia sudah melihat Airin," gumam Danu.
Tangannya mencengkram setir mobil dengan erat, hatinya masih panas.
Dia tak menyangka, kalau Airin yang selama ini pendiam, bisa dengan lantangnya berteriak.
"Pasti ini ulah ibu," Fikirnya.
Drrrt... drrrt... drrrt.
Kembali ponselnya bergetar. Di rasanya benda pipih yang sedari tadi berada di kursi samping.
Di usapnya layar enam inci tersebut, foto dia dan Maya yang sedang berpelukan jadi wallpapernya.
Kembali terpampang nama Mira di layar panggilan sebagai panggilan tak terjawab.
Di tekan tombol power di samping, kemudian memilih matikan. Danu tak ingin di ganggu.
Karena tak tahu hendak ke mana, dia memilih melajukan mobilnya ke rumah Maya.
Baginya, Maya adalah obat di kala hatinya gundah.
Tiga puluh menit kemudian, Danu telah sampai di sebuah rumah tipe 34, bercat putih dan berpagar besi berwarna hitam.
Motor Maya terparkir, berarti dia juga sudah pulang dari hotel.
Setelah memarkir mobil, Danu melangkah menuju pintu.
Merogoh kantong celananya, mencari kunci duplikat rumah Maya.
Hanya sekali putar, pintu itu terbuka. Nampaklah ruang tamu yang masih gelap, Danu langsung saja masuk, tak lupa dia menutup pintu.
Tujuannya adalah kamar Maya, hanya perlu beberapa langkah. Dia sudah berada di pintu kamar kekasih gelapnya itu.
Dipegangnya handel pintu dan di putar.
Ceklek!
Pintu terbuka lebar setelah di dorong pelan, Danu menggeleng. "Maya suka sekali tak mengunci pintu."
Kamar juga nampak gelap, tapi siluet tubuh Maya yang sedang berbaring cukup jelas terlihat.
Danu mendekat, kemudian ikut berbaring di samping Maya.
Tak butuh waktu lama, Danu telah terlelap di samping kekasihnya itu.
*****
“Bagaimana, Mir? Kakakmu bisa di hubungi?” tanya bu Marni.
Dia memerintahkan Mira untuk memberi tahu Danu kalau Airin mereka bawa ke rumah sakit.
“Masih belum aktif, Bu,” jawab Mira.
“Dimana sih itu anak, istri jatuh malah dia tinggalkan,” omel bu Mirna.
Dia sama sekali tak berfikir kalau Danu yang membuat Airin seperti itu.
“Coba, telpon semua temannya yang kamu kenal,” titahnya lagi.
“Untuk apa sih Bu? Mas Danu di kasih tau. Jelas-jelas dia tak peduli.” Protes Mira.
Mira memang jengkel dengan kelakuan kakaknya itu, dia sangat menyayangi Airin.
Bahkan dia lebih menganggap Airin sebagai saudara daripada Danu.
“Dia kan, suaminya.” Bu Marni menjawab sambil berlalu.
Niatnya, bu Marni hendak ke kantin. Kantuk sudah datang bertamu, dia tak mau tidur sebelum tau bagaimana kondisi menantunya.
Belum beberapa langkah dia berjalan, pintu tempat Airin di tangani terbuka. Seorang
Dokter berpakaian APD lengkap keluar dari ruangan tersebut.
“Keluarga saudara Airin!” ucapnya.
“Kami, dok!” seru Mira sambil mengangkat tangan.
Bu Mirna yang mendengar panggilan dokter, juga ikut mendekat.
“Pasien Airin sedang dalam kondisi kritis, sempat tadi selama penanganan dia anfal. Untungnya kami masih bisa mengembalikannya. Jadi, untuk penanganan lebih intensif, kami akan memindahkan pasien ke ruang ICU. Mohon keluarga mengurus administrasinya segera.” Jelas dokter.
“Baik, Dok! Kami urus sekarang. Tapi, tolong selamatkan menantuku.” Balas bu Marni.
“Kami usahakan yang terbaik, Bu! Mungkin itu saja, saya permisi, mau kembali menangani pasien.” Kedua tangan dia tangkupkan di depan dada, lalu dia beranjak pergi.
“Mir, tolong hubungi siapapun teman kakakmu yang kau kenal.” Kembali, bu Marni memerintahkan anaknya itu.
“Kenapa bukan Ibu, yang telpon orang di kantor kak Danu. Dijamin pasti Ibu langsung dapat info konkret.” Mira memberi saran.
