Alfred yang tak ingin memperkeruh suasana dan memperburuk perasaan keponakannya pun memilih diam dan menatap punggung Brian, sampai lelaki itu benar-benar angkat kaki dari rumah raksasa ini. Menarik napasnya dalam-dalam sebelum memasuki kamar Meli. "Berikan susu formula saja," perintah Alfred pada pembantu yang ditugaskan Brian untuk mengurus Meliora. "Kita kehabisan asi."
"Baik, Tuan."
Brian yang mendadak amarahnya memuncak, membanting pintu utama nan besar di belakangnya dengan sekuat tenaga. "Anakku sangat tidak beruntung memiliki ibu seburuk dirimu," berbisik sebelum kakinya menuntun ke mobil hitam mewah yang terparkir di halaman luas. Mengayunkan kaki lebih cepat, namun baru beberapa langkah ia merasakan getaran di saku celana sebelah kanan.
Ditiliknya layar seluler begitu merogoh. Tepat saat dirinya sudah masuk ke mobil dan di balik kemudi, ekspresinya cukup terkejut. "Wanita ini? Berani meneleponku ternyata," katanya sangat berat dan pelan. Brian lantas menggeser jarinya, menjawab panggilan video Lia.
Brian sungguh tak menyangka, pemandangan wanita dengan belahan dada rendah terpampang di layar ponselnya. "Akhirnya aku bisa melihatmu! Kamu ganteng banget, Tuan B!" pekik Lia dari tempat duduknya, tidak malu berteriak padahal ia sedang berada di dalam taksi.
"Pakaianmu terlalu menggoda, tapi sayangnya senjataku belum bangun."
Lia yang mendelik seketika itu sampai menjatuhkan ponselnya. Brian yang merasa sedikit terhibur pun menarik sudut bibirnya singkat. Dia ikut terkejut ketika Lia membungkuk untuk mengambil gawainya yang jatuh. Meski lampu taksi tak terlalu terang, mata cokelatnya masih sanggup menangkap bongkahan daging yang tampak jelas dan bisa membuat tenggorokan seorang Brian mengering.
"Maaf, ucapanmu tadi frontal sekali. Aku cuma mau bilang, aku hampir sampai restoran," ucap Lia yang mampu menyadarkan Brian dari fantasi liar otak kotornya.
"Ekhm. Carilah meja nomor delapan belas b setelah sampai restoran."
"Oke, sampai jumpa di sana. Selamat malam!" Lia bergegas menutup panggilan video tersebut tanpa menunggu balasan sang calon sugar daddy.
Senyum Briab tercetak. Ia menyalakan mesin mobil dan segera mengendarainya. Pagar hitam rumah yang menjulang tinggi, terbuka dengan sendirinya. "Ternyata kau tidak sabar menemuiku," ucap Brian sembari menancap gas.
Karena lokasi restoran mewah pilihannya tidak jauh dari rumah, kemungkinan besar Brian akan sampai di sana lima menit dari sekarang. Brian yang tak bisa menghapus bayangan betapa cantiknya dada perempuan muda, terpaksa harus menyetel musik di mobilnya sekencang-kencangnya. Bukan dirinya sekali, karena Brian lebih suka menyetir dengan tenang.
"Sayangnya, tujuanku bukan untuk mencicipimu."
Sesuai perkiraan, dirinya sampai di restoran Thunderclouds lebih dulu ketimbang Lia. Sama seperti tempat duduk yang telah dipesan, Brian sekarang berada di lantai dua dengan posisi meja di luar. Brian memilih tema outdoor, dan kini dirinya memesan makanan untuknya sendiri sekaligus untuk Lia. "Berapa totalnya?" tanya Brian pada sang pegawai.
"Tiga juta dua ratus ribu rupiah, Tuan. Bisa dibayar diakhir. Selamat menikmati makan malamnya, Tuan." Pegawai wanita itu membungkukkan badan.
"Aku ingin bayar sekarang."
"Baik, Tuan. Tolong tunggu sebentar," balasnya gugup dan segera pergi untuk mengambil mesin EDC. Buru-buru sekali ia memutar badan dan angkat kaki. Tetapi, karena tidak hati-hati saking grogi, dia sampai menabrak seorang perempuan cantik yang sedang melah tergesa-gesa pula.
"MAAF!" pekik keduanya secara bersamaan sambil saling tatap.
"Mohon maaf sekali lagi, saya buru-buru, Nona."
"Aku juga minta maaf," balas Lia tersenyum dan ikut menunduk sekilas. "Tapi, tunggu! Aku butuh bantuan, bisa tolong tunjukkan meja nomor dua belas b?"
Sang karyawati itu mengangguk singkat dan mengantar Lia sampai melewati pintu perbatasan antara indoor dan outdoor. "Bagian a untuk meja di dalam ruangan, nomor b untuk meja di luar," ujarnya menginformasikan.
"Terima kasih." Kemudian Lia menjelajahi meja yang bernomor delapan belas b. Di meja itu, Lia bisa melihat seseorang duduk tanpa pergerakan. Bisa Lia lihat seorang pria seperti manekin dengan tubuh tegap, tengah duduk sambil menatap lurus ke depan.
Dari samping, Lia mengetahui betapa mancungnya hidung pria berdarah bule itu. Memperlambat langkahnya, Lia berjalan pelan dengan tatapan tak teralihkan sedikitpun dari Brian. "Hai, Tuan B."
Brian menoleh. "Duduklah," pintanya singkat tanpa membalas sapaan. Terdengar begitu berat nan tak terbantahkan.
Lia berusaha membuat jantungnya tetap normal. Berdegup stabil, meski sebenarnya susah diatur. Karena menangkap tatapan pria dewasa di hadapannya itu, Lia jadi sangat gugup.
Ingin menanyakan apa yang harus dilakukan setelah makan malam bersama, tetapi pria itu lebih dulu membuka suara, "Bukankah kau sedang butuh banyak uang?" Lia mengangguk kaku. "Aku bisa memberikan sebanyak yang kau mau. Asalkan malam ini kau ikut aku."
"Ta-tapi aku belum kenal Anda, Tuan." Melihat betapa tajamnya tatapan Brian, bulu-bulu halus Lia meremang.
"Penampilanmu sangat panas," bisik Brian seraya membungkuk dan mendekatkan wajahnya ke arah Lia, dan hampir saja Brian menyentuh bibir ranum itu.
"Permisi Tuan, dan Nona, hidangan Anda sudah siap."
Keduanya lantas menoleh dan mengangguk bersamaan. Sembari membiarkan sang koki menata hasil masakannya ke atas meja. Begitu sudah selesai ditata, Brian kembali mencondongkan tubuhnya ke depan lagi sampai tak ada jarak dengan Lia.
"Kau memang polos atau pura-pura bodoh...? Aplikasi yang kau pakai bukan untuk mencari kekasih, tetapi..." Brian makin mengikis jarak mereka dan meneruskan, "...partner ranjang." Tepat diucapkan sebelum mendaratkan kecupan di bibir Lia yang sudah terbuka sedikit, karena terkejut. Sampai wanita itu menahan napas.
"Ma-maaf mengganggu, Tu-an ... Nona." Pelayan yang datang dengan membawa mesin EDC di tangan kanannya itu menunduk mau karena memergoki adegan mendebarkan. Sontak saja Lia memundurkan tubuh dan menoleh ke kanan. Sedangkan Brian mengangguk singkat sembari berdeham, lalu merapikan jasnya. "Ini, Tuan," lanjutnya dan menaruh mesin gesek kartu debit maupun kartu kredit di atas meja, dihadapkan ke Brian.
Pria itu dengan santai mengeluarkan dompet, menyelesaikan transaksi secepat mungkin. Kemudian mengusir pelayan secara halus dengan menggerakkan dua jarinya. Sang pegawai perempuan itu pun patuh dengan membungkuk pamit. Mengambil langkah seribu.
"Anda berani membayar berapa banyak?"
"Kau masih perawan?"
Melihat anggukkan kepala Lia, Brian terdiam. Sementara Lia menatapnya bingung karena tak kunjung mendapat jawaban. Mengerti bahwa Lia butuh respons darinya, Brian kembali membuka mulut, "Makanlah."
Begitu tajamnya menatap, Lia yang memandangnya jadi sedikit takut. Asal tahu saja, ketakutan itu Lia pendam dalam-dalam ke dasar hati karena terhipnotis oleh ketampanan Brian. Bukannya memakan makanan yang sudah terhidang sejak tadi, Lia justru meneliti Brian dari atas kepala dan pandangannya terhenti di bibir yang berani mencuri ciuman pertamanya itu.
Menggelengkan kepalanya pelan, Lia kembali menyadarkan diri dan mengatakan di dalam hati, "Cuma ciuman aja, jangan baper. Tetap kalem, lupakan kecupan dadakannya itu, Lia!"
"Apa aku menyuruhmu menatapku?" tanya Brian tiba-tiba dengan tatapan menghunjam wanita di depannya.