“Iya... ya, kok Ibu nggak kepikiran.” Di rogohnya tas merek gincu, lalu mengeluarkan telpon merek apel tergigit.
Entah siapa yang dia hubungi, setelah berbasa basi sejenak. Bu Marni mulai menanyakan tentang Danu.
Orang yang bu Marni telpon bercerita tentang apa yang dia tau.
Hampir setengah jam, bu Marni menelpon.
Ekspresi wajahnya sering berubah-ubah, ketika mendengarkan cerita orang tersebut.
Setelah menutup panggilan telponnya, Mira mendekati ibunya tersebut.
“Bagaimana, Bu? Dapat kak Danu di mana?” Mira bertanya kepada ibunya.
“Sudah, benar dugaan Ibu. Kakakmu itu selingkuh, Mir. Selama ini dia telah membohongi kita,” ucap bu Marni, tangisnya pecah.
Dia tak menyangka, kalau anaknya sebesar itu. “Semua orang di perusahaan sudah tau,” lanjutnya lagi.
“Jadi, Ibu akan berbuat apa?” tanya Mira.
Sebenarnya, Mira sudah lama tau kalau Danu punya selingkuhan.
Tapi, saat bertanya kepada kakaknya. Dia malah di ancam. Kalau dia memberi tahu kepada ibu mereka, maka Danu akan menceraikan Airin.
Danu tahu betul kekhawatiran Mira.
“Sebentar juga, kamu akan tau,” jawab bu Marni.
*****
Maya merasakan sebuah tangan memeluk pinggangnya.
Saat berbalik, dia tersentak kaget. Melihat Danu telah terlelap di sampingnya.
Pelan-pelan di pindahkan tangan kokoh itu dari pinggangnya. Dia bangkit menuju kamar mandi.
Sejujurnya, dia masih marah kepada Danu. Karena, meninggalkannya sendiri di kamar hotel.
Dia sudah berjanji dalam hati, untuk tak bertemu lagi dengan suami orang tersebut.
Tapi, ketika melihat Danu tertidur di sampingnya, keinginan rersebut pergi entah kemana.
Maya membersihkan diri dengan cepat, dia berencana membuat sarapan untuk Danu.
Saat keluar dari kamar mandi, Danu masih tertidur. Nampaknya dia terlihat lelah, Maya tak ingin mengganggunya.
Setelah berpakaian, dia melangkah ke dapur. Membuka kulkas, mengeluarkan semua bahan makanan untuk membuat nasi goreng sea food. Makanan favoritnya dan Danu.
Sedang asyik berkutat di dapur, terdengar ketukan di pintu luar.
Maya menghentikan kegiatannya, mempertajam pendengaran. Jangan sampai dia salah dengar, kembali pintu depan di ketuk.
“Siapa sih, pagi-pagi sudah bertamu!” gerutunya.
Diletakkannya pisau dengan sembarangan, lalu mencuci tangan.
“Sabar!” teriaknya ketika ketukan di pintu semakin cepat dan keras. Lebih tepatnya di gedor.
Setengah berlari Maya membuka pintu, saat pintu terbuka, dia melihat seorang wanita paruh baya, bersama seorang anak gadis berdiri di depan pintunya.
“Ogh, ini pelac*r yang berani menggoda anak saya?” tanya bu Marni ketika pintu rumah Maya terbuka.
Dia memegang gagang pintu, mendorongnya. Lalu memaksa masuk, Maya yang tak siap dengan perlakuan bu Marni tak bisa berbuat apa-apa.
“Di mana kamu sembunyikan anak saya?” tanya bu Marni sambil tersenyum. Tapi, dari intonasi suaranya jelas tersimpan amarah yang siap di salurkan.
“Maaf, saya tidak tau siapa anak Ibu!” elak Maya.
Padahal, dia tau jelas kalau wanita itu Ibu kekasih gelapnya.
“Selain pelakor, kamu ternyata pembohong juga!” sindir bu Marni.
“Jaga mulut Ibu! Saya tidak kenal anda. Jadi, tolong pergi dari rumah saya,” usir Maya.
“Hehehehehe, rumah kamu? Rumah ini di beli dari uang saya, jangan mimpi kamu punya rumah,” bu Marni tertawa, lalu mencemooh wanita yang ada di depannya.
“Apa buktinya?” tantang Maya.
“Dasar, wanita jala*g. Jangankan rumah, bahkan perabotan rumah, baju, sampai BH dan Celana da*am kamu di beli pake uang saya,” cecar bu Marni.
Plak... plak!
*****